Oleh: Halma Fadhila
(Mahasiswi Program Studi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra yang digunakan sebagai media alternatif untuk menyampaikan sesuatu seperti pesan dan kritik jika suara tidak bisa didengar oleh siapapun. Puisi mengandung pikiran, pandangan, dan perasaan sang penyair yang dituliskan dengan singkat dan padat, tetapi tetap memerlukan pemahaman yang mendalam untuk mengetahui arti dan makna puisi itu. Karena puisi memiliki makna, puisi-puisi ditulis dengan menggunakan kata-kata pilihan, gaya bahasa yang menarik, dan memiliki target dan tujuan tertentu.
Setiap karya sastra harus mengandung gaya bahasa agar terlihat unik, indah, dan bisa menarik perhatian pembaca. Gaya bahasa ada banyak jenisnya dan digunakan sesuai dengan kebutuhan oleh penyair untuk menambah nilai seni pada karyanya, salah satunya adalah asonansi. Asonansi merupakan bagian dari bunyi bahasa berupa pengulangan bunyi vokal yang sama untuk memberikan efek penekanan pada kata-kata tertentu atau sekadar memberikan nilai estetis lewat pola-pola bunyi yang menghasilkan sajak yang merdu jika dibaca seperti aaaa, bbbb, abab, dan abba (Keraf, 2010:130).
Bunyi bahasa bukan hanya untuk menghasilkan irama yang merdu, tetapi juga memiliki makna simbolik yang dapat menciptakan suasana, perasaan, dan kesan tertentu sesuai dengan tema puisi (Hartoko, 1984: 193). Sebenarnya bunyi tidak memiliki arti, tetapi akan berarti jika berbentuk kata, misalnya vokal i dalam bahasa Indonesia sering melambangkan perasaan yang riang, penuh semangat, dan perasaan yang positif seperti lambang semangat manusia ingin hidup (Hartoko, 1984: 196). Di sinilah salah satu letak keunikan dan keindahan sebuah puisi, untaian kata bisa memiliki bunyi yang merdu dan memiliki makna yang dapat dipahami sebagai simbol tertentu dalam puisi.
Salah satu puisi yang menggunakan gaya bahasa asonansi adalah puisi “Dengan Puisi, Aku” karya Taufik Ismail. Puisi ini merupakan representasi dari bagaimana puisi memiliki pengaruh terhadap kehidupan seseorang. ‘Aku’ yang disebut oleh penyair menjadikan puisi sebagai temannya, pendamping hidupnya, dan bukti kehidupannya. Dengan puisi sosok ‘Aku’ bisa mencurahkan apa pun tanpa ada yang bisa menghakiminya. Meskipun bukan teman berupa makhluk hidup, puisi juga akan setia menemani sosok ‘Aku’.
Asonansi tidak hanya sekadar bunyi bahasa yang lebih menekankan pada huruf vokal, tetapi juga memiliki simbolik untuk melambangkan perasaan. Bunyi vokal i dan e menyimbolkan hal-hal yang sederhana dan dihubungkan dengan suasana hati yang riang, masih dalam lingkup yang positif. Bunyi vokal a, u, dan o menyimbolkan hal-hal yang rumit dan dihubungkan dengan suasana hati yang buruk, seperti sedih, susah, terpuruk, muram, dan sebagainya, masuk dalam lingkup negatif. Namun, makna dari bunyi vokal tersebut bisa menyesuaikan dengan suasana pada lariknya. Dalam puisi “Dengan Puisi, Aku” karya Taufik Ismail hampir setiap lariknya memiliki asonansi yang semakin menguatkan makna dari setiap larik tersebut.
“Dengan Puisi, Aku”
Karya Taufik Ismail
Dengan puisi, aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi, aku bercinta
Berbatas cakrawala
Dengan puisi, aku mengenang
Keabadian yang akan datang
Dengan puisi, aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris
Dengan puisi, aku berdoa
Perkenankanlah kiranya
1963
Pada larik pertama: Dengan puisi, aku bernyanyi, memiliki vokal i di akhir larik yang melambangkan kebahagiaan dan keceriaan, memiliki makna yang positif. Bernyanyi bisa diartikan sebagai kebahagiaan atau kegiatan yang menyenangkan. Sosok ‘Aku’ dalam puisi tersebut mengungkapkan kebahagiaannya dengan bernyanyi, menuliskan lirik-lirik lagunya yang indah, dan menghasilkan melodi yang harmonis. Taufik Ismail menunjukkan bahwa kebahagiaan tidak hanya datang dari makhluk hidup, tetapi bisa juga dari hal bisu seperti puisi. Selanjutnya, larik kedua: Sampai senja umurku nanti, sama seperti larik sebelumnya yang memiliki vokal i di akhir larik. Hal ini berarti sosok ‘Aku’ dengan puisi sambil bernyanyi-nyanyi riang dengan kebahagiaan yang bertahan sampai ia tua nanti.
