Pinyaram Hitam
Karya: Dara Layl
“Nak, bulan puaso sabanta lai, babaliaklah.”
(Nak, bulan puasa sebentar lagi, pulanglah)
Ninil kembali menghembuskan napas saat mengingat percakapan terakhir di telepon bersama Bundo, matanya menatap pemandangan dari jendela Bus, pemandangan itu bagai sepotong kue yang dihadiahkan dari surga, melihatnya dari balik kaca membuat Ninil bergumam, “Ternyata aku memang butuh pulang.”
Kutub Tak Bersalju. Itulah nama untuk tanah kelahirannya, dengan hamparan teh di bawang kaki Gunung Talang persis seperti permadani terbang ketika embun turun di pagi hari, selain itu, hamparan teh berdekatan dengan dua danau kembar yang menjadi danau ketiga terdalam di Indonesia yang memikat dengan sejuta pesona.
Ninil melihat lekat danau yang dilewatinya, Danau Diatas namanya, airnya tenang dan sedikit beriak terkena angin, seperti sebatang tubuh yang berkilau terkena cahaya matahari senja, pohon-pohon cemara bersusun rapi membuat siluet yang lekat dengan rindu bagi orang-orang yang jauh di rantau dan merindukan pulang. Rindu. Ah, barangkali itu kata yang bisa menafsirkan perasaan Ninil.
Semenjak sampai di daerah bernama Kayu Aro, udara dingin yang masuk melalui celah jendela Bus mulai menusuk tulangnya, Ninil memakai jaket yang sudah disiapkannya. Ninil melihat ke sekeliling, udara dingin berbanding terbalik dengan kondisi di dalam Bus yang sedikit sesak, para penumpang kebanyakan ibu-ibu yang membawa kantong dengan aneka ragam belanja, suasana menjelang bulan Ramadhan kental terasa.
Dingin semakin terasa menusuk tulang, bersamaan dengan berhentinya Bus yang ditumpangi Ninil, gerimis turun membasahi jalanan, Ninil tersenyum sumbringah turun dari Bus, di tepi jalan Ayah telah berdiri untuk menjemputnya dengan payung dan mantel hujan. Ninil menyalami ayah dengan takjim, kemudian mengenakan mantel hujan dan naik ke atas motor untuk dibonceng Ayah.
Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan sama sekali, kebisuan yang selalu bisa membuat dadanya lega, Ninil hanya menikmati perjalanan dibonceng Ayah sambil melihat barisan bukit yang diselimuti kabut pekat akibat gerimis. Pemandangan itu selalu sama. Dingin dan indah.
“Kenapa tidak ditunggu saja hujannya reda?” Suara Bundo menghentikan gerakan tangan Ninil dan Ayah.
“Sudah mau magrib.” Ayah menjawab pendek. Bundo mengangguk tanda mengerti.
“Ayok cepat masuk, Bundo sudah masak banyak.”
Ninil memasuki rumah yang sudah hampir enam bulan tidak dikunjunginya. Hangat. Itulah perasaan yang dirasakannya, air matanya hampir jatuh, seharusnya seberat apa pun itu, ia tetap harus pulang ke rumah. Ia meyakinkan dirinya dengan bergumam dalam hati, “Terlambat wisuda bukan sebuah tindakan kesalahan. Terlambat wisuda bukan sebuah kriminal.Tidak ada yang salah dengan terlambat wisuda.”
Benar saja, di meja makan sudah terhidang makanan kesukaannya, pangek ayam lado ijau, sebuah surga yang hanya ditemukannya dalam masakan Bundo. Aroma gilingan cabai hijau dan rempah-rempah menambah rasa laparnya, kata Bundo, pangek lado ijau berbeda dengan masakan Minang lainnya, pangek lado ijau tidak menggunakan santan, tetapi menggunakan air kepala sebagai kuncinya.
Nasi hangat ditambah pangek lado ijau lahap dimakan Ninil, Ninil merasakan bawang putih giling, sereh, lengkuas, kunyit giling, daun salam, cabai giling hijau, semuanya menyatu menciptakan rasa yang sulit dilupakan.
