Lastry Monika
(Penulis Lepas, Asal Talang Anau Kab. Lima Puluh Kota)
Maek bukan sekadar tujuan perjalanan singkat di tahun 2017 silam, melainkan pengantar pada memori masa kecil tentang Bukik Posuak, rimbo Nenan, dan sejumlah pertanyaan yang muncul belakangan. Keunikannya yang terasa asing dan misterius tak mudah dielakkan. Terlebih, situs megalitikumnya yang legendaris membuat Maek lebih dari sekadar destinasi. Ia adalah saksi bisu sejarah panjang, peradaban, dan tradisi masa lalu yang hingga kini belum terpecahkan.
***
“Hendak ke mana? Dalam rangka apa?” Tanya ayah teman saya kepada kami. Raut wajahnya mengatakan ia sudah tahu kami hendak ke mana. Hanya saja ia ragu, apakah memberi izin atau tidak.
“Wah, jauh itu! Jalannya juga terbilang ekstrem,” sahutnya ketika teman saya berkata kami hendak ke Maek. Kali ini lelaki paruh baya itu tampak berpikir panjang. Sambil memelintir kumisnya yang cukup tebal, ia mengamati dua motor yang salah satunya akan kami bawa.
“Kalau begitu, bawa yang ini saja!” Ujarnya sambil memberikan salah satu kunci motor kepada kami. Motor yang ia serahkan memang agak butut, tetapi rupanya untuk menapaki jalan menuju Maek itulah pilihan yang tepat.
Maek, nagari ini sudah cukup lama memiliki kenangan tersendiri bagi saya. Ketika kecil, saya mengenal nagari ini dari tutur orang dewasa tentang Bukik Posuak. Bukit yang konon berlubang karena dilempar paha rusa oleh seorang bernama Bagindo Ali. Selain Bukik Posuak, ibu saya sering mengeluarkan kata “rimbo Nenan” bila orang bercerita tentang Maek atau melewati suatu jalan lengang yang rimbun pepohonan kiri kanan. “Kita seperti berada di rimbo Nenan, ya!” Begitu ujar ibu meski ia belum sekalipun menginjakkan kaki di nagari yang dikelilingi barisan bukit itu.
Karena beragam tuturan itulah Maek terimajinasi agak asing di kepala saya. Padahal, kampung halaman saya di pelosok dataran tinggi Gunuang Omeh sana masih satu kabupaten dengan Maek. Terlebih bila orang-orang bercerita tentang menhir, situs megalitikumnya. Kata yang akrab saya jumpai di pelajaran sejarah bangku sekolah.
Ketika menginjak Sekolah Menengah Pertama, kesempatan berkenalan dengan siswa berkampung halaman di Maek mengantarkan saya pada ciri khas lain dari nagari ini. Kata “kiang” menjadi populer di kala itu. “Kiang” adalah sapaan yang biasa digunakan antarteman sebaya atau orang yang lebih tua kepada orang yang lebih muda. Awal mengetahui aturan tak tertulis tentang sapaan “kiang” ini, saya malu dan merasa bersalah karena pernah sembrono bergurau menyapa beberapa senior di sekolah.
Pertemanan dengan kawan dari Maek rupanya awet hingga saya duduk di bangku kuliah. Sedikit momen ketika KKN, 2017 silam, mengantar saya mengunjungi nagari ini. Nagari yang kata orang-orang jauh dan memiliki akses jalan yang rumit. Namun, tak dinyana, bagi saya pribadi tak seekstrem yang dituturkan orang-orang. Sebagai sesama orang “mudiak”, kelok-kelok jalan yang mendaki, menurun, berbukit, bertebing, dan diapit pohon-pohon rimbun adalah hal yang biasa. Meski begitu, Maek tetap lain karena suatu alasan yang barangkali hanya dimiliki nagari bertopografi berupa ceruk luak ini.
