
Suatu hari orang tua laki-laki meminta saya membuat silsilah keluarga yang ternyata mampu menghubungkan kakek-nenek bersaudara. Silsilah ini dirunut dari orang tua kakek-nenek sampai cucu dari cucu. Saya sampai menghabiskan empat kertas koran yang dulu sering dipakai untuk presentasi. Maklum orang tua saya ingin bukti autentik yang ditulis dengan tangan.
Meskipun tidak begitu, kalau diminta menulis dengan diagram hierarki, saya juga tidak akan bisa mengetikkan satu per satu nama dan hubungan kekeluargaan tersebut karena hampir 100 nama tercantum di sana. Ada orang tua kakek-nenek, kakek-nenek, ayah-ibu, paman-bibi, anak-keponakan, cucu, hingga piut. Sebuah hubungan yang mencerminkan delapan sistem kekerabatan sedarah sebagaimana yang dikemukakan oleh Derzhanski dan Siruk (2022). Di samping sangat melelahkan, pasti sangat sulit menggambarkannya dalam microsoft word.
Dengan jumlah anggota tersebut, orang tua saya kemudian menyebut silsilah itu dengan keluarga besarnya. Bagi saya, ini menarik. Kalau kita tanya kepada anak-anak muda zaman sekarang, mereka pasti hanya mengenal keluarga inti dari ayah dan ibu. Ada kakek—nenek, ayah-ibu, paman-bibi, dan anak-keponakan yang terjalin sedarah dengan ayah dan ibu. Hubungan kekeluargaan dari saudara ayah dan saudara ibu pasti tidak lagi menjadi perhatian mereka. Padahal, semua bersaudara, berasal dari kakek-nenek yang sama.
Tiba-tiba ingat dengan silsilah tersebut, saya jadi penasaran dengan kosakata kekerabatan dalam bahasa Indonesia. Apakah kosakata bahasa Indonesia mampu menggambarkan silsilah atau menggambarkan hubungan keluarga sampai beberapa generasi? Karena penelitian saya tentang perkembangan kosakata bahasa Indonesia dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), saya pun menemukan jawabannya.
Siapa sangka bahwa bahasa Indonesia memiliki kekayaan kosakata untuk menggambarkan hubungan lintas generasi. Bahasa Indonesia memiliki kosakata yang mampu menggambarkan hubungan dari cahcam ‘keturunan yang terdahulu dari silsilah nenek moyang’ hingga canggah ‘piut (cucu dari cucu)’. Bagi Burgess dan Locke (1945), kekerabatan tersebut masuk ke dalam dua golongan, yakni kelompok kekerabatan yang berpusat pada keluarga yang masih hidup (egoorinted kingroups) dan kelompok kekerabatan yang berpusat pada garis nenek moyang (ancestorinted kingroups).
Karena bahasa Indonesia merupakan bahasa yang diciptakan dari bahasa Melayu, serta diperkaya dengan serapan dari bahasa daerah dan bahasa asing, kosakata kekerabatan yang ditelusuri mencerminkan kosakata dari beragam bahasa daerah dan bahasa asing. Kehadiran kosakata kekerabatan ini dalam bahasa Indonesia menjadi hal menarik karena kontak sosial dan kontak budaya antarpengguna bahasa Indonesia menyebabkan kosakata kekerabatan dari satu bahasa daerah dipakai oleh pengguna dari bahasa daerah lain. Hal tersebut pada akhirnya dapat mencerminkan sistem kekerabatan bahasa Indonesia.
Induk Nenek Moyang
Kita selalu berkata bahwa yang paling tertua dalam hubungan kekeluargaan adalah nenek moyang. Nenek moyang merupakan kosakata yang terbentuk dari nenek ‘ibu dari ayah atau dari ibu’ dan moyang yang merupakan ‘nenek (ayah, ibu, dan sebagainya)’. Dengan demikian, nenek moyang dapat dimaknai sebagai nenek dari nenek.
Jika ditelusuri hubungan kekerabatan ini, barangkali tidak ada keluarga yang masih utuh memiliki hubungan dari nenek moyang. Usia manusia itu pendek sehingga hubungan yang paling lama terjalin adalah dari cucu hingga kakek dan nenek. Postingan di media sosial hanya pernah menunjukkan adanya sebuah keluarga yang masih memiliki keluarga lengkap dari orang tua nenek, nenek, ibu, anak, dan cucu. Tidak ada satu keluarga pun yang masih menggambarkan hubungan yang terdiri atas nenek dari nenek, orang tua nenek, nenek, ibu, anak, dan cucu.