Larik selanjutnya: Dengan puisi, aku bercinta, memiliki vokal a di akhir larik yang melambangkan kerumitan dan kenikmatan. Bercinta dengan puisi bisa diartikan sebagai sesuatu yang rumit karena bergelut dengan kata tidak semudah yang dibayangkan, tetapi pada akhirnya bisa merasakan kenikmatan ketika puisinya sudah jadi dan sempurna. Bercinta tidak hanya dilakukan untuk menuntaskan syahwat antar sesama manusia, tetapi dengan kata-kata seseorang juga bisa bermanja-manja dan menuntaskan nafsu. Dilanjutkan dengan larik: Berbatas cakrawala, yang memiliki makna bahwa dengan puisi sosok ‘Aku’ bisa bebas mengekspresikan perasaannya, bebas melakukan apa pun tanpa ada yang bisa menudingnya, mencemoohinya, mentertawakannya, dan sebagainya karena puisi itu adalah miliknya.
Larik selanjutnya: Dengan puisi, aku mengenang. Keabadian yang akan datang, memiliki vokal a yang ditutup dengan konsonan g di akhir larik melambangkan tenang dan sendu. Dengan puisi, sosok ‘Aku’ bisa menciptakan kenangan yang akan diingatnya sampai akhir hayatnya, mengingat momen-momen indah pada masa lalu atau sebaliknya, mengingat keresahan yang pernah dialaminya dengan rangkaian kata yang tidak akan hilang dimakan waktu meskipun akan luput dari ingatan, dan menjadikannya sebagai sebuah memori yang abadi sampai kapan pun.
Larik selanjutnya: Dengan puisi, aku menangis. Jarum waktu bila kejam mengiris, memiliki vokal i yang ditutup dengan konsonan s di akhir larik melambangkan kepedihan dan kesengsaraan. Dengan puisi sosok ‘Aku’ bisa mencurahkan suasana hati buruknya terhadap waktu yang terus berputar dan dari masa ke masa selalu mengambil hal-hal yang berharga baginya seperti umur dan orang-orang yang dicintainya. Karena mereka adalah teman sehidup semati sejiwa, sosok ‘Aku’ akan mengadukannya lewat kata-kata yang menghasilkan puisi yang sesuai dengan suasana hatinya.
Larik selanjutnya: Dengan puisi, aku mengutuk. Nafas zaman yang busuk, memiliki vokal u dan ditutup dengan konsonan k di akhir larik yang melambangkan kegeraman dan kemuraman suasana hati penyair. Dengan puisi sosok ‘Aku’ bisa mencurahkan bagaimana zaman sekarang yang semakin berubah dan menyimpang dari norma-norma kehidupan. Zaman sekarang yang sudah tidak baik-baik saja, semakin tidak beradab, semakin tidak mengenal diri, dan semakin jauh dari Tuhan. Sosok ‘Aku’ memberikan sindiran dan kritiknya dengan puisi yang bisa ditujukan kepada siapa saja dan hanya dengan puisi ia bisa melakukannya karena hanya puisi yang akan menerima keluh-kesahnya tanpa melihat siapa dirinya.
Larik terakhir: Dengan puisi, aku berdoa. Perkenankanlah kiranya, memiliki vokal a di akhir larik yang melambangkan kepasrahan dan keputusasaan. Dengan puisi sosok ‘Aku’ merepresentasikan penghambaan kepada Tuhan. Sosok ‘Aku’ menuliskan doanya kepada Tuhan lewat kata, menyampaikan permohonan dan ampun lewat kata-kata, dan berharap doanya dilihat oleh Tuhan dan dikabulkan serta bisa diketahui oleh orang lain yang bisa jadi akan ada yang mengaminkannya.
Puisi “Dengan Puisi, Aku” karya Taufik Ismail ini mencerminkan bahwa puisi adalah segalanya. Puisi bisa dijadikan teman, bisa dijadikan tempat untuk berkeluh-kesah, bisa dijadikan sandaran untuk menangis, bisa dijadikan kenangan yang akan abadi, serta bisa untuk menyampaikan pesan dan doa. Puisi adalah teman terbaik yang akan menerima dan memberikan segalanya karena puisi merupakan lambang kebebasan berekspresi dan puisi memiliki lisensia puitika (kebebasan penyair) sehingga tidak seorang pun yang bisa menghakimi apa disampaikan dalam puisi.
Dengan analisis asonansi dibantu dengan aliterasi, membuat puisi semakin memiliki nilai keindahan, entah itu dari penulisannya yang memiliki pola sajak aabbaa atau dari bunyi bahasanya yang menghasilkan irama merdu yang menarik perhatian. Asonansi juga memberikan penekanan pada kata-kata tertentu, memberikan warna baru dalam sebuah puisi, dan memberikan gambaran suasana yang nyata dengan bunyi bahasa.
Discussion about this post