Angkasa
Cerpen: Bramstya Argadewa Bima Ryandie
Sang surya sudah hampir pergi di ufuk barat sana. Di depan sebuah langgar[1] kecil, di tengah-tengah padang ilalang anak-anak kecil berlarian. Seorang pria paruh baya berdiri di tangga langgar sambil memandangi senja yang mulai mempersembahkan pertunjukkan spektakulernya, sunset. Cahaya jingganya seakan mengucap salam perpisahan pada seluruh dunia.
Pria paruh baya itu mengalihkan pandangannya pada anak-anak yang masih bermain “Wes nduk! Muliho kono, wes arep mbengi ki, engko mbokmu nggole’i[2]” Serunya pada mereka. “Iyo stad!” Jawab mereka serempak lalu berlari berlari pulang. Pria paruh baya itu tersenyum tipis kemudian masuk ke dalam langgar untuk mengumandangkan azan.
Sehabis Isya setelah pria itu selesai mengajarkan anak-anak yang mengaji di sana, dia duduk di teras langgar bersama anak-anak yang belum pulang. “Stad hari ini kita mau ngapain stad? Latihan silat, main gamelan, atau hadrohan?” Pria yang dipanggil ustadz itu tersenyum. Setiap hari setelah isya pria itu sering mengajak anak-anak belajar berbagai macam hal dari kesenian hingga agama.
Pria itu mengalihkan pandangannya ke langit yang ditaburi bintang dan bulan sang pangeran malam, malam ini rembulan menampilkan pesona penuhnya, purnama. “Percaya nggak kalo misalnya ustadz bilang bulan itu pemalu, bahasa gaulnya insecure” ucap pria itu. Seketika anak-anak pun melango “Hah? Insecure, maksudnya stad?” Tanya mereka serempak. Pria yang dipanggil ustadz itu tersenyum penuh arti “Hari ini kita nggak usah belajar dulu, hari ini ustadz mau menceritakan sebuah kisah. Alkisah zaman dahulu ada sebuah pondok kecil yang dipimpin seorang kyai yang bernama K.H. Langit. Di antara semua santrinya ada tiga orang santri yang paling menonjol, nama mereka Matahari, Bulan, dan Bumi”.
Discussion about this post