Perang Doa
Cerpen Oleh: Afrizal Jasmann
Musim panen padi di Kampung Bayang Bulan telah berlalu sejak sekitar dua bulan lalu. Sudah waktunya musim tanam lagi, akan tetapi hujan belum juga turun. Mendung di langit yang kadang tampak menjanjikan hanya sebatas pemberi harapan yang tidak pernah kesampaian menjadi hujan. Seringnya langit berwarna biru. Sinar terik sang mentari semakin menambah beban di hati petani.
Tanah sawah yang seharusnya berair untuk bisa dibajak menjadi bubur lumpur telah mengeras bagai bongkahan beton dengan retakan-retakan besar bagai patahan antar benua. Begitu juga dengan rumput gulma yang biasanya menghijau menjadi santapan ternak, kini telah menguning nyaris tanpa kehidupan.
Ma’dang Madin yang punya hamparan sawah cukup luas di Kampung Bayang Bulan masih cukup rajin datang melongok, berharap masih terselip harapan diantara retakan-retakan sawah itu. Setiap kali ia sampai disana, didongaknya langit yang nyaris tidak berawan tersebut. Bibirnya komat kamit seperti membaca doa ataupun matra. Entahlah, hanya dia dan Tuhan yang tahu apa yang ia ucapkan.
“Wahai Ma’dang Madin, bila kiranya kita akan mulai ke sawah ni?” Tanya seseorang dari tepi sawah yang agak rimbun.
Ma’dang Madin menoleh. Tatkala telah diketahuinya itu adalah Marjohan, ia kembali melongok keangkasa. Seakan masih ada doa yang belum selesai ia lafazkan. Marjohan adalah pemuda tanggung yang sehari-hari kerja serabutan menjual jasa membersihkan lahan kosong bagi siapa saja yang membutuhkan.
“Hujan tidak akan turun dalam sebulan kedepan, Ma’dang.” Tiba-tiba saja bagai angin Marjohan telah berada didekat Ma’dang Madin yang hendak berbalik pulang. Betapa terkejutnya lelaki itu dengan kehadiran Marjohan yang tanpa diduga.
“Darimana pula engkau dengar kabar itu? Mudah saja kau bilang hujan tidak akan turun dalam sebulan kedepan.” Sanggah Ma’dang Madin dengan nada agak tinggi. Sekalian melepas emosinya karena telah dikagetkan Marjohan disiang bolong itu. “Tidakkah engkau dengar orang-orang sudah minta hujan pada sidang Jumat kemaren? Atau ketiduran lagi kau rupanya digubuk Si Tiar?”
“Bukan begitu, Ma’dang….”
“Lalu apa?”
“Itu, lihat disana..” Jawab Marjohan sembari mengarahkan telunjuknya pada sekumpulan orang yang sedang bekerja membuat saluran irigasi ditengah sawah.
“Apa masalahnya? Bukankah itu hanya para tukang. Bukan lain daripada itu.”
“Itulah masalahnya Ma’dang. Kata orang mereka telah menangkal hujan agar kerjanya tidak terbengkalai.” Jelas Marjohan.
“Ha, mana bisa? Hujan itu urusan Tuhan, bukan pandai-pandainya orang tukang.” Jawab Ma’dang pula tidak kalah debat.
“Tapi buktinya, hujan tidak turun sejak mereka mulai kerja.” Jelas Marjohan sang lelaki tanggung.
Ma’dang Madin terdiam sejenak. “Benar juga…” gumamnya.
Marjohan yang menang selangkah lebih ke depan merasa sedang di atas angin. Ma’dang Madin, lelaki semi ortodok, keras kepala yang selama ini selalu merasa benar dengan teori-teorinya telah dibuatnya terdiam. Seulas senyum bangga terlukis di wajahnya yang berkeringat.
“Sssttt….” Isyarat Ma’dang Madin meminta Marjohan lebih mendekat.
“Ada apa Ma’dang?” Tanya Marjohan pula dengan suara pelan.
“Siapa yang engkau dengar mengatakan kalau para tukang itu telah menangkal hujan?” Tanya Ma’dang Madin setengah berbisik, berharap tidak ada yang mendengar ucapannya itu, walau kenyataannya hanya mereka berdua yang ada disana.