“Selamat datang di nagari kami yang bak kuali besar ini!” Ujar teman saya sembari mengenalkan beberapa bukit yang seolah berderet di nagari itu. “Oh, pantaslah disebut Bukit Barisan!” Batin saya sembari mengamati lekat-lekat Bukik Posuak yang melegenda itu beserta deretan bukit-bukit lainnya.
Di siang menjelang sore kala itu saya dan beberapa kawan perempuan lainnya terbilang nekat menuju Maek. Tidak ada satu pun di antara kami yang pernah ke sana sebelumnya. Kami menapaki puluhan kilometer jalan bermodalkan Google Maps dan bertanya kepada penduduk setempat agar tak tersesat.
Kami yang awalnya hanya berencana menghadiri acara baralek seorang teman, memanfaatkan waktu yang tersisa untuk mengunjungi menhir. Dari beberapa titik sebaran keberadaan situs megalit itu, kami memutuskan mengunjungi situs Bawah Parit. Di sinilah tempat menhir terbanyak dibandingkan situs lainnya seperti Balai Batu, Ampang Gadang, Ronah, Nenan, Padang Ilalang, dan Aur Duri.
“Lihat, semua batu mejan yang berdiri itu (sebutan menhir oleh warga setempat)! Mereka menghadap arah yang sama. Kiblatnya di Gunuang Sago sana!” Jelas teman saya yang menjadi tour guide dadakan kami. Ia menunjuk arah timur laut tempat Gunung Sago membentang. Akan tetapi, rimbunnya pohon karet dan pinang yang mengitari lokasi serta sedikit kabut membuat pandangan kami terbatas.
Menhir yang sebagian besar berbentuk serupa gagang keris dan ujung tanaman pakis itu memang menghadap ke satu arah. Dikarenakan menghadap matahari terbit itulah masyarakat menyimpulkan keberadaan menhir di Maek menandai suatu kepercayaan di masa silam. Bila ditelusuri lewat penelitian arkeologi, Lutfi Yondri (seorang arkeolog) dalam artikelnya bertajuk “Temuan Kubur Di Situs Bawahparit (Lima Puluh Koto) Corak Penguburan Megalitik Masa Transisi” menyimpulkan bahwa menhir dalam tradisi megalitikum memiliki fungsi utama yang terkait dengan pemujaan arwah leluhur. Sedang Bonatz, arkeolog asal Jerman, menambatkannya sebagai fitur penandaan wilayah, permukiman, hingga pemakaman.
“Dari cerita ibuku, dua menhir di Bawah Parit ini dulu pernah digali. Di bawahnya ditemukan tulang-belulang manusia,” ujar teman saya sembari kami menelusuri satu menhir menuju menhir lainnya.
Penggalian yang dimaksud teman saya itu dilakukan pada tahun 1985 dan 1986 oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Dua menhir berbentuk kris hilt yang berhias ukiran digali dan ditemukan kerangka manusia di bawahnya. Lewat “A Valley of Megaliths in West Sumatra Mahat (Schnitger’s Aoer Doeri) Revisited”, Miksic menyebut kepala dari kerangka itu terletak di bawah batu. Jasadnya diposisikan memanjang dengan kaki menghadap ke tenggara. Jasad tersebut berbaring miring menghadap barat daya dengan tangan disilangkan di atas area genital.
“Apakah ada benda-benda lain juga di dalam makam itu?” Tanyaku mengingat dalam pelajaran sejarah penguburan masa lalu selalu disertai berbagai pernak-pernik benda semasanya. Bisa jadi, berkat benda-benda peninggalan itulah dapat ditelusuri tradisi manusia pada zamannya. Apakah mereka betahan hidup dengan bercocok tanam, berburu, atau meramu.
“Hmmm… kalau soal itu kurang jelas pula olehku!” Jawab teman saya setelah berpikir cukup lama. Sembari meninggikan bahunya sekejap sebagai tanda ketidaktahuan ia mengajak saya menelusuri menhir-menhir yang lain.
