Cahaya Cinta di Tanah Palestina
Muttaqin Kholis Ali, M.Pd.T
Amar Hakim adalah seorang pemuda berusia 26 tahun, lahir dan dibesarkan di Mandailing Natal, Sumatera Utara. Ia adalah seorang pemuda cerdas, berani, dan penuh semangat. Kehidupannya berubah ketika ia memutuskan untuk menjadi seorang relawan di Palestina melalui MER-C (Medical Emergency Rescue Committee). Ia bersama kelompok sukarelawan dari berbagai negara di dunia berjuang untuk melawan penindasan dan mendukung hak-hak rakyat Palestina.
Amar terlibat dalam berbagai kegiatan kemanusiaan, membantu membangun sekolah, merawat korban perang, dan menyediakan bantuan bagi mereka yang membutuhkan. Selama perjalanannya menjadi seorang relawan, Amar tidak bisa menghindari rasa benci yang tumbuh di dalam dirinya terhadap Israel. Dalam benaknya, Israel adalah penjajah yang harus dilawan.
Tangisnya menganak sungai ketika melihat perjuangan rakyat Palestina dalam mempertahankan tanah air. Banyak di antara mereka kehilangan orang tua, anak, saudara, rumah, harta benda, dan lainnya. Bahkan anak-anak tidak memiliki masa depan. Namun, mereka tetap ikhlas menjalani kehidupan. Allah selalu di hati. Keyakinan tidak tergerus, malah sebaliknya. Mengagungkan Allah dalam setiap detik dalam hidup mereka. Mereka bangga menjadi bagian kaum muslimin.
Palestina, salah satu tempat terbaik bagi umat Islam. Di tempat ini Amar memperoleh banyak pelajaran kehidupan setelah berjuang bersama mereka.
“Kami tidak takut Israel, kami hanya takut pada Allah,” jawab Hauba ketika ia dan teman-teman lainnya duduk bersama Amar di sebuah lapangan sekolah. Sore itu, Amar mengajari mereka berbicara bahasa Indonesia.
“Aku bangga pada Ayah dan Ibu yang menjadi syahid dua tahun lalu,” ungkap Omar dengan mata berkaca-kaca.
Namun, di tengah-tengah konflik dan kebencian, takdir mempertemukan Amar dengan Aisha, seorang muslimah yang tinggal di wilayah Israel. Meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda dan hidup dalam situasi politik yang rumit, cinta tumbuh di antara mereka. Pertemuan mereka yang tak terduga memicu perasaan yang sulit dijelaskan bagi keduanya.
“Dapatkah kita menyatukan cinta ini, Amar?” tanya Aisha skeptis melalui sambungan video call.
“InsyaAllah. Dengan izin Allah,” jawab Amar dengan suara bergetar.
Amar dan Aisha mencoba menyembunyikan hubungan mereka, menyadari bahwa orang di sekitar tidak akan memahami. Namun, cinta mereka terus berkembang, menguatkan satu sama lain di tengah kekacauan dan keputusasaan yang melanda Palestina. Keduanya yakin bahwa cinta mereka bisa menjadi simbol perdamaian di tengah-tengah konflik yang melibatkan bangsa tersebut.
***
Takdir berkata lain. 7 Oktober 2023, militan Palestina yang dipimpin oleh Hamas melancarkan invasi sekaligus serangan besar-besaran terhadap Israel dari jalur Gaza. Saat itu, konser musik Supernova Festival Israel tengah diadakan di gurun pasir dekat perbatasan Gaza-Israel. Israel segera membalas dan menyatakan deklarasi perang. Sebenarnya jauh dari kejadian baru-baru ini, konflik Palestina dan Israel sudah terjadi sejak puluhan tahun yang lalu. Dimulai saat Inggris menyita tanah Palestina untuk diberikan kepada Yahudi. Lalu Israel berupaya mengambil sedikit demi sedikit tanah Palestina untuk mereka kuasai. Hingga akhirnya Palestina layaknya tamu di rumahnya sendiri.
