Oleh: Yudhistira Ardi Poetra, M.I.Kom
(Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya)
Beberapa hari lalu masyarakat Indonesia menyaksikan pelantikan anggota DPR, DPD, dan MPR RI masa jabatan 2024-2029 yang dihadiri langsung oleh Presiden Jokowi. Pelantikan ini merupakan momen penuh makna bagi bangsa Indonesia. Di satu sisi, upacara megah ini membawa harapan baru bagi masyarakat, yang berharap orang-orang yang terpilih menjadi wakil mereka mampu menuntaskan tugasnya dan mengatasi berbagai permasalahan negara. Namun, di balik gemilangnya peristiwa ini, terdapat tantangan yang lebih besar terhadap dinamika politik yang sedang terjadi, yakni semakin besarnya dominasi dinasti politik. Dinasti politik ini menjadi pembicaraan yang hangat oleh segelintir masyarakat Indonesia sejak putra tertua Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, terpilih menjadi Wakil Presiden Indonesia yang rencananya akan dilantik pada 20 Oktober 2024.
Pelantikan ini seharusnya menjadi titik awal untuk merenungkan secara mendalam siapa yang sebenarnya mewakili kepentingan rakyat. Pentingnya partisipasi aktif dan dukungan terhadap calon yang bebas dari dinasti politik menjadi kunci dalam memperkuat demokrasi Indonesia. Di sinilah peran masyarakat sipil dan keterlibatan publik sangat vital untuk menjaga integritas dan kelangsungan demokrasi di negara ini. Fenomena seperti ini memunculkan pertanyaan krusial: “Sejauh mana efektivitas sistem demokrasi kita jika kekuasaan hanya terfokus pada kelompok tertentu?” Meskipun sistem pemilihan di Indonesia dilakukan langsung oleh masyarakat, namun dengan kuatnya pengaruh penguasa politik di sana, seakan membuat hasil dari pemilihan tersebut tak lagi mencerminkan masyarakat.
Di tengah pelantikan tersebut, ada pemandangan yang tak elok untuk dilihat oleh masyarakat ketika ada kehebohan saat pemilihan ketua DPD, di mana momen ini dipenuhi dengan ketegangan dan antisipasi. Berbagai spekulasi muncul mengenai siapa yang akan mengisi posisi penting itu, menjadikan proses pemilihan sorotan utama banyak pihak. Dari awal sudah tampak ketidakkompakan dari mereka yang menjadi perwakilan daerah. Masyarakat tentu saja mempertanyakan integritas dan komitmen mereka dan semakin menambah ketidakpastian dalam situasi politik saat ini.
Di samping itu terdapat juga pemandangan yang mencolok dari pelantikan yang katanya menjadi wakil rakyat, yakni ketika sejumlah anggota DPR terlihat mengantuk dan kurang bersemangat selama acara pelantikan. Kebiasaan tidur yang ditunjukkan oleh anggota DPR ini menjadi sorotan publik dan mencerminkan ketidakacuhan terhadap momen penting yang seharusnya menjadi tonggak perubahan. Sikap seperti ini mempertegas kebiasaan tidur yang dilakukan oleh para wakil rakyat adalah sebuah budaya yang diwariskan turun temurun. Momen pelantikan para pemimpin rakyat seharusnya dipandang sebagai kesempatan untuk memulai sesuatu yang baru dan menginspirasi, malah terkesan diabaikan oleh mereka yang seharusnya menjadi teladan bagi masyarakat.
Komunikasi politik seharusnya berfungsi sebagai jembatan antara politisi dan rakyat, memungkinkan para pemimpin untuk menyampaikan visi dan misi mereka serta membangun hubungan yang saling menguntungkan dengan konstituen. Rush dan Althoff (1997) memaknai komunikasi politik sebagai proses ketika informasi politik yang relevan ditentukan dari suatu bagian sistem politik ke bagian lainnya, dan di antara sistem sosial dengan sistem politik. Dalam konteks pelantikan DPR dan DPD baru-baru ini, fungsi tersebut telah terdistorsi menjadi alat propaganda yang lebih mengedepankan citra daripada substansi. Komunikasi yang disajikan kepada publik tidak mencerminkan dialog yang tulus, melainkan lebih terfokus pada drama yang dirancang hanya untuk menciptakan citra positif dan perhatian dari masyarakat semata. Para wakil rakyat yang baru saja dilantik ini tampak berusaha keras menunjukkan diri sebagai pemimpin yang memahami dan peduli terhadap rakyat. Akan tetapi pada kenyataannya, banyak dari mereka yang dilantik kemarin adalah orang-orang yang sudah dikenal karena sering muncul di layar kaca, dan bahkan merupakan di anataranya adalah produk dari dinasti politik.