Inilah rupanya yang juga menjadi fakta menarik bagi para arkeolog. Situs megalit di Maek berbeda dengan situs megalit di tempat lain. Penggalian pada situs Bawah Parit tidak menemukan benda atau artefak lain yang sekiranya terkait dengan kerangka. Rentang tahun 1985 hingga 1986 itu, Puslit Arkenas menggali sejumlah 8 menhir. Dari hasil penggalian ditemukan 7 kerangka manusia yang disebut berciri mongoloid. Pada salah satu kerangka ditemukan pecahan gerabah. Namun, gerabah itu bukan dimaksudkan sebagai bekal kubur sebagaimana penguburan megalitikum di tempat lain.
Berkat penggalian yang hampir berlalu empat dekade silam itu diperoleh pula bukti bahwa situs megalit Bawah Parit memiliki penanggalan yang lebih awal dibanding situs lainnya di bumi Minangkabau, bahkan di pulau Sumatra. Dominik Bonatz lewat hasil penelitiannya “The Neolithic in the Highlands of Sumatra: Problems of Definition” beroleh kesimpulan tersebut. Ini pulalah yang kemudian menjadi polemik di kalangan pemuka adat dan akademikus. Situs megalitikum tertua (yang sekaligus menandakan adanya peradaban) justru berada di luhak yang dikategorikan sebagai Luhak Nan Bungsu. Asal-usul orang Minangkabau menurut tambo pun kembali dipertanyakan.
Sampel kerangka manusia di Situs Bawah Parit pernah pula dianalisis oleh Teuku Jacob untuk analisis penanggalan. Dari analisisnya, Bapak Paleoantropologi Indonesia itu beroleh hasil 3500 ± 100 BP; 3000 ± 1500 BP; 2070 ± 100 BP. Dari penanggalan itu, ia menyatakan bahwa manusia yang hidup di sana ialah 2000–3000 tahun yang lalu dan merupakan Australomelanesid. Simpulan yang memang berbeda dari perkiraan Puslit Arkenas. Bahkan, banyak pula berbagai pihak yang menyatakan belum didapatnya analisis penanggalan radiokarbon hingga saat ini.
Bagi Teuku Jacob, keberadaan Australomelanesid menandakan bahwa situs Bawah Parit sebelumnya dihuni oleh kelompok lain. Dapat dikatakan pula, Australomelanesid adalah para migran di wilayah tersebut.
Meskipun ditemukan di nagari yang sama, situs megalit lain yang tersebar di Maek justru memiliki penanggalan yang lebih muda bila dibandingkan dengan situs Bawah Parit. Bahkan menurut Miksic, arkeolog kelahiran Amerika itu, situs-situs lain tumpang tindih dengan masa kekuasaan Raja Adityawarman yang mengambil alih kendali pedalaman Minangkabau pada abad ke-14.
***
Situs megalitikum bawah parit (dokumentasi pribadi penulis)
Tiupan angin sore terasa semakin kencang dan cukup menggigilkan ketika bersentuhan langsung dengan kulit. Terlebih pepohonan karet dan pinang di sekitar situs Bawah Parit tumbuh rapat dan rimbun. Tidak ada pula satu pun di antara kami yang mengenakan jaket untuk perjalanan jauh ke lembah ini. Memang, kami bepergian tanpa antisipasi yang matang.
Setelah melihat-lihat dan mengabadikan beberapa momen kunjungan ke situs purbakala ini, saya menyadari satu hal dan malah terpikirkan belakangan. Ada yang unik dari menhir-menhir ini. Ada batu tegak yang berukir dan ada pula yang tidak.
