Oleh: Ria Febrina
(Dosen Prodi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada)
Suatu hari saya diajak seorang teman jalan-jalan lagi ke Solo. Hari itu persis hari ulang tahunnya. Saya manut saja diajak ke mana. Katanya, kita ke Lokananta ya. Lokananta itu perusahaan rekaman pertama dan terbesar di Indonesia yang pernah memproduksi piringan hitam dari musisi terkenal, seperti Nike Ardilla, Titiek Puspa, Bing Slamet, dan beberapa nama yang tidak saya kenal, Waldjinah, Sam Saimun, dan maestro jazz Buby Chen.
Jujur, saya baru tahu setelah selesai berkeliling Lokananta. Saya tidak pernah mendengar objek wisata ini dari mahasiswa yang kuliah di Yogyakarta. Apalagi, ini museum musik. Saya bukan penggemar musik garis keras. Biasanya sebelum jalan-jalan, saya menelusuri dulu objek wisata yang akan dikunjungi, tapi kali ini entah mengapa tidak ada keinginan sama sekali. Saya sempat menelusuri di Instagram dan hanya melihat sebuah ruangan yang didesain dengan lampu dan barang-barang yang antik. Pikir saya, bagus untuk destinasi.
“Oke, kita ke sana,” isi pesan saya kepadanya. Mungkin karena beberapa waktu terakhir saya agak sibuk bolak-balik kampus karena sedang menyelesaikan disertasi dan juga sempat menemani beberapa teman dan saudara yang sedang jalan-jalan di Yogyakarta, tubuh agak terasa lelah. Dalam perjalanan kali ini, saya pun pasrah.
Namun, tulisan kali ini belum bercerita soal Lokananta. Ada hal lain yang ingin saya bagikan sebagai wisatawan. Sebuah pengalaman yang saya sendiri tak pernah menyangka akan menjadi perjalanan yang agak dramatis dan seru karena saya berwisata sembari menikmati transportasi umum.
Jam menunjukkan pukul 08.40 WIB. Kereta akan berangkat pukul 08.50 WIB. Di Stasiun Yogyakarta, biasanya penumpang diizinkan masuk stasiun sekitar 20—30 menit sebelum keberangkatan. Sebelum diizinkan masuk, para penumpang sudah berbaris antre di depan pintu masuk Commuter Line. Jumlahnya berapa? Hampir seribu orang karena daya angkut KRL Yogyakarta—Solo bisa 1.600 orang dalam satu kali perjalanan.
Seribu orang itu punya niat yang sama dengan kami. Ingin mendapatkan tempat duduk. Meskipun daya tampungnya banyak, jumlah kursi yang disediakan tidak sampai untuk separuh penumpang. Berdiri di atas kereta selama satu jam itu membuat kaki gempor. Saya mengalaminya dalam perjalanan sebelum ini. Saya dan mahasiswa S-3 yang sama-sama datang dari Padang melaksanakan perjalanan bersama ke Solo beberapa hari sebelum ini. Sayangnya, kami semua harus berdiri. Karena itu pengalaman pertama, kami menerimanya dengan senang hati. Ternyata, cukup sekali saja menjadi pengalaman karena ternyata tidak seindah yang dibayangkan. Hehehe.
Naik KRL sekarang tidak sama dengan awal-awal pandemi dulu. Masih sepi dan kalau berdiri tidak perlu berdesak-desakan. Dalam kondisi ramai inilah, kami kecewa dengan jadwal yang disediakan KAI. Kereta tidak berangkat setiap jam. Ada beberapa jadwal yang membuat jarak antara satu keberangkatan dengan keberangkatan lain terpisah selama dua jam. Dengan kondisi Yogyakarta yang semakin padat pengunjung, saya pikir ini sebuah masalah. KRL seharusnya dioperasikan setiap jam.
Saat tahu jumlah penumpang sudah ramai, kami pun mencari celah kala tiba di depan pintu kereta. Bersama penumpang lain, dalam hitungan detik setelah pintu kereta dibuka, mata kami secepat kilat melihat dua kursi kosong. Ya, hanya dua kursi yang tertinggal. Selebihnya sudah penuh. Dengan kekuatan super entah dari mana, secepat itu saya mendahului orang lain melakukan hal yang sama. Kami pun tertawa dan duduk dengan lega sembari menghela nafas yang sudah naik turun. Sudah lama saya tidak olahraga. Ternyata berlari sebentar saja membuat tubuh kelelahan juga.