“Lhaa, itu kan semua orang juga tahu, Ma’dang!” Jawab Marjohan nyaring.
“Ssstttt….ssstttt…. jangan keras-keras kamu….” Ucap Ma’dang Madin keki sembari menggeplak ujung topi bundar Marjohan yang lusuh.
“Eh..iya iya. Maaf Ma’dang, tapi…setahu awak kalau ada orang bangun proyek, pasti hujan tidak turun. Kata orang mereka menyewa pawang penangkal hujan. Semua orang juga tahu itu.” Jelas Marjohan
“Iya, tapi siapa pawang penangkal hujannya, orang dekat atau orang jauh?” Tanya Ma’dang Madin lagi.
“Kalau itu awak tidak tahu…”
Gludug gludug!! Tiba-tiba terdengar suara geluduk di angkasa. Kedua laki-laki berbeda usia dan para para pekerja di tengah sawah itu seketika mendongak ke arah sumber suara. Seiring dengan itu sehembusan besar angin bagaikan ombak menerpa tubuh-tubuh mereka.
“Naaah.., akhirnya hujan turun juga.” Ucap Ma’dang Madin sumringah.
“Kasihan. Kerja mereka juga belum ada setengahnya.” Ucap Marjohan tatkala melihat para pekerja itu mulai menutupi tumpukkan sak semen bahan proyek mereka dengan terpal.
“Berarti azimat penangkal hujan mereka telah dibongkar orang.”
“Siapa yang membongkar, Ma’dang?”
“Entahlah. Jika memang begitu cara kerja mereka, tentu banyak orang yang marah. Musuh bagi mereka.”
“Siapa saja, Ma’dang?”
“Ya, semua orang yang menggarap sawah-awah ini. Mereka berharap hujan, tapi pekerja irigasi itu malah menangkalnya.” Jelas Ma’dang Madin.
“Ssstt…Ma’dang, ada Pak Kades…” Ucap Marjohan tiba-tiba tatkala dilihatnya Kepala Desa Tapian, tempat Kampung Bayang Bulan berada, lengkap dengan pakaian dinasnya datang mendekat dari arah pinggir sawah.
“Assalamualaikum!” Seru Kepala Desa lantang. Ma’dang Madin dan Marjohan menyahut salam itu dengan tidak kalah lantangnya.
“Darimana Pak Kades? Tidak biasa-biasanya jalan kaki. Kesawah pula.” Tanya Ma’dang Madin sembari menyalami pucuk pimpinan desanya itu.
“Ah, biasa Ma’dang. Saya juga sering turun kesawah, tapi mungkin jarang kelihatan saja.” Bela Pak Kades. Ma’dang Madin seperti ingin menimpali lagi, tapi ia urungkan seketika tatkala dilihatnya Pak kades berada dalam fikiran lain.
“Berdoa kita kepada Allah, Ma’dang semoga tidak turun hujan. Agar cepat selesai pula kerja orang-orang itu.” Ucap Pak Kades mantap.
“Mana bisa begitu, Pak Kades? Kami sudah lama berharap turun hujan. Solat minta hujan telah pula kita lakukan selepas solat jumat kemaren.” Balas Ma’dang Madin seketika.
“Tapi, saluran irigasi itu juga untuk kepentingan kita bersama, Ma’dang. Jika nanti selesai dikerjakan, Ma’dang dan yang lainnya tidak perlu lagi bersusah payah menutup lubang tikus dipematang yang membuat sawah bocor terus. Pematangnya sudah dibeton. Tidak akan bisa tikus melubangi.” Jelas Pak Kades.
“Berapa lama lagi pengerjaan itu, Pak Kades?” Tanya Ma’dang Madin agak sinis.
“Ya, berapa lama lagi?” Tanya Marjohan menimpali agak ragu-ragu.
“Ya, jika tidak ada halangan, mungkin sekitar dua puluh hari lagi. Para pekerja juga terjadwal. Jatah waktu mereka tidak boleh lebih dari target.”
“Dua puluh hari? Itu umur yang cukup untuk padi mulai dipupuk, Pak Kades.”
“Seharusnya memang begitu, tapi sekarang kan sawah masih kosong.” Tanggap Pak Kades mantap. Suasana diam sesaat. Langit kembali cerah. Suara geluduk sudah tidak terdengar lagi seiring awan yang berpindah kekaki langit yang jauh.