“Kalau menurut cerita tetua di sini, motif di batu mejan menandakan kedudukan sosial masyarakat di masanya,” tutur teman saya seolah bisa membaca isi kepala saya. Barangkali karena ia melihat saya memerhatikan batu-batu tersebut dengan saksama bak seorang peneliti saja. “Mejan yang bermotif konon adalah penanda makam seseorang yang punya jabatan di masa itu. Kalau mejan-nya polos, konon itu makam orang biasa,” lanjutnya menjelaskan. Saya manggut-manggut.
Sebagian besar motif yang terukir berupa kaluak paku. Motif yang hingga saat ini biasa ditemukan dalam ukiran rumah gadang, songket, bordir kain, hingga batik di Minangkabau. Selain motif kaluak paku, juga ada motif bergelombang dan jalur yang membentuk segitiga. Motif-motif yang tampak terinspirasi dari alam sekitar di lembah Maek. Bila diperhatikan benar, tak hanya motif di menhir yang bernuansa demikian, bentuk menhir pun bernuansa serupa. Sebagian menhir menyerupai gagang keris, sebagian lainnya menyerupai kepala binatang seperti ular dan anjing.
Saya mencoba berdiri sejajar dengan arah menhir-menhir itu berkiblat. Meski berselimut kabut, saya membayangkan gunung Sago menjulang di baliknya. Terbayang pula sepintas lalu orang-orang di masa dulu melakukan ritual tertentu. Barangkali gunung adalah suatu simbol spiritual, sesuatu yang suci dan sakral, sebuah awal dan bersemayamnya kehidupan.
Tampaknya tidaklah bisa disangkal bahwa megalitikum adalah sebuah tradisi di nagari Maek ini. Seperti yang dipaparkan Rr. Triwurjani dalam salah satu penelitiannya, “The Counting Tradition of Austronesian Culture at Lima Puluh Kota, West Sumatra” dalam Jurnal Berkala Arkeologi. Sebaran menhir yang berkelompok itu juga menandakan adanya beberapa permukiman di nagari bak kuali besar ini. Di sinilah peradaban kuno itu berlangsung. Di sinilah para nenek moyang kita itu bermukim.
Tak mengherankan pula bila bermunculan hipotesis bahwa dari Nagari Seribu Menhir inilah leluhur Minangkabau bermula. Tak hanya lewat hamparan situs megalitikum yang ditinggalkan, melainkan juga lewat tinjauan bahasa yang digunakan. Nadra, Profesor Linguistik Universitas Andalas dalam salah satu penelitiannya memaparkan bahwa bahasa Minang konservatif ditemukan di sini. Lantas, bukanlah suatu ketidakmungkinan di daerah inilah tempat pertama orang Minangkabau bermukim.
***
Senja semakin menjelang, di hari yang semakin gelap itu, saya dan kawan-kawan memutuskan lekas pulang. Di perjalanan, bayang-bayang tentang menhir dan leluhur di masa lalu terus berkelindan. Pantas saja, para arkeolog mengategorikan fenomena penggunaan megalit sebagai nisan di situs-situs megalitikum Maek suatu hal yang luar biasa. Hingga saat ini pun penemuan tersebut masih diselimuti sekelebat kabut hingga belum sepenuhnya terpecahkan. Penggunaan ukiran pada batu-batu yang berdiri pun demikian. Ukiran, penguburan, dan menhir-menhir dengan beragam bentuk dan ukuran itu masih menjadi misteri terkait kronologis dan manfaatnya di masa silam. Apakah hal itu hanya sebuah kebetulan? Apakah sejumlah penanda itu memiliki makna tertentu dan aturan ?
Pertanyaan-pertanyaan serupa menjadi cukup sulit untuk ditelusuri jawabannya karena suatu alasan yang sulit dielakkan. Dari paparan Bonatz, ahli arkeologi dari Freie Universitat Berlin itu, dataran tinggi Sumatra tergolong kurang menguntungkan untuk situs pemakaman dalam hal pelestarian kerangka-kerangka yang ditemukan. Tanah yang bersifat asam mengakibatkan tulang-belulang menjadi rapuh, cepat rusak, dan hancur.