Karena memang sudah capai, kali ini saya ingin tidur di kereta. Namun, saya melihat dulu orang-orang yang tengah berdiri di depan saya. Tidak ada orang tua, ibu hamil, atau orang tua yang membawa anak. Saya juga duduk di kursi yang bukan prioritas. Saya tidak ingin merasa bersalah duduk di antara orang-orang yang lebih membutuhkan. Karena tidak ada, saya pun minum beberapa teguk, lalu memejamkan mata.
Setiba di Solo, kami hampir lupa turun. Mungkin karena saya baru bangun dan tidak ngeh sedang berada di mana. Untungnya ada seseorang yang berkata bahwa ini Stasiun Solo Balapan. Kami pun turun. Sebenarnya terlewati pun tak apa, masih ada dua stasiun lain yang berada di Solo. Stasiun Solo Jebres dan Palur. Saya belum pernah turun di sana, tapi banyak orang menyarankan agar nanti saat pulang, naik dari salah satu stasiun tersebut agar kami bisa mendapatkan kursi lagi. Akan tetapi, lagi-lagi kami lupa. Kami kembali mengalami pengalaman yang sama, naik kereta berdesakan untuk mendapatkan kursi saat kembali ke Yogyakarta. Memang sudah nasib, tapi kembali kami nikmati pengalaman ini.
Menjelang pintu keluar Stasiun Solo Balapan, kami berdiskusi mau ke mana. Rute kami tidak banyak, ingin ke Lokananta, Kampung Batik Kauman, dan kulineran. Ada beberapa menu yang ingin kami coba, yakni selat solo, salad daging, dan Es Krim Tentrem yang terkenal di Solo. Semua makanan itu rata-rata rasanya manis. Sebagai orang Padang yang suka selera pedas, saya pun mengajak teman untuk mengisi perut dulu dengan masakan Padang.
“Kita makan nasi dulu, setelah itu baru menjajal makanan asli Solo,” ujar saya.
Teman saya setuju. Saya pun mengajaknya makan ke rumah makan padang. Di seberang stasiun ada rumah makan Padang yang enak. Letaknya persis di seberang Pasar Ayu, sebelah kiri dari Stasiun Solo Balapan. Penjualnya asli dari Pariaman. Selain bisa melepas rasa kangen dengan masakan Padang, kami juga melepas kangen berbahasa Minang.
Setelah makan, kami berjalan ke arah halte. Kali ini kami tidak ingin memesan kendaraan online. Kami ingin keliling Kota Solo dengan bus. Melihat pemandangan Kota Solo sebagaimana orang-orang Solo saban hari. Apalagi, naik bus dan angkot (angkutan kota) sebenarnya juga bisa menjadi sebuah destinasi di Solo. Bus-bus dan angkot sudah pakai AC, persis seperti di Jakarta. Jumlahnya cukup banyak dan rata-rata baru. Naik bus juga sangat murah kalau kita menggunakan e-money, seperti Flazz, Brizi, dan Tapcash. Ketika pakai e-money, berapa kali pun naik bus, kita cukup membayar Rp3.700,00—asalkan perjalanan dilakukan dalam 1,5 jam. Setelah melewati waktu itu, saldo kita baru terpotong.
Pengalaman lain yang membuat saya suka naik bus di Solo adalah keramahan penduduk lokal. Saat saya kebingungan hendak ke mana, mereka dengan baik hati—tidak hanya menunjukkan—mengantarkan ke lokasi tujuan kala arah kita sama. Bahkan, saya pernah diantar langsung ke salah satu dawet terenak di Pasar Gede karena saya meminta rekomendasi kuliner paling enak di mana.