“Maaf, Pak Kades. Benarkah apa yang telah kami dengar?”
“Apa itu, Ma’dang?” Tanya Pak Kades mendelik.
“Kami dengar ada yang mengatakan kalau hujan tidak turun ini karena ada campur tangan pawang penangkal hujan.” Jawab Ma’dang antara polos dan tensi yang tertahan.
“Haha..” Tawa pak Kades ringan.
“Jika memang itu yang terjadi Pak Kades, artinya telah menyengsarakan kami sebagai petani. Percuma saja irigasi itu dibuat jika pembuatannya merusak musim tanam kami.”
“Saya yakin, Ma’dang Madin sudah punya banyak pengalaman hidup, tapi masih percaya dengan cerita begitu. Tidak ada yang berkuasa atas turun atau tidaknya hujan selain Allah, Ma’dang. Kalaupun sampai saat ini belum turun hujan, itu bukan karena penangkal ini-itu. Yakin saja itu karena Yang Maha Kuasa sedang memberi kita kesempatan untuk membangun negeri ini, agar saluran irigasi bisa lebih teratur, dan selanjutnya musim tanam tidak lagi menunggu hujan turun, tapi bisa dijadwalkan sendiri karena air selalu tersedia dari hulunya.”
“Benar, Ma’dang. Awak setuju itu. Kalau irigasi sudah lancar, awak juga ingin turun kesawah saja. Biar awak minta lagi sawah awak yang kini dikelola Ni Bainar. Adik Ma’dang Madin.”
“Husss…” Potong Ma’dang Madin seketika. Dilihatnya Pak Kades hanya tersenyum tipis. Marjohan lansung ciut bagai balon kempes.
“Nah, kalau begitu biarlah saya lanjutkan langkah menengok para pekerja itu, Ma’dang. Moga saja dengan kehadiran saya membuat mereka semakin semangat kerja.
”Oh, silahkan, Pak Kades.” Namun baru beberapa langkah kepala desa itu beranjak, Ma’dang Madin kembali berucap. “Saya punya usul, Pak Kades.” Ucapnya.
“Ya, apa itu?”
“Karena kita berdua punya kepentingan masing-masing, bagaimana kalau kita berlaga saja. Nanti akan terlihat siapa pemenangnya.” Ucap Ma’dang Madin datar. Marjohan yang berdiri disisinya tampak gugup dan kebingungan. Fikirnya kedua laki-laki yang ada didepannya itu akan segera berlaga fisik bagai digelanggang silat. Sementara dilihatnya tidak ada siapa-siapa disekitar itu yang akan melerainya jika pergulatan itu memang terjadi.
“Maksudnya bagaimana, Ma’dang Madin?” Tanya Pak Kades sembari berbalik.
“Kita lagakan doa kita. Saya akan berdoa agar hujan turun, sedangkan Pak Kades berdoa agar hujan tidak turun. Nanti biar Allah yang tentukan doa siapa yang Ia terima.” Ucap lelaki itu. Pak Kades tertawa kecil mendengar penawaran itu. Sedangkan Marjohan yang telah terlanjur setengah panik, mengusap dada pertanda lega.
“Apa memang harus seperti itu, Ma’dang? Apa kata orang nanti jika langit bergoncang karena kita sedang berlaga, perang doa?” Tanya Pak Kades pula.
Marjohan kembali panik. “Maaf Pak Kades, maaf Ma’dang Madin. Daripada ribut-ribut, bagaimana kalau kita pilih jalan tengah saja?” Ucap Marjohan menyela. Kedua lawan bicaranya itu saling berpandangan. “Maksud awak marilah kita sama-sama berdoa agar apabila siang, saat orang bekerja hari cerah dan apabila malam ketika orang-orang tidak bekerja, hujan turun.”
“Hahahaaaa…..Marjohan, Marjohan. Kita ini hanyalah hamba. Tiada kuasa kita memaksa Yang Kuasa. Polos sekali engkau rupanya….” (*)
Biodata Penulis
Afrizal Jasman merupakan nama pena dari Afrizal S.Sn. Pria kelahiran Toboh Sikaladi Sintoga pada 15 April 1982. Saat ini tinggal di Kabun Bungo Pasang, Ulakan Tapakis, Padang Pariaman. Afrizal memiliki sanggar yang berada di tanah kelahirannya Toboh Sikaladi, Sintoga Padang Pariaman. Ia dapat dihubungi pada email: afrizaljasmann737@gmail.com. Fb: Afrizal Jasmann (Ajiw) dan Ig: afrizaljasmann2022.