Meskipun demikian, kabar akan diadakannya penelitian mendalam oleh BRIN terhadap situs-situs megalit di Maek adalah angin segar. Sebab, di lembah seribu mejan itu masih terbuka gerbang yang lebar untuk diteroka dan disigi lebih dalam. Beragam kemungkinan dapat disibak hingga bermuara pada temuan yang lebih terang.
***
Beragam kemungkinan itulah yang belakangan membuat situs megalitikum di nagari yang dikenal dengan Negeri Seribu Menhir itu tampak sibuk. Bukan, bukan sibuk oleh orang-orang yang berkunjung sambil berswafoto atau sejumlah peneliti yang mengamati bebatuan dengan tekun sembari catat-catat. Situs itu sibuk oleh sejumlah anak muda dengan aktivitas yang tidak biasa. Setidaknya aktivitas yang mereka lakukan itu tidak lazim dalam keseharian penduduk setempat.
Di sekitar ratusan bebatuan yang sebagian tubuhnya menancap ke tanah itu mereka bertebaran. Mereka berkelintaran sembari mengayunkan kaki dan tangan, berputar-putar seperti sedang menari. Ya, memang itulah yang tengah mereka lakukan. Dengan lincah dan gemulai, mereka menari di antara menhir-menhir berusia ratusan tahun silam itu sebagai panggungnya.
Di Maek, nagari yang telah sejak lama menjadi subjek penelitian peradaban kuno itu tengah berlangsung perhelatan Maek Festival. Sejumlah anak nagari dilibatkan dalam pageleran. Pertunjukkan tari dan seni tradisi ialah dua di antaranya. Tiga koreografer andal asal Padang, Jerman, dan Australia (Jefriandi Usman, Bianca Sere Pulungan, dan Janette Hoe), menjadi fasilitator 20 muda-mudi Maek dalam menciptakan pertunjukkan yang mereka sebut karya kolaboratif.
Menhir-menhir bukan sekadar properti, bukan pula sekadar panggung. Begitulah tutur Jefriandi Usman seperti yang termaktub pada laman Langgam.id (18/06/24). Lewat eksplorasi gerak dan tubuh ia ingin menhir-menhir menjelma sesuatu yang hidup. Sang koreografer hendak menawarkan imajinasi baru tentang peradaban Maek di masa lalu yang masih berselimut misteri hingga saat ini.
Rekan koreografer lainnya, Bianca, menyebut karya kolaboratif mereka dengan tajuk “instalasi bergerak”. Ia mengajak anak muda Maek mengeksplorasi gerak tubuh secara bebas dan lepas. Ia menginginkan keterhubungan antara tubuh dan keterkaitannya dengan masa lalu serta budaya Maek di masa kini. Pertunjukkan tari nonkonvensional ialah muara yang hendak disongsongnya.
“Masa” adalah tajuk yang digunakan untuk menampilkan karya kolaboratif anak-anak muda Maek dalam perhelatan festival. Kata yang mengait waktu, suatu zaman, dan peristiwa penting. Lewat geliat tubuh yang seolah tanpa batas, iringan musik tradisional, dan dayu senandung, para penampil tampak berhasil melahirkan imaji-imaji baru tentang peradaban.
Menhir-menhir yang berdiri megah di tengah lembah itu seolah menunggu untuk bercerita lebih banyak. Mereka adalah saksi bisu dari kelindan peradaban, kehidupan, kebudayaan, dan ritual para nenek moyang. Kehadiran Maek Festival ialah upaya beragam khalayak menggeliatkan kembali aktivitas akademis dan kreativitas seni yang akan terus lahir. Dengan penelitian mendalam, diharapkan tabir sejarah panjang yang masih rahasia itu dapat tersibak dengan lebih jernih.
Discussion about this post