Oleh: Tasya Salsabila Junaid
(Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Penggunaan gaya bahasa dalam suatu karya sastra dapat menimbulkan emosi pembaca, baik emosi sedih, bahagia, maupun amarah. Hiperbola merupakan salah satu gaya bahasa yang dapat memicu emosi pembaca. Keraf menyatakan hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal (2010: 135). Pengertian lain juga diberikan oleh Nurgiyantoro bahwa gaya hiperbola biasanya dipakai jika seseorang bermaksud melebihkan sesuatu yang dimaksudkan dibandingkan keadaan yang sebenarnya dengan maksud untuk menekankan penuturan (2018: 261).
Salah satu bentuk karya sastra yang menggunakan gaya bahasa hiperbola dalam penciptaannya adalah cerpen. Cerpen merupakan salah satu cabang seni sastra yang menyajikan sebuah cerita mengenai suatu kejadian atau masalah dalam penceritaan yang singkat sehingga bisa dibaca dalam waktu yang sebentar. Sumardjo dan Saini mengungkapkan pengertian cerpen adalah cerita narasi yang fiktif (tidak benar-benar telah terjadi tetapi dapat terjadi di mana saja dan kapan saja) serta pendek (1997: 37). Pengertian cerpen juga diberikan oleh Sayuti bahwa cerpen merupakan karya prosa fiksi yang dapat selesai dibaca dalam sekali duduk dan ceritanya cukup dapat membangkitkan efek tertentu dalam diri pembaca (2000: 9),.
Seno Gumira Ajidarma adalah seorang sastrawan kenamaan Indonesia yang menggunakan gaya bahasa hiperbola dalam karyanya. Penulis yang lahir pada tahun 1958 ini telah menciptakan berbagai karya sastra yang sudah diakui. Hal itu terlihat pada sejumlah penghargaan yang telah ia terima sepanjang kariernya. Salah satu karya sastra yang ia ciptakan adalah cerpen yang berjudul “Gubrak!”. Cerpen itu ditulis pada tahun 2011 yang termuat dalam buku kumpulan cerpen “Transit: Urban Stories”. Cerpen “Gubrak!” ini banyak menggunakan gaya bahasa hiperbola atau bisa dibilang bahwa gaya bahasa hiperbola menjadi unsur pembangun utama cerpen karya Seno Gumira Ajidarma.
Cerpen berjudul “Gubrak!” ini mengisahkan tentang seorang wanita yang memiliki kecantikan di atas rata-rata bayangan manusia. Wanita itu sangat cantik, bahkan dikatakan bahwa tiada yang lebih cantik dari dirinya. Kecantikannya dikatakan bisa membuat udara bergelombang dan membuat pingsan siapa saja yang melihatnya. Kecantikan yang awalnya hanya membuat orang terpesona, lambat laun terus bertambah sehingga membuat siapa saja yang melihat maupun meliriknya tidak sadarkan diri. Kecantikan yang berbahaya ini pada akhirnya menimbulkan kegaduhan yang amat-amat besar pada penduduk kota. Ketika ia berjalan di jalanan macet, di setiap langkah anggunnya, ia membuat siapa saja yang melihatnya pingsan, mobil-mobil bertabrakan. Gubrak!
Dengan tumbangnya manusia-manusia di sana, timbullah kegaduhan yang bahkan membuat petugas keamanan harus turun tangan. Si makhluk pemilik wajah paling cantik ini kini tidak lagi mengagumi kecantikannya. Ia memilih untuk menghancurkan sumber segala kegaduhan yang terjadi saat ini, yakni wajahnya sendiri. Dengan menggunakan pisau yang dipungutnya di jalan dan sebuah cermin kecil yang selalu berada di dalam tasnya, tangannya mulai bergerak untuk menyayat wajahnya sendiri…Gubrak!
