Oleh: Ronidin
(Dosen Program Studi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Pada Minggu, 5 Mei 2024 yang lalu, saya berada di Malioboro, Yogyakarta. Ramai orang di sana. Ratusan bus pariwisata berjejer rapi di kawasan parkir Malioboro mengantarkan ribuan penumpang dari luar Yogyakarta yang kemudian menyemuti kawasan pusat kota Yogyakarta tersebut. Begitu pula dari kawasan Stasiun Tugu di ujung utara Malioboro, juga berdatangan banyak pengunjung yang kemudian memadati kawasan Malioboro.
Ramainya orang ke Malioboro mengindikasikan bahwa Yogyakarta masih menjadi magnet untuk dikunjungi. Cerita tentang ini tidak akan habis-habisnya dan selalu menarik untuk diikuti. Harus diakui bahwa Yogyakarta memang menarik minat banyak orang untuk mengunjunginya, terutama untuk berwisata, berlibur menyegarkan pikiran. Selain berwisata, banyak orang datang ke Yogyakarta untuk belajar dan keperluan lainnya. Tengoklah klub-klub sepakbola dari liga 1 dan liga 2 hingga ke timnas sering mereka melakukan training di Yogyakarta karena suasana dan fasilitasnya yang mendukung. Intinya, Yogyakarta memang istimewa dan menyenangkan. Kawasan Malioboro seperti pusat magnetik yang terus menarik-narik para pengunjung dari berbagai daerah untuk datang ke sana.
Akan tetapi, di balik kelebihan-kelebihan Yogyakarta sebagai destinasi yang patut dikunjungi dan sudah dimaklumi banyak orang, ada pula hal-hal yang tidak mengenakkan bila kita berkunjung ke Yogyakarta. Hal-hal yang tidak mengenakkan tersebut bila diungkapkan bisa jadi bersifat subjektif, tetapi ini suatu realitas yang harus dipahami oleh siapa pun yang ingin ke Yogyakarta.
Hal pertama yang tidak mengenakkan bila kita ke Yogyakarta adalah letak bandaranya yang jauh dari pusat kota. Bandara Internasional Yogyakarta (YIA) di Kulon Progo berjarak lebih kurang 44 km dari pusat kota Yogyakarta. Suatu jarak yang jauh dan melelahkan untuk ditempuh setelah kita landing dari pesawat. Moda transportasi dari dan ke YIA memang beragam, tetapi itu menuntut biaya yang lebih mahal bila dibandingkan saat bandara masih di kawasan Adi Sucipto. Tarif Damri dari dan ke pusat kota Yogyakarta dari YIA sekitaran 80 ribu Rupiah, sedangkan tarif moda transportasi online dan taksi berkisar antara 180 ribu hingga 250 ribu Rupiah. Cukup mahal.
Memang ada kereta bandara yang murah dengan tarif 20 ribu Rupiah, tetapi kereta ini tidak tersedia saban waktu dan adakalanya pada waktu-waktu tertentu kapasitas yang tersedia telah penuh sehingga banyak penumpang yang terpaksa menunggu trip berikutnya atau terpaksa pindah ke moda transportasi yang lain. Saya pernah memiliki pengalaman membeli tiket dini hari untuk mengejar sampai di bandara sebelum pesawat jam 7 berangkat. Tetapi apa yang terjadi, tidak ada tiket tersisa sehingga saya harus menyewa taksi dengan tarif borongan di atas 250 ribu Rupiah. Waktu itu penulis tidak kepikiran untuk membeli tiket secara online karena mengira penumpang pada dini hari tidak akan terlalu banyak.
Hak kedua yang tidak mengenakkan bila berkunjung ke Yogyakarta ialah adanya oknum-oknum tertentu yang menjadi tukang pakuak (Jawa, nuthuk) di tempat-tempat tertentu di Yogyakarta. Pernah viral di medsos pertengahan tahun 2021 yang lalu oknum pedagang di warung-warung lesehan di kawasan Malioboro serta oknum tukang becak yang mematok tarif di luar kewajaran. Untunglah pihak yang berwenang di Yogyakarta segera mengatasi masalah ini dengan memberi sanksi tegas kepada pihak-pihak yang terlibat nuthuk ini karena sangat merusak citra Yogyakarta. Kepada para pedagang diinstruksikan untuk membuat tarif makanan dan minuman yang mereka jual. Demikian juga kepada para tukang becak diberi teguran untuk tidak nuthuk, jika kedapatan maka tidak diperbolehkan lagi beroperasi di Yogyakarta.