Suatu hari, ketika perang mencapai puncaknya, roket-roket menyapu langit, meninggalkan kehancuran di sekitar mereka. Ribuan nyawa melayang, termasuk orang-orang terdekat Amar. Lebih dari satu juta orang di Gaza terpaksa mengungsi disebabkan serangan Israel. Setelah melakukan serangan besar-besaran, Palestina dibuat kekurangan pasokan makanan, air, listrik, obat-obatan, dan juga bahan bakar.
Rakyat tak terdosa menjadi korban kebrutalan Israel, khususnya kaum perempuan dan anak-anak. Rumah sakit, masjid, gereja, sekolah, bahkan tempat sekaligus bangunan yang dilindungi oleh PBB. Pejabat Israel bersuara lantang untuk mengusir Palestina dari tanah airnya sendiri. Banyaknya warga Palestina yang tewas membangkitkan kenangan tentang genosida. Bahwa dengan sengaja Israel telah menghancurkan kehidupan Palestina.
“Allahu Akbar… Allahu Akbar…”
Gema takbir terus berkumandang di tanah Palestina. Meminta doa dan perlindungan dari Allah Swt. Sebab tiada lain yang bisa menolong selain Dia. Amar memeluk Omar. Sang kakek, satu-satunya keluarga yang tersisa kini telah pergi menghadapNya.
“Bagaimana hidupku kini? Ayah, Ibu, Kakek, Nenek, dan saudara lain telah pergi meninggalkanku,” tangisnya tergugu. Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Amar. Ia mengencangkan pelukan pada bocah berusia 10 tahun itu. Air matanya mengalir deras tanpa suara.
***
Detik demi detik yang dilalui masyarakat di Palestina kian mencekam. Hari ini masih bisa menghirup udara segar, besok sudah tak bernyawa. Hari ini masih bersama orang tercinta, namun tak disangka esoknya satu per satu dari mereka pergi meninggalkan dunia yang penuh luka. Bangunan hancur di mana-mana, meninggalkan puing dan kenangan. Mayat berserakan, bersama perjuangan mempertahankan tanah air tercinta. Shalat jenazah layaknya shalat fardu yang harus dilakukan setiap saat. Masyarakat Palestina, bahkan anak-anak, mendesak dunia untuk memberi perhatian dan bantuan.
“Pendudukan ini menyebabkan kami mengalami kelaparan. Kami juga kesulitan mendapatkan akses air dan makanan. Terpaksa kami minum air yang tidak layak konsumsi. Kami mohon pada Anda untuk melindungi kami. Kami ingin hidup damai. Kami mendambakan keadilan bagi para pembunuh anak-anak. Kami ingin hidup seperti anak-anak lainnya,” ucap salah seorang anak yang berbicara ketika konferensi pers di Rumah Sakit Al-Shifa dilakukan pada hari Selasa, 7 November 2023.
***
Panggilan dari Indonesia terus berdatangan. Meminta Amar segera pulang ke tanah air.
“Aku belum bisa, Mak,” jawab Amar dengan nada lirih.
“Mamak tak ingin kehilanganmu di sana, Nak. Pulanglah. Mamak mohon,” pinta sang Ibu di seberang sana.
“Mereka masih membutuhkanku, Mak. Kalaupun aku harus meninggal di sini, aku rela, Mak,” tukas Amar terbata-bata.
“Tapi Mamak tak rela, Amar. Kau satu-satunya putra Mamak. Mamak mohon, pulanglah Nak,” tukas perempuan setengah abad itu dengan air mata berderai.
***
Di saat yang sama, Aisha menjadi salah satu korban serangan roket yang menghantam wilayah Israel.
“Ya Allah… ya Allah…” ucap Amar berulangkali. Ia pandang foto sang kekasih di ponselnya.