Karena itulah, kali ini saya kembali menikmati bus di Kota Solo, tapi tentu dengan amunisi yang lebih lengkap. Saya menyediakan payung, kipas angin, dan tumbler yang berisi air es. Solo itu panas sekali. Meskipun panas, orang-orang tidak mudah marah. Biasanya cuaca panas membuat orang mudah emosi, tapi tidak dengan warga Solo. Baik pelajar, mahasiswa, dan orang tua yang pernah saya ajak bercerita dan bertanya, mereka menjawab dengan ramah dan penuh senyuman. Menurut saya, itu karena Solo belum seramai Yogyakarta dan kota lain di Pulau Jawa. Mereka hidup dengan sangat tenang, seperti suasana kala saya di kampung.
Dalam perjalanan kali inilah, saya melihat Kota Solo. Kota Solo itu ternyata sangat luas. Tidak sekadar jarak dari stasiun ke Keraton, Pasar Klewer, dan Pasar Gede—yang rata-rata jadi tujuan wisatawan. Jalan raya sangat lebar dan luas. Halte-halte difasilitasi papan rute dan jadwal bus yang canggih. Kita bisa melihat bus datang pukul berapa dan kita harus menunggu berapa lama. Di Yogyakarta, papan rute perjalanan bus ini tidak ada. Namun, digantikan dengan seorang karyawan bus yang duduk di halte melayani penumpang.
Meskipun demikian, ada satu hal yang sampai sekarang tidak bisa saya pahami di halte Solo. Peta rute busnya sangat sulit dibaca. Tidak sama dengan peta rute yang ditampilkan di halte dan stasiun kereta di Jakarta. Tidak ada petunjuk kita sedang di mana, serta apa beda masing-masing warna yang menunjukkan sebuah rute perjalanan. Jadi, saya tidak pernah tahu, harus naik bus apa menuju satu tempat wisata. Lagi-lagi, saya pakai senjata lama. Bertanya agak tidak tersesat di jalan.
Di bus inilah saya baru tahu, banyak mal di Kota Solo. Namun sayang, ada mal yang akan ditutup karena pengunjungnya tidak ramai. Barangkali mal sepi sudah menjadi masalah yang sama di beberapa kota. Tidak hanya di Kota Solo, di Kota Yogyakarta dan juga di Jakarta pun, saya melihat banyak mal sepi dan beberapa juga sudah tutup. Saya pikir ini masalah baru di kota-kota. Kala mal jadi salah satu destinasi wisata, banyak orang berinvestasi di sana. Namun sayang, jumlah mal tidak sebanding dengan jumlah orang yang berkunjung. Akhirnya, mal sebagai destinasi dan juga pusat perbelanjaan sepi dan mulai tutup satu per satu.
Di bus ini saya juga melihat sebuah pemandangan yang mengharukan. Beberapa sekolah yang saya lihat berada di atas bangunan yang luas dan cukup megah, tetapi anak-anak berpenampilan dengan baik dan bersikap dengan santun. Mereka juga naik bus yang sama dengan kami. Mereka memanfaatkan fasilitas yang diberikan pemerintah karena ada program tiket gratis atau harga tiket murah untuk pelajar.
Di bus kami, saya melihat beberapa orang siswa SMA menemani seorang Bapak yang bercerita panjang lebar tentang hidupnya. Mereka menyimak dengan baik sembari tersenyum dan merespons setiap pertanyaan. Saya pikir, di tengah perkembangan teknologi, kala anak-anak sekolah bisa membawa ponsel, mereka justru memilih berbincang dengan pendatang. Suasana ini sangat sulit ditemukan di kota lain. Hampir semua kota di Indonesia, banyak anak sekolah memilih main ponsel dalam transportasi umum dan menolak berbicara dengan orang asing. Saya bersyukur hal tersebut berbeda dengan di Kota Solo. Namun, entahlah nanti, saya berharap pemandangan ini masih ada kala nanti saya kembali lagi ke Kota Solo.
Menaiki kereta api dan bus dalam perjalanan kali ini membuat saya mendapatkan pengalaman baru dalam berwisata. Wisata memang tidak selalu tentang tempat yang indah dan makanan yang enak. Transportasi dan keramahan penduduk lokal menjadi salah satu hal yang ingin dirasakan. Ternyata di balik perjalanan tanpa tujuan ini pada awalnya, saya menemukan kepuasan batin. Bagi saya, ini sebuah perjalanan wisata batin.
Discussion about this post