Fenomena nuthuk yang terlanjur viral tersebut membuat pengunjung terpaksa harus berhati-hati bila berbelanja di kawasan Malioboro, bahkan di Yogyakarta. Bila hendak memesan makanan dan minuman, pengunjung harus memastikan dulu harganya. Bila hendak menumpang becak motor, becak kayuh, dan andong di kawasan Malioboro harus ditanya dulu tarifnya sebelum naik. Tidak main beli dan naik-naik saja. Teman saya pernah dimintai ongkos 50 ribu Rupiah oleh oknum becak motor dari Alun-Alun Utara ke masjid Jogokariyan, padahal jika naik grab ongkosnya tidak lebih dari 20 ribu Rupiah. Untung dia bertanya dulu ongkosnya sehingga tidak menjadi korban nuthuk.
Selanjutnya, hal yang tidak mengenakkan di Yogyakarta adalah antitesis dari apa yang sering dikatakan banyak orang bahwa biaya hidup di Yogyakarta murah. Saat ini, hal itu agaknya sudah tidak berlaku lagi. Apa-apa di Yogyakarta sekarang mahal. Mahasiswa saat ini hanya sedikit yang makan minum di angkriangan atau kedai-kedai murah di pinggir jalan. Mereka umumnya ke kafe yang mahal.
Bila menetap di Yogyakarta saat ini yang paling mahal itu adalah sewa tempat tinggal. Tarif tempat kos di ring 1 UGM dan UNY rata-rata sudah mendekati angka 600 ribu hingga 1 juta Rupiah per kamar untuk sebulan. Jika ingin yang eksklusif dengan fasilitas yang lengkap tarifnya antara 1,5 hingga 2 juta Rupiah per bulan. Kalau ingin mencari tempat kos yang agak lebih murah, itu ada di pinggiran Yogyakarta. Itu pun kalau dihitung-hitung dengan segala mobilisasi yang kita lakukan terhitung mahal juga. Jadi, tidak ada yang murah di Yogyakarta saat ini. Harga barang kebutuhan sehari-hari pun mahal. Sebagai contoh, saya terkaget-kaget dengan harga buah-buahan di Yogyakarta yang mahal. Naga mahal, lengkeng mahal, cubadak mahal, papaya mahal, mangga mahal, pisang mahal. Sebutir pisang sudah dibandrol dengan harga mencapai 4 hingga 5 ribu Rupiah. Bila anggur, apel, dan pir mahal, itu wajar karena buah impor. Tetapi buah lokal juga mahal.
Selanjutnya, yang juga tidak mengenakkan di Yogyakarta saat ini adalah banyak lalat. Di mana-mana ada lalat. Di warung-warung makan banyak lalat, hinggap dan terbang-terbang di sekitar makanan. Di kawasan elite pun ada lalat. Saya dan teman saya dari Leiden, Belanda pernah makan di sebuah restoran mewah di kawasan Malioboro. Ketika makanan yang kami pesan sudah terhidang, hinggaplah lalat besar hitam di makanan teman saya itu. Lalat itu menggelepar-gelepar di makanannya yang berkuah. Untunglah teman saya itu tidak seorang yang panjajok. Lalat itu diambil dan dibuangnya. Untung dia tidak minta ganti makanannya. Sepanjang makan, lalat-lalat yang lain bersileweran di hadapan kami. Lalat juga banyak di tempat makan lain yang pernah saya datangi.
Banyaknya lalat saat ini di Yogyakarta tidak terlepas dari persoalan sampah yang problematik. Bila dulu saya ke Yogyakarta tidak terlihat tumpukan sampah di mana-mana, tetapi sekarang tumpukan itu ada di mana-mana. Sebagai pendatang tentu saya tidak mengetahui akar persoalannya, tetapi kabarnya masalah sampah ini muncul karena TPA Piyungan ditutup dan TPA alternatif sedang dalam penyelesaian. Tentu orang-orang hebat di Yogyakarta sudah memikirkan masalah ini, tetapi bagi pengunjung seperti saya kehadiran banyak lalat menjadi hal yang tidak mengenakkan. Bayangkan makanan yang akan kita konsumsi terlebih dahulu dihinggapi oleh lalat yang entah hinggap di mana sebelumnya.
Begitulah, hal-hal yang tidak mengenakkan ketika berkunjung ke Yogyakarta ini menjadi catatan kecil saya. Dari pada ini menjadi catatan di dalam hati saja, ada baiknya saya bagi dengan para pembaca di mana pun berada. Semoga ada hikmah di baliknya. Wallahualam bissawab.
Discussion about this post