“Aisha…” lirih Amar dengan air mata menganak sungai. Seketika kisah yang mereka lalui terbayang dibenak Amar. Pertemuan tak terduga melalui dunia maya yang berhasil menumbuhkan cinta di antara keduanya.
“Seandainya aku tidak menjadi bagian dari Israel, cinta kita pasti bisa disatukan dengan mudah, Mar,” tukas Aisha suatu hari. “Aku akan terbang ke tempatmu, memintamu untuk menikahiku,” tambah Aisha yang membuat Amar melepaskan tawa.
“Harusnya aku yang melakukan itu,” balas Amar.
“Tidak masalah. Karena aku mencintaimu dan aku yakin kamu juga merasakan hal yang sama. Aku ingin cinta kita menyatu dalam ikatan suci,” balas perempuan berlesung pipi itu berhasil menghadirkan rona di wajah Amar. Aisha seorang perempuan cerdas, baik dalam bidang akademis atau pun agama. Selain itu, ia suka bercanda. Membuat pembicaraan mereka menjadi berkesan.
“Amar, kalau saja aku bisa memilih, aku tidak ingin dilahirkan menjadi bagian Israel. Aku mencintai perdamaian. Aku ingin Palestina memperoleh kemerdekaan,” ungkap Aisha suatu hari.
“Ingin rasanya pindah negara. Tetapi seluruh keluargaku ada di sini. Aku tak mungkin pergi meninggalkan mereka,” lirih Aisha dengan nada terluka.
“Semoga Allah segera menyatukan kita, Aisha,” ungkap Amar dengan penuh kesungguhan.
Perjalanan cinta yang belum bersatu, menghadirkan duka yang begitu dalam. Lagi-lagi Amar meluruhkan air mata. Tangisnya kian kencang setelah mendapat kabar kritis sang kekasih. Kehidupan cinta mereka berdua tergantung pada seutas benang.
Amar terombang-ambing antara rasa sakit kehilangan, dilema cinta dan juga kebencian. Kini, pemuda yang dulunya penuh semangat dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina harus menghadapi pilihan sulit. Pernah ada secuil harapan bahwa cintanya pada Aisha akan membawa sebuah perdamaian sejati. Ternyata jalan cintanya begitu sulit untuk dilalui. Kini, ia terjebak dalam lingkaran kebencian dan dendam pada Israel.
Dalam keheningan malam yang gelap, Amar merenung di antara reruntuhan yang masih menyisakan bekas-bekas kehidupan masyarakat Palestina. Sementara perang terus berkecamuk di sekitarnya, ia mencari jawaban di dalam dirinya, mencoba mencari arti dari cinta dan kehilangan yang begitu mendalam di tengah-tengah konflik yang tak kunjung berakhir.
“Amar, Aisha mengembuskan napas terakhirnya,” tukas Saddam, salah satu relawan yang juga mengetahui kisah cinta sahabatnya itu. “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Ya Allah… Ya Allah… Ya Allah…” ucap Amar dengan bibir bergetar sembari menutup kedua bola matanya. Terbayang wajah kekasihnya yang tengah tersenyum lebar melambaikan tangan kepadanya.(*)
Penulis :
Selain menjadi penulis, Muttaqin Kholis Ali, M.Pd.T., juga merupakan seorang Guru Informatika SMA Negeri 1 Tambangan, Kab. Mandailing Natal, Sumatera Utara.
Menghadirkan “Nyawa” Palestina dalam Cerita Pendek
Oleh: Azwar
(Dewan Penasihat Pengurus (DPP) FLP Wilayah Sumatera Barat)
Michael Rinaldo membuka sebuah tulisannya yang berjudul “Rilke dan Chairil” (Etos Kerja, Terjemah, Silang Tema) dengan sebuah pertanyaan yang menggelitik, bisakah individu melepaskan diri dari masyarakat sekitarnya? Kemudian Michael sendiri melanjutkan dengan penjelasan bahwa dalam seni pertanyaan itu muncul sebagai diskusi klasik tentang bisa atau tidaknya sebuah karya seni berdiri sendiri sebagai institusi sendiri, dimana secara isi ia menolak dan melepaskan diri dari pembahasan tema sosial politik zamannya (121 Jurnal Kalam 2005 edisi 22).