Dua Sisi Dunia (Analisis Cerpen “Perang Doa” Karya Afrizal Jasman)
Oleh: Azwar
Dewan Penasihat Pengurus Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Sumatera Barat.
Membaca Cerpen “Perang Doa” karya Afrizal Jasman mengingatkan saya akan Novel Orang-orang Proyek (OOP) karya Ahmad Tohari. Banyak karya sastra yang sebenarnya dihasilkan oleh penulis Indonesia terkait dengan bagaimana masyarakat dan pembangunan direpresentasikan dalam karya sastra.
“Orang-orang Proyek” ini menarik, novel ini menceritakan tentang bagaimana maraknya kebobrokan oknum saat menunaikan proyek-proyek yang terjadi di Indonesia khususnya pada 1991 dan sebelumnya. Tatkala Partai Golongan Lestari—sebuah nama partai samaran yang beliau tulis—menang menguasai negeri ini. Telah membuat pembangunan jembatan dengan desakan yang dapat mengurangi mutu jembatan.
Tokoh utama novel tersebut adalah Insinyur Kabul, insinyur teknik sipil yang bertugas mengawasi pembangunan jembatan. Kabul merupakan mantan aktivis yang sangat idealis, selayaknya para pemuda lainya, pikiran Kabul juga penuh dengan harapan pada masa depan.
Novel karya Ahmad Tohari tersebut mengisahkan bagaimana kondisi Masyarakat yang kental dengan perilaku penyelewengan. Sepertihalnya kasus korupsi. Dalam memimpin proyek pembangunan jembatan, Kabul sering sekali letih dengan keadaan yang telah berlangsung.
Saya tidak akan mengulas Novel “Orang-orang Proyek” ini lebih jauh. Hanya saja sebagaimana disampaikan dari awal tulisan, cerpen Afrizal Jasman ini mengingatkan saya pada novel tersebut. Bukan karena menceritakan topik yang sama, akan tetapi karena novel, cerpen atau karya sastra lainnya adalah cerminan dari masyarakatnya.
Begitulah Novel “Orang-orang Proyek” merupakan cerminan masyarakat politik pembangunan di Indonesia masa itu. Sastrawan seperti Ahmad Tohari adalah orang-orang yang terusik dengan praktik-praktik curang pembangunan. Ia tidak punya akses untuk menasehati para penguasa dan pengusaha yang bersekutu merampok hak-hak rakyat jelata. Namun ia punya senjata lain berupa karya sastra.
Karya sastra dalam hal ini adalah senjata para intelektual organik untuk menghadap kejahatan terstruktur penguasa. Sastra adalah cerminan sosial masyarakatnya. Karya sastra merupakan rekaman kehidupan masyarakat yang menjadi latar cerita. Terlepas dari ia merupakan karya fiksi, yang tidak bisa dijadikan sumber Sejarah, yang pasti karya sastra bisa menyampaikan fakta-fakta realitas dalam sifat rekaan (fiksi) yang dimilikinya.
Cerpen “Perang Doa” karya Afrizal Jasman menceritakan cerita Marjohan dan Ma’dang Madin di antara kesibukan mereka di sawah yang kekeringan. Fakta kekeringan itu dibumbui oleh Marjohan dengan mitos-mitos dan gossip yang tidak jelas tentang orang-orang proyek yang memakai pawang hujan untuk mengusir hujan.
Marjohan mendengar bisik-bisik masyarakat bahwa mereka beranggapan bahwa orang-orang yang mengerjakan proyek biasanya menyewa pawang hujan agar saat mereka bekerja hujan tidak turun. Ma’dang Madin yang rasional tidak percaya gossip itu. Ia yakin urusan hujan dan kemarau itu urusan Tuhan Yang Maha Kuasa. Tapi realitas yang terjadi (hujan sudah lama tidak turun) membuat prinsip Ma’dang Madin goyah. Ia pikir-pikir jangan-jangan benar bahwa hujan yang tidak turun-turun ini karena ulah pawang hujan yang disewa orang-orang proyek.