“Tambuahlah, banyak-banyak makan.” Bundo berkata sambil menyendokkan sepiring nasi ke dalam piring Ninil, Ninil menerimanya dengan senang hati.
***
Matahari sore merekah membiaskan warna keemasan di permukaan air laut, perpaduan warna biru, ungu, jingga, dan kuning menghiasi langit seperti kanvas yang dilukis dengan berbagai jenis warna yang dipilih hati-hati, air mulai pasang, pepohonan di sepanjang bibir pantai menjelma siluet yang memanjakan mata, Taplau namanya. Tapi Lauik atau Tepi Laut merupakan objek wisata ikonik di Kota Padang. Pantai yang menjadi saksi perubahan kota Padang dari masa ke masa. Di sepanjang jalan, jajanan memanjakan lidar, banyak orang menjual karupuak mie kuah dan pensi. Pensi adalah seafood khas minang yang dimasang seperti sup dengan rasa yang khas di lidah. Pensi dan kerupuk mie kuah biasanya dimakan sambil menikmati pemandangan laut lepas.
Selepas sempro atau seminar proposal Ninil dan beberapa orang temannya berjanji untuk main di pantai sebagai reward karena satu tahap sudah terlewati, mereka mengambil banyak foto, bercanda dan makan pensi dengan nikmat.
“Kita salat di mana?”
“Di masjid di seberang jalan saja.”
“Oke.”
Di bawah langit kuning menuju gelap, mereka berjalan bersama menuju masjid dengan menjaga satu sama lain.
“AWAS!!!!” Sepersekian detik suara teriakan menggema di telinga Ninil, semuanya berubah gelap, hitungnya mencium bau anyir darah.
Ninil terbangun.
“Astagfirullah.” Ninil memegang dada sebelah kirinya, tangannya berkeringat dingin, lagi-lagi mimpi buruk menghampirinya, ternyata trauma belum hilang sepenuhnya dalam dirinya. Satu tahun lalu, Ninil dan teman-temannya mengalami kecelakaan yang disebabkan oleh kecelakaan beruntun antara motor dan mobil dan ikut mengenai dirinya dan teman-temannya yang sedang lewat di waktu magrib itu.
Kecelakaan itu membawa luka yang dalam bagi Ninil, bukan hanya luka fisik, namun juga luka batin, dirinya dan beberapa temannya harus menunda penelitian dan artinya wisudanya terlambat, karena harus melakukan pengobatan terlebih dahulu, enam bulan pasca kecelakaan dia kembali melanjutkan penelitian, namun karena jauh tertinggal membuatnya sulit untuk melanjutkan ditambah dengan pertanyaan banyak orang membuatnya akhirnya malas untuk pulang ke rumah.
***
Pagi ini sangat ramai di rumah, dua hari lagi bulan Ramadhan akan datang, sebelum bulan Ramadhan biasanya akan dilakukan berbagai macam acara penyambutan, seperti tradisi balimau. Balimau adalah tradisi mandi menggunakan air yang biasanya dicampur jeruk nipis yang dilakukan oleh sebagaian besar masyarakat Minangkabau menjelang bulan Ramadan.
Tradisi ini dilakukan untuk membersihkan diri secara lahir dan batin sesuai dengan ajaran agama Islam. Balimau juga dikenal dengan istilah bakasai di daerah lain. Tradisi ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur dan kegembiraan memasuki bulan Ramadan, selain balimau ada juga acara yang dilakukan, yaitu badua atau berdo`a dengan mengundang seorang ustadz yang dilanjutkan dengan acara makan bersama. Biasanya dalam acara makan bersama ini akan disajikan makanan tradisional Minangkabau seperti pinyaram dan juga kamaloyang atau di daerah Jawa biasa disebut sebagai kembang loyang.
“Nil, nanti kamu bantu Bundo memasak ya, untuk acara badua.”
“Apa aja yang mau dibuat, Bundo?”
“Tahun ini kita buat Pinyaram Hitam.”
“Kenapa buat Pinyaram lagi Bundo, nanti tidak habis seperti tahun-tahun sebelumnya. Mubazir.”
