Lastry Monika
(Kolumnis Rubrik Renyah)
“Akhirnya aku menjadi orang yang tegaan,” tulis salah seorang teman di sebuah grup pertemanan kami. Awalnya saya agak kebingungan tentang apa yang ia maksud ‘tega’. Sebab, tidaklah mungkin teman saya ini menjadi orang tanpa belas kasihan. Lalu ia menjelaskan bahwa ia baru saja bertindak tidak seperti dirinya yang biasanya, dan ia merasa lega karena itu.
Di suatu sore, teman saya ini hendak menuju kota J menggunakan bus dari kota P. Perjalanan yang akan ia tempuh terbilang jauh, yaitu berkisar 500-an km. Perjalanan selama 10 hingga 11 jam akan ia habiskan di dalam bus. Oleh sebab itu, jauh-jauh hari ia telah memesan tiket dan memilih tempat duduk yang sekiranya nyaman selama perjalanan.
Ia memesan tempat duduk di dekat jendela. Memang, tempat duduk di dekat jendela membuat perjalanan jauh terasa lebih menyenangkan. Kita dapat menyaksikan kota-kota yang dilewati dengan lebih seksama. Terkadang, sensasi menatap keluar jendela sambil mendengar lagu di earphone dapat membuat imajinasi di kepala berjalan kemana-mana.
Akan tetapi, harapan yang mungkin juga diharapkan oleh teman saya itu hampir pupus. Ketika ia naik ke dalam bus dan menuju tempat duduknya, ia menjumpai seorang wanita paruh baya telah duduk di sana. “Tempat duduk saya di nomor 21, di dekat jendela,” ujar teman saya ini. Akan tetapi, wanita itu diam saja pura-pura tidak mendengar apa-apa. Teman saya tidak mengalah begitu saja seperti yang biasa ia lakukan. Ia tetap berdiri sampai membuat wanita itu tidak nyaman dan akhirnya bergeser ke tempat duduknya yang seharusnya.
Itulah yang dimaksud ‘tega’oleh teman saya. Sebelum-sebelumnya, ia akan mengalah begitu saja dan rela duduk di bangku yang bukan miliknya. “Aku membawa pengaruh baik dalam kehidupanmu, bukan?” sahut teman lain menanggapi curhatan teman saya itu. Barangkali ini terkait obrolan mereka di malam sebelumnya di mana kami membuat janji temu.
Meskipun ditujukan sebagain guyonan, tanggapan tentang “pengaruh baik” tidaklah keliru. Pertemanan kami yang dimulai entah sejak kapan itu memang berjalan agak absurd tetapi tidak diliputi pengaruh yang buruk. Saya pernah ditegur oleh salah seorang teman ketika memiliki niat yang kurang baik untuk merespons suatu hal. Awalnya saya merasa agak tersinggung, tetapi setelah direnungkan saya justru bersyukur telah diingatkan seperti demikian.
Grup tempat kami mengobrol di aplikasi WhatsApp itu memang tidak selalu ramai. Bahkan kadang sunyi hingga berjaring laba-laba dikarenakan kesibukan masing-masing. Akan tetapi, seketika juga dapat menjadi ramai dan membahas berbagai macam persoalan, mulai dari yang paling receh sampai yang paling serius, dari yang sama sekali tidak penting sampai yang paling penting sekalipun.
Keesokan paginya, saya menerima notifikasi dari grup chat pertemanan. Dalam perjalanan, bus yang ditumpangi teman saya menabrak seekor kerbau pada jam 3 pagi buta. Selama sisa perjalanan, teman saya terpikirkan nasib si kerbau meski si kerbau tampak baik-baik saja setelah kena tabrak. Paling tidak hal ini membuktikan bahwa teman saya yang satu ini memang bukanlah seseorang tanpa belas kasihan.
Discussion about this post