Dari sinopsis cerpen “Gubrak!” di atas, dapat diketahui bahwa kecantikan luar biasa yang dimiliki tokoh utama cerita dan akibat yang disebabkannya diungkapkan dengan menggunakan gaya bahasa hiperbola. Penggunaan gaya bahasa hiperbola pada cerpen ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Ia sangat cantik, begitu cantik, bagaikan tiada lagi yang lebih cantik, sedemikian rupa cantiknya sehingga bukan saja kecantikan wajahnya membuat udara bergelombang, tetapi bahkan siapa saja yang memandangnya lantas akan jatuh pingsan.”Begitu penuh pesona rupanya wajah yang cantik itu, sehingga apabila ia melangkah dengan tenang, anggun, dengan gerak yang bagai sengaja dilambatkan, mulut-mulut yang menganga itu sulit dikatupkan kembali.”
Kutipan di atas menjelaskan bahwa kecantikan tokoh utama membuat orang terpana yang mengakibatkan mulut-mulut menganga kagum. Jadi, ketika ia berjalan terlihat seperti melambat. Penggunaan kutipan “bagai sengaja dilambatkan” dan “mulut-mulut yang menganga itu sulit dikatupkan kembali” adalah gaya bahasa hiperbola, yang melebih-lebihkan suatu keadaan dan sebuah tindakan. Kutipan berikutnya juga mencerminkan hiperbola yang ada pada cerpen “Gubrak”.
“… terlalu lambat melengos sama dengan bencana. Ya, bencana pingsan nasional melanda ibu kota, karena kecantikan seseorang yang tidak mungkin disaksikan manusia tanpa menjadikan pingsan sebagai risikonya.”
Kutipan cerpen di atas menjelaskan tentang keadaan manusia lain yang jika tidak melengah ketika berpapasan dengan tokoh utama yang memiliki kecantikan yang luar biasa. Penggunaan kutipan “bencana pingsan nasional” merupakan gaya bahasa hiperbola karena melebih-lebihkan suatu keadaan karena faktanya tidak mungkin sebuah kecantikan dapat menimbulkan bencana pingsan nasional.
“Maklumlah, meskipun hanya melihatnya selintasan saja, dalam selintas itulah kecantikannya bagai menjerat mata dan menawannya, lantas dalam puncak keterpesonaannya seseorang akan pingsan.”
Kutipan cerpen di atas juga menjelaskan tentang bagaimana kecantikan tokoh utama membuat orang tidak bisa berpaling dan akan selalu menatap ke arahnya, namun pada akhirnya akan pingsan juga. Penggunaan kutipan “menjerat mata dan menawannya” adalah gaya bahasa hiperbola yang melebih-lebihkan dalam mencerminkan suatu keadaan.
“Lantas, manakala mereka yang pingsan karena kedahsyatan pesona ini berpenyakit jantung pula, tidak sedikit yang melanjutkan kepingsanannya dengan kematian.”
Kutipan cerpen di atas juga menjelaskan tentang akibat lanjutan dari kecantikan tokoh utama yang tidak hanya membuat pingsan, tetapi juga akan menyebabkan orang meninggal jika memiliki penyakit jantung. Penggunaan kutipan “melanjutkan kepingsanannya dengan kematian” merupakan diksi yang mewakili gaya bahasa hiperbola karena melebih-lebihkan suatu keadaan.
Dari analisis di atas, pemakaian gaya bahasa hiperbola dalam cerpen “Gubrak!” karya Seno Gumira Ajidarma cukup mendominasi. Dalam cerpen “Gubrak!” ini ditemukan penggunaan gaya bahasa hiperbola dalam pemilihan kata. Penggunaan gaya bahasa hiperbola bertujuan untuk menekankan kecantikan yang dimiliki tokoh utama di dalam cerpen dan akibat yang disebabkannya. Pemakaian gaya bahasa ini membuat pembaca lebih berimajinasi dalam membayangkan jalan cerita dari cerpen yang disajikan penulis. Dengan demikian pembaca akan lebih menikmati suatu karya sastra tanpa merasa bosan.
Discussion about this post