“Tahun ini akan habis, kita buat Pinyaram Hitam, bukan Pinyaram putih biasa. Ooo iya, apakah kamu mau ikut pergi Balimau ke air hangat dekat Gunung Talang?”
“Tidak Bundo, Ninil mau istirahat di rumah, apakah kita wajib Balimau, Bundo?”
“Sebenarnya tidak wajib, tapi itu tradisi kita.” Bundo menjawab dengan senyuman.
“Apakah Balimau harus mandi dengan jeruk nipis dan bunga-bunga.”
“Tidak. Balimau itu sebenarnya hanya mandi seperti kita mandi biasa saja, tidak harus pergi ke mana-mana juga dan di rumah pun boleh, serta tidak harus pakai bunga atau apapun itu, tujuannya, kita menyambut bulan Ramadhan sudah dengan badan yang bersih, karena ibadah kan bagus ketika badan kita bersih.”
“Tapi kenapa kalau Balimau orang suka pergi ke tempat-tempat jauh?”
“Itu sebenarnya untuk menyemarakkan saja.”
“Ooo seperti itu, baik Bundo.”
“Ayo, kita kok jadi ngobrol, kita mulai buat Pinyaram Hitam ya, nanti tidak terkejar. Pertama-tama kamu peras santan ini dulu, Bundo akan menyiapkan bumbu-bumbu untuk membuat randang ayam.” Ninil membayangkan rendang yang dibuat dengan daging ayam tidak kalah enak dengan rendang yang dibuat dengan daging sapi.
Ninil dan Bundo mulai sibuk di dapur, Ninil mematuhi perkataan Bundo untuk memeras santan. Dari kecil Bundo sudah mengajari dirinya untuk memeras santan, pertama-tama menyiram kelapa parut dengan air panas kemudian menambahnya dengan sedikit air dingin sampai air terasa hangat, setelah itu kelapa parut diremas dengan tangan, tapi kalau terlalu banyak bisa dibantu dengan menggunakan kain, kata Bundo memeras santan hampir mirip dengan memeras baju ketika mencuci baju, gunakan kedua tangan dengan cekatan karena santan yang diperas dengan tangan akan menghasilkan rasa yang berbeda pada masakan. Memeras santan cukup dilakukan sebanyak tiga kali pada kelapa parut yang sama dan perasan pertama disebut sebagai pati santan.
“Nil, ambil pati santannya sedikit terus kamu minum, karena hujan kemarin takutnya kamu batuk, jangan lupa dikasih sedikit garam.”
“Baik Bundo.” Ninil meminum pati santan, rasanya gurih dan membuat tenggorokan pernapasan lebih lapang, dari kecil ketika batuk Bundo selalu memberinya minum pati santan, kata Bundo, selain untuk membuat rendang, santan baik untuk obat batuk.
“Nil, bawa semua santannya ke sini, kita mulai membuat adonan pinyaram hitamnya.”
“Pertama-tama masukkan tepung setelah itu kasih air, airnya harus yang sudah dimasak, tidak boleh memakai air yang belum dimasak atau air galon, setalah itu masukkan gula sebanyak memasukkan air, misalnya kita masukkan air enam gelas berarti gulanya juga harus enam gelas, kemudian aduk merata. Kamu tolong aduk sampai semua adonannya tercampur rata.”
Ninil mulai mengaduk, wangi gula dan tepung menyatu menenangkan pikiran saat mengaduknya.
“Rasanya, cara membuatnya sama dengan tahun kemarin, apa bedanya Bundo?”
“Sabar, tahun ini penyiramnya akan kita kasih gula anau atau gula aren, rasanya akan berbeda, percaya sama Bundo.”
“Apakah karena dikasih gula aren makanya namanya ditambah dengan hitam dibelakangnya?”
“Iya, karena warna pinyaramnya akan cokelat kehitaman nanti.” Ninil mengangguk paham mendengar penjelasan Bundo sambil terus mengaduk adonan. Bundo kemudian mulai memasak pinyaram hitam,
“Setelah dimasukkan gula aren ke dalam adonan, wangi adonan semakin kuat di hidung, coba kamu cium.”