Dalam kosakata bahasa Indonesia, ternyata silsilah kekerabatan tidak hanya sampai pada nenek moyang. Ada namanya cahcam ‘keturunan yang terdahulu dari silsilah nenek moyang’. Kosakata ini berasal dari bahasa Gayo atau bahasa yang dipakai oleh masyarakat Aceh. Kehadiran kata ini dalam bahasa Gayo barangkali dipengaruhi oleh tradisi lisan yang dikembangkan oleh masyarakat Aceh untuk menceritakan warisan budaya secara turun-temurun. Orang tua menceritakan kepada anak-anaknya tentang keturunan terdahulu dari silsilah nenek moyang, serta warisan budaya yang diturunkan dari cahcam tersebut.
Meskipun demikian, sayangnya Badan Bahasa tidak memberikan contoh penggunaan kata cahcam dalam bahasa Indonesia, padahal jika dirujuk dari teks sastra atau sastra lisan dari masyarakat Gayo, tentu akan sangat menarik jika kita dapat melihat penggunaan kata cahcam tersebut. Ketika saya menelusuri korpus bahasa Indonesia, seperti Koin (Korpus Indonesia), Indonesian Web (Sketch Engine), Leipzig Korpora (corpora.uni-leipzig.de), dan Corpus Query Processor (CQPWeb), juga tidak ditemukan contoh penggunaan kata tersebut.
Nenek Moyang
Dalam bahasa Indonesia, kosakata kekerabatan yang mencerminkan nenek moyang atau ‘nenek dari nenek’ dapat dilihat melalui indu (Minangkabau) dan karuhun (Sunda). Salah satu penggunaan kata tersebut dapat dilihat pada data berikut.
(1) Orang tua dan karuhunku hidup di sana.
Jika ditelusuri lebih lanjut, kata indu sebagai kata yang bermakna ‘nenek moyang’ ternyata memiliki turunan dalam bahasa Indonesia berupa perinduan ‘sangkar; asal-usul; keluarga’ dan seperinduan ‘sekeluarga (tentang satu induk). Bahkan, kata indu telah melahirkan sebuah peribahasa untuk orang-orang yang Merantau. Dekat mencari indu, jauh mencari suku yang bermakna bahwa ketika merantau ke tempat yang dekat, seseorang akan mencari indu (orang yang seketurunan), sedangkan merantau ke tempat jauh, seseorang akan mencari orang yang satu suku. Sebuah peribahasa yang menekankan pentingnya seseorang tahu asal-usul dan hubungan kekerabatan yang dimiliki kala ia pergi merantau ke negeri orang.
Moyang
Setelah hubungan nenek dari nenek ‘nenek moyang’, tentu ada hubungan bapak atau ibu dari nenek atau kakek. Dalam bahasa Indonesia, hubungan ini tergambar melalui kata moyang. Dalam bahasa Indonesia, banyak kosakata yang bermakna ‘moyang’ diserap dari bahasa daerah. Di antaranya ada kumpi (Melayu Jakarta), poyang ‘(Minangkabau), datu rawan (Gayo), dan kusu (Alas). Kumpi bermakna ‘moyang (laki-laki atau perempuan)’, poyang bermakna ‘moyang (orang tua kakek atau nenek)’, datu rawan bermakna ‘panggilan hormat untuk bapak dari kakek’, dan kusu bermakna ‘bapak dari nenek’. Meskipun contoh penggunaan kata moyang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia, tetapi kosakata tersebut telah mencerminkan hubungan darah kakek-nenek berupa moyang ‘orang tua kakek-nenek’ dan nenek moyang ‘nenek dari kakek-nenek’.
Nenek-Kakek
Nenek dan kakek merupakan orang tua dari ayah atau ibu. Dalam bahasa Indonesia, banyak kosakata yang dapat dipakai untuk nenek dan kakek. Kosakata yang bermakna nenek terdapat pada kata andung dan ninik (Minangkabau), embah dan eyang (Jawa), serta abumi (Sentani). Sementara itu, kosakata yang bermakna kakek terdapat pada kata angku, engku, datuk (Minangkabau), abudo (Sentani), serta embah dan eyang (Jawa). Salah satu penggunaan kata tersebut dapat dilihat sebagai berikut.
(2) Nenekku atau yang kupanggil andung sudah pulang lebih dulu sebelum sempat melihat cicit pertamanya lahir.
Ayah-Ibu
Dalam bahasa Indonesia, kosakata yang menggambarkan ayah-ibu termasuk kosakata yang sangat produktif. Hampir setiap waktu muncul variasi kata yang mencerminkan ayah dan ibu. Penutur bahasa daerah dan penutur bahasa asing sangat berperan dalam memperkaya kosakata bahasa Indonesia yang mencerminkan ayah dan ibu ini. Kosakata yang bermakna ayah di antaranya terdapat pada kata aem (Batuley), ama (Gayo), babe (Melayu Jakarta), empek (Cina), serta abu dan abi (Arab). Sementara itu, kosakata yang bermakna ibu di antaranya terdapat pada kata enyak dan nyak (Melayu Jakarta), amai, amak, dan mandeh (Minangkabau), ibung (arkais), mbok (Jawa), dan umi (Arab). Penggunaan kosakata ini dapat dilihat pada data berikut.
