Puisi-puisi Hendri Tanjung
Biarlah Laut Menelan Jeritan Hatiku
Aku bisu menutupi ragu
Rasa yang kautawarkan haruskah kubayar dengan perhatian
Aku seperti dikungkung dalam keterasingan di luar jangkauku
Tak sanggup untukku berlama
lalu berlari karena kusadar bayangku tak setara
Ketika kau datang memanggil namaku
kutinggalkan semua
berlari di antara tebing-tebing hingga tersungkur di bibir pantai berpasir
Lalu gelombang menghapus jejakku untuk bisa kembali
menatap gugusan bukit di tempatmu
Aku berteriak berontak meluap gejolak di hati yang tak pernah ku mengerti
Aku sungguh tidak biasa, biarlah laut menelan jeritan hatiku
asalkan Tuhan tidak membiarkanku tersesat dalam rasa,
hingga pada waktunya dipertemukan
Padang, 15 Januari 2024
Bisikan Doa
Riuh gelombang berkejaran di pasir Pantai Sunur
Tiupan angin membelai deretan pinus
Membawaku pada sosokmu
Gugusan senyum di bibirmu dan tatapan matamu yang bening
Menyeruak membuatku bertanya apa semestinya untukku menghapusnya
Hingga aku tak dipermainkan oleh rasa yang merusak hati
Di sini, kubisikan doa-doa tatkala ruang penuh lukisan wajahmu
Kita tidak akan pernah bertemu lagi
Tak mungkin bercengkrama seperti yang pernah kita lakukan bersama
Karena takdir harus kita jalani dan engkau mungkin damai dalam lenamu
di pangkuan-Nya
Padang, 18 Januari 2024
Separuh Jiwaku yang Kau Bawa Pergi
Di antara perdu dan teduhnya ketapang
Di sana kau terbaring.
sunyi akan menjadi teman
di sana. Di wajah mungil itu; perpisahan tak terucap
namun di mata mereka kutemukan kehilangan
Sosokmu setia senantiasa menemani hari-hari
getirnya hidup yang pernah kita jalani
di antara perdu dan teduhnya pohon ketapang
sebuah permulaan tentu akan berakhir; seperti halnya perjalan hidup
dan kita harus belajar sebuah penerimaan dan keikhlasan
esok pagi hari
saat mereka membuka pintu dan menengadah pada langit
mereka juga akan mengerti
separuh jiwa yang kaubawa pergi
mencoba untuk terus berdiri menjadi pintu
yang akan terus membuka untuk mereka
sampai kelak pada waktunya jalan itupun akan kutapaki
setidaknya setelah langkah-langkah sepi menjadi syair terindah di kemudian hari
Padang, 18 Januari 2024
Tentang Penulis
Hendri Tanjung sering menggunakan nama Djoe HT Bagindo dalam tulisannya. Lahir 7 April di Kabun Sunur, Pariaman, Sumatra Barat. Hobi menulis sejak di bangku Sekolah Menengah Tingkat Pertama. Haus tentang ilmu Kepenulisn penulis Setelah menamatkan SLTA sempat menimba ilmu di Fakultas Bahasa Sastra dan Seni (FBSS) UNP. Saat ini berkabung pada beberapa komunitas kepenulisan baik online maupun offline antara lain FLP Sumbar, Komunitas Penyair Indonesia KOPI 45, komunitas Republik Penyair ( Vidio Puisi indonesia), KOPI dan beberapa kumunitas literasi lainya untuk menyalurkan hobinya. Beberapa puisinya sempat diterbitkan di media cetak lokal dan oline anatara lain singgalang dan scientia. Cerpennya Tas tergabung dalam antologi (surat dari hujan), Ning (pukah dan rekah).Saat ini penulis bekerja sebagai tenaga pengajar Sekolah Dasar di Padang dan aktif dimedia sosial dengan akun. FB @Padi Salibu/hendri-tanjung hendritanjung700@gmail.com, Wa.082392164891.
Langkah Sepi Jiwa yang Ditinggal Pergi
Oleh Ragdi F. Daye
(buku kumpulan puisinya Esok yang Selalu Kemarin, 2019)
Di antara perdu dan teduhnya ketapang
Di sana kau terbaring.
sunyi akan menjadi teman
Kehilangan adalah duka yang abadi. Seperti luka cukam yang tetap meninggalkan bekas di jangat, ia akan terus memantik ingatan pilu, memutar tayang peristiwa-peristawa mengesankan pada masa yang lama, mencongkel kepedihan dan keharuan, menyembul menjadi butir-butir puisi yang menyesakkan. Kehilangan dapat membekukan gerak seseorang sehingga tidak sudi beranjak dari tempat kehilangan merenggut atau sebaliknya menyentaknya sehingga terbang jauh untuk melupakan segala yang pernah ada. Namun, apakah bisa?
Seperti tiga buah puisi karya Hendri Tanjung yang tayang di Kreatika edisi ini. Ketiga puisi tersebut berjudul “Biarlah Laut Menelan Jeritan Hatiku”, “Bisikan Doa”, dan “Separuh Jiwaku yang Kau Bawa Pergi”.
Puisi merupakan salah satu jenis karya sastra yang memiliki bentuk yang berbeda dengan karya sastra yang lainya. Di dalam puisi terkandung buah pikiran, perasaan dan berbagai pengalaman aku lirik tentang dirinya sendiri, orang lain dan semua objek yang ia temui selama hidupnya. Puisi merupakan wadah yang digunakan oleh para aku lirik untuk menyampaikan dan mengekspresikan gejolak batin para aku lirik dengan menggunakan bahasa yang artisik dan berbeda dengan bahasa yang sehari-hari kita dengar (Arupenes, 2020).