Bundo dan Ninil mulai mengggoreng adonan pinyaram hitam dalam minyak yang tidak terlalu panas dengan apinya sedang.
Adonan mulai mengembang seperti bunga matahari di dalam kuali. Yang membuat pinyaram unik adalah, bagian tepinya renyah seperti kerupuk, sedangkan bagian di dalamnya lunak seperti roti, rasanya manis dan khas. Pinyaram adalah makanan wajib Minangkabau yang biasanya dihidangkan di acara-acara besar seperti penyambutan bulan suci Ramadhan, hari raya dan pernikahan.
“Nil, coba kamu cicicpi yang sudah matang ini, gimana rasanya?”
Ninil terlihat enggan, namun tetap mencobanya. Ninil menggigit dengan perlahan, kemudian terdiam, kenapa rasanya sangat berbeda?
“Enak, kan?” Ninil mengangguk setuju.
“Nil,” Bundo memanggil Ninil dengan dalam sambil terus menggoreng adonan pinyaram hitam.
“Iya, Bundo.”
“Apakah luka kecelakaan waktu itu masih sakit?” Ninil berhenti mengunyah pinyaram dan menggeleng.
“Nil, sama seperti pinyaram hitam ini, kadang kehidupan harus diberikan rasa yang lain supaya memiliki warna yang berbeda,” Bundo mengambil napas kemudian melanjutkan,
“Sudah lama Bundo ingin berbiicara kepada Ninil, tapi Bundo takut akan membebani, Bundo sangat sedih dengan musibah tahun lalu, tapi Bundo lebih sedih melihat Ninil lebih murung, jarang pulang ke rumah, apa yang Ninil pikirkan, Nak?” Ninil hanya terdiam.
“Apakah Ninil takut tidak bisa wisuda?” Mendengar pertanyaan terakhir itu, air mata Ninil jatuh, pertahanannya runtuh.
Bukan hanya fisiknya yang sakit, tapi pikirannya juga, ia selalu merasa tertinggal dari teman-temannya yang sudah mulai bekerja, sedangkan dirinya masih berkutik dengan sktipsi dan tak kunjung selesai.
“Tidak apa-apa, menangislah.”
Bundo mematikan kompor kemudian memeluk Ninil.
“Maafkan Ninil Bundo” Ninil berujar sambil terus terisak
***
Hidangan makanan di rumah Ninil lebih lengkap dari biasanya, mulai dari makanan ringan sampai makanan berat, ada makanan tradisional dan juga jenis makanan modern seperti pudding. Beberapa tetangga juga ikut meramaikan rumah Ninil. Para Bapak-Bapak mengobrol sambil merokok dengan menggunakan rokok daun, sedangkan para ibu dan anak gadis membantu menyiapkan makanan. Setelah sidang isbat, satu Ramadhan ditetapkan besok hari, Bundo sempat bercerita kalau di zaman dahulu di Minangkabau orang menentukan Ramadhan dengan cara yang disebut menerawang menggunakan selendang untuk melihat bulan.
Suasana di rumah ramai, bisanya dalam acara badua, masyarakat akan bergantian satang ke rumah tetangga untuk makan dan memanjatkan do`a dengan mengundang satu orang Ustadz.
“Pak Ustadz, ambo meminta semoga bulan puasa sekarang bisa berjalan lancar, arwah sanak keluarga yang sudah meninggal dunia dilapangkan kuburnya, kita semua sehat dan ambo meminta semoga Ninil dimudahkan untuk wisuda.”
Ninil terharu mendengar permintaan Ayah kepada Pak Ustadz, dari dulu Ayah dan Bundo tidak pernah memaksa dirinya untuk cepat wisuda, namun Ninil tau Ayah dan Bundo pasti berharap banyak kepada dirinya, karena dirinya merupakan anak satu-satunya.