(3) Aku berharap akan tetap membuat babe bangga.
Anak
Dalam bahasa Indonesia, banyak kosakata yang menggambarkan anak. Anak-anak dibedakan atas anak perempuan dan anak laki-laki, serta dibedakan juga anak laki-laki atau anak perempuan yang tua dengan anak laki-laki atau anak perempuan yang muda. Kosakata yang bermakna anak laki-laki dibedakan atas (1) kakak laki-laki berupa abang, beli (Bali), kangmas (Jawa), uda dan da (Minangkabau), ulong dan unah, (Riau), serta akang dan aa (Sunda); (2) adik laki-laki berupa adimas (Jawa) dan cahi; serta (3) anak laki-laki tanpa membedakan usia tua dan muda pada kata anang (Banjar), ucok (Batak), dan kacong (Madura).
Sementara itu, kosakata yang bermakna anak perempuan dibedakan atas (1) kakak perempuan berupa uwok (Riau), uni, ni, uniang, dan upik (Minangkabau), serta teteh (Sunda); (2) adik perempuan berupa diajeng dan jeng (Jawa); serta (3) anak perempuan tanpa membedakan usia tua dan muda terdapat pada kata galuh (Banjar), endang dan enduk (Jawa), cicik (Mandar), dan neng (Sunda), dan taci (Cina).
Cucu
Cucu merupakan anak dari anak. Kata cucu dalam bahasa Indonesia tidak banyak memiliki bentuk selain culi. Kata culi merupakan kata klasik dalam bahasa Indonesia. Kata ini sebenarnya tidak hanya dimaknai sebagai ‘cucu’, tetapi juga dimaknai sebagai ‘anak cucu’. Barangkali karena kata ini sudah menjadi kata klasik, penggunaan kata suli sudah tidak populer lagi di tengah-tengah masyarakat sehingga ada yang menggunakan sebagai kata yang bermakna ‘cucu’, ada juga yang menggunakan sebagai kata yang bermakna ‘anak cucu’.
Anak Cucu
Dalam bahasa Indonesia, ada beberapa kata yang menggambarkan anak cucu, yakni buyut, cicit, dan zuriah (Arab). Namun, kata buyut dalam bahasa Indonesia sebenarnya tidak hanya bermakna ‘anak cucu’, tetapi juga dapat bermakna ‘ibu dari nenek’. Meskipun demikian, dalam hal ini, kaya buyut, cicit, dan zuriah dapat dimaknai sebagai ‘anak cucu’. Penggunaan kata ini dalam bahasa Indonesia dapat dilihat sebagai berikut.
(4) Ia meninggalkan 5 orang putra, 4 orang putri dengan 105 orang cucu, dan 126 orang buyut.
Cucu dari Cucu
Dalam bahasa Indonesia, ada kosakata yang menggambarkan makna cucu dari cucu. Kosakata yang dimaksud adalah canggah dan piut. Kosakata ini menggambarkan generasi kelima atau keturunan keempat. Penggunaan kosakata ini dapat dilihat pada data berikut.
(5) Dia seorang perempuan tua, punya kekayaan keturunan, ramai anak cucunya, cicit dan piut.
Dari kosakata-kosakata tersebut, tampak bahwa bahasa Minangkabau dan bahasa Jawa merupakan bahasa daerah yang paling banyak berkontribusi menyumbang kata kekerabatan sedarah. Sumbangan dari bahasa daerah tersebut menunjukkan bahwa kosakata kekerabatan tersebut dapat dipakai juga oleh penutur bahasa lain di Indonesia.
Keluarga Minangkabau misalnya, yang terdiri atas empat orang anak perempuan menggunakan kata uni, taci, teteh, dan uniang. Ayah dan ibu mereka merupakan orang tua yang sama-sama berasal dari Minangkabau, tidak ada hubungan yang terjadi dalam keluarga tersebut dengan keluarga dari Cina karena menggunakan kata taci dan Sunda karena menggunakan kata teteh. Kata yang dipakai untuk menyapa anak perempuan atas uni, taci, teteh, dan uniang merupakan cerminan penggunakan kosakata kekerabatan bahasa Indonesia. Artinya, bahasa Indonesia memiliki kekayaan kata dalam sistem kekerabatan. Apakah di keluargamu juga dipakai demikian?
Discussion about this post