Lastry Monika
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Hirayama melihat dunia dengan hatinya. Ia melihat detil-detil kecil sebagai sesuatu yang luar biasa. Darinya kita belajar bahwa perlu untuk meluangkan waktu dan mensyukuri detil kecil yang selintas terlihat tidak penting. Detil kecil itu baginya mewujudkan kegembiraan yang menenangkan.
Selama dua jam, Perfect Days yang disutradarai oleh Wim Wenders ini menyajikan penonton ritme yang lambat dan tenang. Film tahun 2023 produksi Jerman-Jepang yang diperankan Koji Yakusho (sebagai Hirayama) ini menunjukkan sebuah alternatif untuk menikmati kehidupan. Kesempurnaan dalam hidup tidak melulu harus dikejar berdasarkan yang dilakukan kebanyakan orang. Tidak perlu untuk selalu haus akan sensasi dan validasi yang mendorong sebagian orang untuk selalu terburu-buru, memaksa diri menapaki tangga yang tinggi, dan berlari tanpa henti karena takut ketinggalan.
Hirayama menikmati kesehariannya tanpa teknologi digital. Ia tidak memiliki televisi dan smartphone. Kesehariannya sepulang bekerja sebagai pembersih toilet umum ia habiskan dengan membaca buku yang dibelinya di toko buku bekas. Secara cukup rutin ia berkeliling kota menggunakan sepeda mengunjungi pemandian umum, kedai makanan, toko pencetak foto, penatu, dan sebuah bar kecil yang sering dikunjungi orang-orang paruh baya seperti dirinya.
Sebuah kamera analog dan beberapa kaset jadul berisikan folk Jepang dan rock Inggris hingga Amerika tahun 70-an menemani hari-harinya. Dua benda yang tampak menenteramkan bagi Hirayama. Saat pergi bekerja ia akan memutar kaset tersebut sembari sesekali tersenyum menikmati alunan musik. Saat istirahat siang, ia akan mendaki mengunjungi kuil dan menikmati makan siangnya dari atas bukit tersebut. Dalam ketenteraman menikmati makan siang, ia akan memerhatikan celah-celah cahaya matahari melalui daun-daun pohon mapel yang rindang. Sebuah pemandangan yang bagi Hirayama menarik dan menyenangkan hingga diabadikan lewat tangkapan kemera analognya.
Interaksi Hirayama dengan pohon mapel Jepang seolah memiliki arti tersendiri. Ia akan memerhatikan sekiranya ada bibit mapel di sekitaran pohon. Kemudian ia akan memungut dan merawatnya di apartemennya. Sepanjang Perfect Days yang minim dialog ini, nyaris tak diperlihatkan konflik yang menguras energi penonton. Salah satu yang menjadi sorotan hanyalah perjumpaan Hirayama dengan keponakan perempuan dan saudara perempuannya. Sekilas tampak ada konflik di masa lalu antara Hirayama dengan keluarganya, tetapi sedikitpun tak dijelaskan, baik melalui kilas balik maupun dialog antara karakter. Pertemuan yang canggung itu berakhir dengan pelukan hangat antara dua kakak beradik yang tampak telah lama tak berinteraksi.
Begitu pula perjumpaan Hirayama dengan mantan suami pemilik bar yang sering ia kunjungi. Dialog keduanya justru diakhiri permainan menginjak bayangan seperti dua bocah laki-laki yang saling menghibur diri. Sepanjang film hanya didominasi keharmonian yang ditampilkan lewat ekspresi Hirayama dan sejumlah cuplikan yang menggambarkan ketenangan. .
Hirayama bahagia dan bersyukur karena hal-hal kecil di sekitarnya. Setiap kali membuka pintu apartemen sebelum berangkat kerja, ia akan memerhatikan langit dan tersenyum bila hari itu cerah. Ia tampak bersyukur bila ada pengunjung toilet yang menekan tombol siram bila toilet selesai digunakan. Ia tampak senang menyaksikan kilauan cahaya di sela-sela pohon mapel. Ia begitu menikmati buku dan musik jadul untuk mengisi waktu sebelum tidur dan perjalanan menuju tempat kerja. Perfect Days memang beralur lambat, tenang, dan minim dialog. Namun lewat cara ini pulalah kisah yang ditampilkan tampak hendak mengemukakan cara pandang baru dalam menjalani kehidupan.
Discussion about this post