Do’a yang dibacakan oleh Ustadz diaminkan dengan khusuk dan Ninil berharap semoga Ramadhan ini menjadi langkah yang baik untuk dirinya ke depan, setelah menangis di dalam pelukan Bundo Ninil menjadi lebih lega dan bertekat akan menyelesaikan penelitiannya apa pun yang terjadi. Seperti apa yang dikatakan oleh Bundo, layaknya pinyaram hitam kehidupan membutuhkan warna dan rasa baru agar tidak terlalu hambar. Manatau rasa baru memiliki rasa yang lebih nikmat.
Ting!
Notif aplikasi pesan Ninil berbunyi, Ninil mengecek pesannya.
Besok pergi ke Padang, Dosem kita bilang kita tinggal memerbaiki bagian kesimpulan!
Ninil tertegun membaca pesan yang yang dikirim salah-satu teman penelitiannya, tak lupa mengucapkan syukur sebanyak-banyaknya.
Harau, 2024.
***
Catatan:
Bundo : Panggilan seorang ibu di Minangkabau
Tambuahlah artinya : tambahlah
Ambo : panggilan untuk diri sendiri
Tentang Penulis:
Dara Puspa Mulyana atau dikenal dengan nama pena Dara Layl, lahir di Kutub Tak Bersalju 3 Juli 2000. Aktif dalam keanggotaan FLP Sumbar semenjak 2020. Saat ini berprofesi sebagai guru dan masih menggenggam erat keinginan untk menjadi penulis! Bisa menghubungi dara pada media social Instagram: @daraa.pm atau @daralayl.
Kearifan Lokal dalam Cerpen “Pinyaram Hitam” Karya Dara Layl
Oleh: Azwar
(Dewan Penasihat Pengurus Forum Lingkar Pena Wilayah Sumatera Barat)
Cerpen pada dasarnya tidak hadir dari ruang hampa. Ia lahir membawa jejak-jejak budaya kelahirannya. Bayu Suta Wardianto (2022) dalam artikelnya berjudul “Mengulas Kearifan Lokal dalam Kumpulan Cerpen Celurit Hujan Panas karya Zainul Muttaqin” menyampaikan bahwa karya sastra tumbuh dan berkembang dalam pusaran arus budaya yang ada di masyakarat. Oleh sebab itu, karya sastra tidak akan jauh dari persoalan budaya yang terdapat pada kehidupan bermasyarakat.
Wardianto (2022) juga menyampaikan bahwa sastra yang bertemakan nilai-nilai budaya dapat masuk ke dalam kajian atau pendekatan sastra yang terkenal dengan istilah antropologi sastra. Coleman dan Watson (2005) menyampaikan bahwa antropologi merupakan ilmu yang membahas tentang kemasyarakatan dan kebudayaan. Antropologi dijelaskan sebagai suatu ilmu yang mengkaji tentang manusia dan masyarakat, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, yang sedang berkembang maupun yang sudah punah.
Antropologi yang mempengaruhi karya sastra memunculkan sebuah pandangan baru yang bernama dan antroplogi sastra. Istilah antropologi sastra didefinisikan sebagai sebuah pemahaman atau kajian terhadap suatu karya sastra yang berkaitan dengan kebudayaan (Ratna, 2011). Antropologi sastra dapat dikatakan sebagai sebuah kajian tentang karya sastra dan kebudayaan yang terkandung di dalamnya.
Kreatika edisi minggu ini menyajikan Cerpen “Pinyaram Hitam” karya Dara Layl salah satu pengurus FLP Wilayah Sumatera Barat. Cerpen ini berkisah tentang Ninil, seorang mahasiswi yang pulang kampung untuk menyambut bulan Ramadan. Dalam perjalanan pulang, Ninil merasakan kerinduan mendalam terhadap kampung halaman dan keluarganya. Setibanya di rumah, ia disambut oleh Bundo dan Ayahnya yang telah menyiapkan makanan kesukaannya dan mengajaknya memasak hidangan khas, yaitu Pinyaram Hitam.
Ninil menyimpan trauma karena pernah mengalami kecelakaan yang membuatnya terlambat menyelesaikan kuliah. Hal ini membebaninya, hingga ia jarang pulang. Melalui momen memasak Pinyaram Hitam, Bundo menasihati Ninil bahwa hidup kadang memerlukan “rasa baru” untuk menjadi lebih bermakna. Nasihat tersebut menyentuh hati Ninil dan membuatnya lebih termotivasi untuk menyelesaikan penelitiannya. Cerita ini ditutup dengan harapan Ninil untuk bisa wisuda segera, seiring dengan dukungan keluarga yang penuh cinta dan doa.