Pada puisi pertama, “Biarlah Laut Menelan Jeritan Hatiku”, Hendri mengungkapkan keresahan aku lirik yang bergulat dengan kecamuk perasaannya. Penyair ini mengawali puisinya dengan bait yang terasa menghanyutkan, ‘Aku bisu menutupi ragu/ Rasa yang kautawarkan haruskah kubayar dengan perhatian/ Aku seperti dikungkung dalam keterasingan di luar jangkauku/ Tak sanggup untukku berlama/ lalu berlari karena kusadar bayangku tak setara.’
Bait ini membuka pandangan tentang kondisi aku lirik yang tengah bimbang ketika seseorang datang menawarkan rasa menyala. Tawaran yang mengejutkan itu justru melempar aku lirik ke ruang isolasi yang mendesak dirinya dengan aneka pertanyaan; Apakah dia harus membayar tawaran tersebut dengan memberikan perhatian. Setiap pilihan tentu mempunyai konsekuensi yang harus siap diterima suka atau tidak suka. Kenyataan tersebut membuat aku lirik terkungkung dalam kecamuk pikirannya sendiri, ketakutan, kecemasan, dan keraguan. Kemelut itu baru bisa dikalahkan ketika si penawar rasa kembali memanggilnya, ‘Ketika kau datang memanggil namaku/ kutinggalkan semua /berlari di antara tebing-tebing hingga tersungkur di bibir pantai berpasir’. Kadang kita memang butuh diyakinkan untuk membuat keputusan yang berat.
Esten (1989) menyatakan bahwa karya sastra mengungkapkan masalah-masalah manusia dan kemanusiaan. Ia melukiskan tentang penderitaan manusia, perjuangan, kasih sayang dan kebencian, nafsu, dan segala yang dialami manusia. Dengan sebuah cipta sastra pengarang ingin menampilkan nilai-nilai yang lebih tinggi dan agung, ingin menafsirkan tentang hidup dan hakikat hidup.
Mahayana (2015: 14) berpendapat bahwa puisi bukan sekadar ekspresi perasaan dari suara hati yang terdalam, melainkan pergulatan estetis dan tarik menarik perasaan yang melimpah. Gejolak perasaan tersebut harus dikendalikan dan diintegrasikan pada pemikiran intelektual yang berkualitas. Memaknai pendapat tersebut, puisi tidak hanya memaparkan untaian kata-kata yang tersusun berirama, tetapi memperhitungkan kualitas isi sebagai ekspresi kemampuan intelektual.
Puisi kedua, “Bisikan Doa”, memberi panggung untuk kehadiran ‘mu’ dan ‘nya’ dua lirik yang mempengaruhi kegelisahan hati si aku lirik. Bukankah di samping sesak oleh persoalan perut yang lapar, angka-angka harga barang dan jasa, gosip politik, kita juga disibukkan oleh perkara hati? Meski tak meledak-ledak, puisi ini juga mengungkapkan kegalauan, ‘Riuh gelombang berkejaran di pasir Pantai Sunur/ Tiupan angin membelai deretan pinus/ Membawaku pada sosokmu// Gugusan senyum di bibirmu dan tatapan matamu yang bening/ Menyeruak membuatku bertanya apa semestinya untukku menghapusnya/ Hingga aku tak dipermainkan oleh rasa yang merusak hati’.
Frasa ‘sosokmu’, ‘senyum di bibirmu’, dan ‘tatapanmu yang bening’ menjadi alasan bagi aku lirik untuk ‘menghapusnya hingga aku tak dipermainkan oleh rasa yang merusak hati’. Perkara ‘rasa yang merusak hati’ memang telah separah itu. Efek yang ditimbulkannya tak kalah menyakitkan dari kabar kenaikan harga BBM atau pajak segala macam barang. Obat penyakit hati paling mangkus memang mendekatkan diri kepada-Nya. Salah satunya dengan memperbanyak doa dan menerima takdir dari yang Mahakuasa agar hidup kembali damai.
Puisi ketiga, “Separuh Jiwaku yang Kau Bawa Pergi”, begitu larut dengan tema kehilangan, lebih khusus kehilangan ditinggal mati, ‘Di antara perdu dan teduhnya ketapang/ Di sana kau terbaring./ sunyi akan menjadi teman’. Awal bait ini mengungkapkan tentang seseorang yang telah berada di dalam kuburan, meninggalkan kesedihan mendalam bagi orang yang mengasihinya membuat orang tersebut seperti hidup tanpa jiwa.
Kematian orang yang dicinta tentu meninggalkan luka yang mendalam. Hal itu membuat hati menjadi lebih perasa, lebih peka. Lima bulan terakhir, umat Islam di Palestina telah dibantai oleh Israel. Telah lebih dari 27 ribu warga yang terbunuh dan 60 ribu lebih terluka. Penderitaan dan berita kematian telah menjadi tontonan setiap hari di media sosial. Beruntunglah bagi kita yang masih meraskan ngilu di hati menyaksikan kekejaman tersebut dan terkutuklah orang-orang yang telah melakukan kekejian tersebut dan turut serta mendukungnya.
Puisi lahir dari hati penyair, menyuarakan dinamika kehidupan manusia, tentang senang dan sukanya, tentang benci dan rindu, tentang rasa sakit yang membuat jantung pembaca ikut dipiuh.[]
Tentang Kreatika
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post