Kondisi ini menciptakan kesan bahwa suara rakyat terabaikan di tengah hiruk-pikuk pelantikan para elit politik tersebut. Ketika wajah-wajah familiar yang sebelumnya juga menjabat kembali muncul di panggung politik, masyarakat merasa terjebak dalam siklus politik yang itu-itu saja tanpa perubahan yang signifikan. Terkhusus orang-orang yang sudah sering muncul di media-media karena berlatarbelakang artis atau selebriti, para pengamat politik masih senang mempertanyakan kapasitas mereka ketika menjalankan tugas sebagai wakil rakyat nanti. Fenomena ini tidak hanya mengonfirmasi bahwa politik di Indonesia merupakan permainan cerdik para penguasa, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi itu sendiri.
Salah satu contoh dinasti politik yang tampak nyata saat pelantikan wakil rakyat beberapa hari lalu adalah berasal dari trah Soekarno yang kembali menjabat sebagai Ketua DPR RI periode 2024-2029, yakni Puan Maharani. Puan Maharani merupakan anak dari presiden Indonesia ke-5 Megawati Soekarnoputri, sekaligus cucu dari presiden Indonesia pertama, Ir. Soekarno. Dan yang terbaru, salah satu cicit dari Soekarno, yakni putri dari Puan Maharani sendiri, Pinka Haprani, dilantik sebagai anggota DPR di usia yang masih 25 tahun. Kenyataan ini sangat mengecewakan, terutama karena PDI Perjuangan mengusung isu dinasti politik yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi saat mendukung anaknya untuk menjadi Wakil Presiden, meskipun pada saat pencalonan, usia anaknya belum memenuhi syarat.
Lebih dari sekadar menimbulkan kekecewaan, praktik dominasi dinasti politik ini merupakan pengkhianatan terhadap semangat demokrasi yang seharusnya memberikan ruang bagi seluruh lapisan masyarakat untuk berkontribusi, tanpa memandang latar belakang keluarga atau status sosial. Masyarakat berhak mendapatkan wakil-wakil yang tidak hanya memiliki akses ke kekuasaan, tetapi juga komitmen untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Jika potensi dan suara rakyat terus diabaikan, masa depan demokrasi kita akan terancam dan harapan untuk menciptakan pemerintahan yang lebih inklusif dan responsif akan semakin sirna.
Tidak heran kritik keras dan tajam sering ditujukan kepada sistem politik kita yang sering kali membiarkan praktik dinasti politik terus berlanjut. Kritikan tersebut tidak hanya dilontarkan oleh para pengamat politik, melainkan juga berasal dari masyarakat biasa melalui media sosial mereka. Partai politik patutnya menjadi pihak atau kelompok yang memiliki tanggung jawab besar untuk menghadirkan calon-calon yang benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat, bukan sekadar memilih individu-individu dari dinasti yang sudah ada karena sekadar memperlancar kepentingan. Keberagaman harus menjadi prinsip dasar dalam pemilihan calon, dan partai perlu bersikap tegas dalam mendukung kandidat-kandidat yang berasal dari berbagai latar belakang, yang memiliki kemampuan dan komitmen nyata untuk memperjuangkan kepentingan publik.
Namun, tantangan ini tidak hanya menjadi tanggung jawab partai politik semata. Masyarakat juga memegang peranan penting dalam menuntut tanggung jawab dari orang-orang yang mengatasnamakan wakil rakyat. Masyarakat sebagai pemilih perlu menjadi lebih cerdas dan kritis dalam menilai kandidat, tidak hanya sekedar terkesan atau tertarik dengan nama-nama yang sudah mereka kenal lewat media atau keluarga-keluarga para penguasa yang mau menurunkan tahtanya. Selain itu, masyarakat sangat penting untuk mempertimbangkan rekam jejak serta dedikasi mereka terhadap kepentingan publik. Tanpa adanya tindakan dari masyarakat, kita akan terus terjebak dalam siklus kekuasaan yang sama dan kehilangan kesempatan untuk menciptakan sistem politik yang lebih adil dan inklusif.
Pelantikan wakil rakyat yang baru-baru ini berlangsung sesungguhnya bukan hanya sekadar seremonial semata, melainkan menjadi cerminan nyata dari dinamika komunikasi politik yang terdistorsi serta tantangan yang dihadapi oleh demokrasi di Indonesia. Dengan semakin menguatnya dominasi dinasti politik, masyarakat harus lebih berani menuntut perubahan dan transparansi dalam sistem politik yang ada. Salah satu kunci penting untuk menciptakan iklim politik yang lebih bersih dan benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat adalah dengan selalu mengutamakan suara rakyat. Dan sudah seharusnya masyarakat mengambil peran aktif dalam jalannya sistem politik ini, bukan lagi hanya menjadi penonton drama politik yang semakin hari semakin lucu tapi tak membuat tawa ini.