Cerpen ini menghadirkan tokoh ketiga yaitu Pak Kades. Sebagai aparat pemerintah Pak Kades mendoakan agar hujan tidak turun, karena kasihan pada orang-orang proyek yang pekerjaan mereka masih terbengkalai. Pak Kades berharap pekerjaan cepat selesai oleh sebab itu ia berdoa agar hujan tidak turun.
Sementara Ma’dang Madin yang sawahnya sudah kekeringan berharap agar hujan segera turun. Inilah sepertinya ide penulis tentang judul cerpen ini “Perang Doa”. Di dunia ini banyak orang yang berkepentingan akan sebuah kondisi. Seperti Pak Kades yang berkepentingan agar hujan tidak turun karena dia berharap proyek di desanya bisa selesai. Sementara ada Ma’dang Madin yang berhadap agar hujan segera turun agar dia bisa menggarap sawah sebagai sumber penghasilannya.
Perang kepentingan, inilah yang ingin disampaikan oleh Afrizal Jasman. Proyek di desa tersebut dan mungkin di berbagai daerah lain pada satu sisi menguntungkan untuk sekelompok orang. Tapi pada sisi lain ada orang-orang yang juga dirugikan oleh aktivitas tersebut.
Kalau dihubungkan dengan realitas sosial di mana Afrizal Jasman hidup, bisa dihubungkan ide cerita ini dengan pro kontra pembangunan Jalan Tol di Sumatera Barat. Sumatera Barat secara nasional sudah terkenal dengan rumitnya Pembangunan Jalan Tol yang menjadi program pemerintah pusat tersebut.
Sumatera Barat rumit, begitu beratnya melaksanakan pembangunan jalan tol yang pada dasarnya memberi manfaat untuk masyarakat juga. Tapi sekelompok orang merasa dirugikan atas pembangunan jalan tol tersebut, mereka-mereka inilah yang menjadi aktor utama penolak pembangunan jalan tol ini.
Itulah hidup yang selalu hadir dengan dua sisi. Pahlawan sekelompok masyarakat bisa jadi dia adalah penjahat bagi sekelompok masyarakat lainnya. Robin Hood menjadi pahlawan bagi rakyat kecil yang diberinya makanan, sementara Robin Hood juga merupakan penjahat bagi bangsawan-bangsawan yang dirampoknya itu.
Ken Arok adalah dalam Novel Pramoedya Ananta Toer adalah pahlawan bagi masyarakat kecil yang diberinya makanan dari hasil rampasan atas harta Tunggul Ametung, Akuwu Tumapel. Dua sisi hidup seperti ini banyak terjadi dalam kehidupan manusia. Oleh sebab itu muncul istilah bahwa seseorang tidak bisa membuat semua orang mencintainya. Ada banyak orang menyanjungnya, tapi pada sisi lain ada juga orang-orang yang mencacinya. Begitulah hukum dunia.
Hal tersebut di atas merupakan kerangka besar pemikiran Afrizal Jasman dalam cerpen “Perang Doa” yang singkat tersebut. Ia menyampaikan pada pembaca bahwa apapun yang terjadi akan ada pro dan kontra. Ada kepentingan-kepentingan yang berbeda bagi orang-orang yang mengalaminya. Afrizal Jasman mengakhiri cerpen tersebut dengan perspektif ideologis yang dipercayainya bahwa semua yang terjadi di dunia tidak terlepas dari kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. “Kita ini hanyalah hamba. Tiada kuasa kita memaksa Yang Kuasa.” Kalimat penutup tersebut menjadi pokok utama yang ingin disampaikan pengarang cerpen “Perang Doa” ini. Ia menyadarkan kita seberapapun kehendak manusia, seberapapun keinginan manusia, hal itu tidak bisa memaksa Tuhan untuk menjadikan takdir sebagaimana yang dikehendaki manusia.
Afrizal Jasman melalui cerpen ini ingin menegaskan bahwa takdir adalah hak Yang Maha Kuasa. Manusia boleh berharap dengan memanjatkan doa-doa, tapi yang akan terjadi adalah sebagaimana kehendak Yang Maha Kuasa, yang kadang tidak bisa dipahami oleh logika manusia. (*)
CATATAN
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post