Dari sudut pandang antropologi sastra, cerpen “Pinyaram Hitam” dapat dilihat sebagai karya yang mengangkat aspek budaya dan nilai sosial masyarakat Minangkabau, yang menjadikannya kaya dalam konteks budaya dan representasi sosial. Cerpen ini menampilkan representasi budaya dan tradisi lokal Minangkabau. Cerpen ini menggambarkan beberapa tradisi khas Minangkabau, seperti balimau (tradisi mandi menyambut bulan Ramadan) dan badua (doa bersama), yang berfungsi sebagai ritual pembersihan dan kesiapan batin menyambut bulan suci. Dari perspektif antropologi, kisah dalam cerpen ini menunjukkan bagaimana masyarakat Minangkabau menjunjung tinggi tradisi sebagai cara mempererat ikatan sosial dan menjaga identitas budaya.
Selain itu cerpen ini juga memuat penghargaan terhadap makanan tradisional sebagai warisan budaya. Makanan khas seperti pinyaram hitam, pensi, dan pangek lado ijau memiliki peran penting dalam cerita ini dan bukan sekadar pelengkap latar. Makanan tidak hanya menjadi simbol keakraban keluarga tetapi juga menyiratkan cara komunitas mempertahankan identitas budaya mereka. Pinyaram hitam, misalnya, adalah makanan yang khas dan punya makna tersendiri dalam konteks cerita sebagai simbol rasa dan warna baru dalam hidup. Dari perspektif antropologi sastra, makanan dalam cerpen ini berfungsi sebagai sarana transmisi nilai budaya antar-generasi.
Cerpen Pinyaram Hitam karya Dara Layl juga memuat kearifan lokal dan nilai sosial masyarakat Minangkabau. Cerpen ini menampilkan kearifan lokal dalam nasihat-nasihat Bundo, yang mencerminkan nilai-nilai bijak dalam masyarakat Minangkabau. Nasihat Bundo tentang menerima hidup apa adanya dan menyesuaikan diri dengan tantangan adalah salah satu bentuk adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (adat berlandaskan syariat Islam), yang menjadi prinsip hidup masyarakat Minangkabau. Melalui karakter Bundo, cerpen ini menggambarkan nilai-nilai tradisional yang dipegang oleh masyarakat setempat.
Secara antropologis cerpen ini menyajikan hubungan keluarga dan sistem sosial. Antropologi sastra juga memperhatikan bagaimana hubungan keluarga direpresentasikan dalam karya ini. Ikatan antara Ninil dan Bundo mencerminkan hubungan yang harmonis dan mendukung, yang sangat umum dalam masyarakat Minangkabau yang matrilineal, di mana peran ibu atau bundo kanduang sangat penting sebagai pusat rumah tangga dan pembawa tradisi. Hubungan ini memperlihatkan bagaimana keluarga menjadi tempat utama dalam menyelesaikan masalah pribadi dan memperoleh dukungan emosional.
Cerpen ini memuat fenomena identitas dan dinamika sosial perantau. Dalam cerita ini, Ninil sebagai anak muda yang merantau untuk studi dan kemudian mengalami kesulitan pulang karena trauma serta perasaan gagal adalah gambaran khas dari dinamika sosial para perantau Minangkabau. Merantau merupakan bagian integral dari identitas masyarakat Minangkabau, di mana kembali ke kampung halaman untuk meminta restu dan dukungan keluarga adalah hal yang lumrah dalam budaya ini. Perspektif antropologi melihat bagaimana cerita ini menangkap ketegangan antara aspirasi pribadi dan ekspektasi sosial, yang sering dihadapi oleh perantau.
Cerpen “Pinyaram Hitam” ini juga simbolisme dalam cerita sebagai refleksi budaya Minangkabau. Pinyaram hitam sebagai simbol dalam cerita ini memiliki makna antropologis yang dalam. Rasa baru dalam pinyaram hitam, yang dihasilkan dari gula aren, menjadi simbol bahwa hidup memerlukan adaptasi dan cara pandang baru dalam menghadapi masalah. Simbolisme ini menggambarkan pendekatan masyarakat Minangkabau terhadap perubahan dalam hidup, yang tetap berpegang pada nilai-nilai tradisional namun terbuka pada cara-cara baru untuk bertahan dan berkembang.
Secara keseluruhan, cerpen “Pinyaram Hitam” tidak hanya menceritakan kisah individu, tetapi juga merepresentasikan nilai-nilai, tradisi, dan dinamika sosial Minangkabau. Dari perspektif antropologi sastra, karya ini berperan sebagai dokumentasi budaya yang memotret cara masyarakat memaknai keluarga, tradisi, dan identitas mereka dalam konteks yang penuh perubahan, khususnya bagi generasi muda yang merantau.
Kelebihan cerpen ini adalah penyajian budaya lokal yang kuat. Kelebihan cerpen ini adalah penggambaran budaya Minangkabau yang kental, seperti tradisi balimau, badua, serta makanan khas seperti pinyaram hitam, pensi, dan pangek lado ijau. Hal ini bukan hanya memperkaya latar cerita, tetapi juga memperkenalkan tradisi dan kuliner Minangkabau kepada pembaca.
Selain itu cerpen ini juga memiliki kelebihan dari sisi penggunaan simbol dan pesan moral yang kuat. Pinyaram hitam sebagai simbol rasa baru dalam hidup memberikan makna mendalam dalam cerita ini. Pesan bahwa hidup butuh “rasa” baru untuk terus berkembang digambarkan secara sederhana namun penuh arti. Melalui proses memasak pinyaram ini, Ninil belajar menerima bahwa rintangan dalam hidup adalah bagian dari perjalanan menuju kebahagiaan.
Cerpen “Pinyaram Hitam” adalah cerpen yang tidak hanya memberikan kisah inspiratif, tetapi juga memperkenalkan budaya lokal dengan cara yang hangat dan menyentuh. Penyampaian pesan dalam cerpen ini dilakukan secara halus dan mengharukan. Pesan-pesan dalam cerpen ini disampaikan secara lembut melalui interaksi Ninil dan Bundo. Kisah ini berhasil mengajak pembaca untuk menghargai keluarga, memaafkan diri sendiri, dan melihat tantangan hidup sebagai bagian dari proses pendewasaan.
Walaupun demikian ada beberapa kekurangan cerpen ini. Diantaranya adalah pertama plot yang cenderung lambat. Penggambaran yang cukup mendetail mengenai perjalanan dan rutinitas sehari-hari Ninil terkadang membuat alur terasa lambat. Meskipun deskripsi ini memperkuat latar, beberapa pembaca mungkin merasa alur cerita bergerak terlalu pelan, terutama di awal cerita.
Kedua, cerpen ini kurang fokus pada konflik utama. Konflik utama terkait trauma Ninil dan rasa takutnya karena keterlambatan wisuda mungkin dapat lebih diperkuat. Hal ini bisa dilakukan dengan menampilkan lebih banyak dialog atau adegan yang memperlihatkan pergulatan batin Ninil. Konflik ini agak tertutupi oleh deskripsi latar dan detail tradisi yang mendominasi cerita.
Ketiga, minimnya pembangunan karakter pendukung. Karakter Bundo dan Ayah terasa hidup sebagai sosok yang penuh cinta, tetapi tidak digali lebih dalam. Akan lebih menarik jika penulis menyajikan latar belakang pemikiran atau pengalaman mereka yang membuat mereka memahami dan bijaksana terhadap Ninil, yang bisa menambah kedalaman cerita.
Secara keseluruhan, cerpen ini dapat diperkuat dengan mempercepat alur awal dan memperdalam konflik batin Ninil serta interaksinya dengan keluarga, agar emosi cerita lebih intens dan pesan moral tersampaikan lebih mendalam. (*)
Tentang Kreatika
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.