Sementara itu Albertine Minderop dalam bukunya Psikologi Sastra menyatakan bahwa teori tentang seni senantiasa tidak terlepas dari doktrin-doktrin yang melibatkan hubungan antara alam semesta dengan seniman serta alam dengan hasil karya seni. Misalnya, suatu karya seni yang mengandung keindahan dan bermutu bila karya tersebut mampu mencerminkan ajaran moral, sebagaimana teori Plato (2011).
Apa yang disampaikan Rinaldo dan Minderop tersebut mencerminkan bahwa karya sastra merupakan respon pengarang atas situasi yang dihadapinya. Oleh sebab itu, dengan cara pandang seperti itu wajar lahir cerpen-cerpen tentang Palestina yang merupakan respon atas konflik Palestina tanah suci umat muslim dunia.
Cerpen-cerpen tentang Palestina bukan hal yang baru bagi masyarakat Indonesia. Sejak kelahiran Forum Lingkar Pena (FLP) 27 Februari 1997, masyarakat Indonesia sudah banyak menikmati cerpen-cerpen bertemakan Palestina. Tahun 1998, Helvy Tiana Rosa, salah satu pendiri FLP membuat cerpen berjudul “Hingga Batu Bicara”. Cerpen HBB tersebut bercerita tentang anak-anak korban kekejaman Israel di Palestina.
Bagi HTR, karya-karya tentang Palestina bukan pertama yang dihasilkannya. Tahun 1991 ketika ia masih kuliah di Universitas Indonesia, HTR menulis naskah drama “Aminah dan Palestina”. Ada banyak karya HTR yang berkisah tentang Palestina yang menjadi salah satu ciri kepengarangannya. Tema-tema tentang Palestina yang ditulis HTR dalam karya fiksinya kemudian menular kepada anggota-anggota FLP yang menjadi ruang diskusi bagi banyak anak muda sejak tahun 1997.
Tradisi membuat antologi cerpen tentang Palestina menjadi budaya FLP. Bertahun-tahun mereka berkarya berhasil melahirkan ratusan karya yang bertemakan Palestina itu. Selain melahirkan karya-karya bertemakan Palestina, generasi-generasi sastra Islami ini juga menerjemahkan karya sastra penulis-penulis Palestina. Salah satunya adalah sebuah buku berjudul Inthifadha Peluru Ini untuk Siapa karya Jihad Rajbi yang diterjemahkan oleh Anis Matta.
Jihad Rajbi adalah seorang penulis perempuan Palestina yang beberapa cerpennya menyuarakan suara-suara yang tak terkatakan dari masyarakat Palestina. Dengan menulis karya sastra yang menceritakan tentang perjuangan rakyat Palestina membebaskan diri dari dominasi Israel, Rajbi berharap karyanya itu mampu membakar semangat pembaca-pembacanya untuk terus berjuang melawan dominasi.
Lain dari itu bagi pembaca di negara lain, seperti di Indonesia misalnya, pengarang ingin mendeskripsikan kepada dunia apa yang sebenarnya terjadi di negerinya. Melalui karya sastra Rajbi mengabarkan kepada dunia tentang kejahatan yang terjadi di negeri itu dan mereka tidak diam, tetapi mereka melawan dengan cara mereka masing-masing.
Kreatika edisi ini menayangkan sebuah cerpen berjudul “Cahaya Cinta di Tanah Palestina” yang ditulis oleh Muttaqin Kholis Ali, seorang guru Informatika di SMA Negeri 1 Tambangan, Kab. Mandailing Natal, Sumatera Utara. Ali bercerita tentang Amar, seorang pemuda Indonesia yang menjadi relawan MER-C di Palestina. Amar bersama relawan lainnya membantu rakyat Palestina korban perang.
Cerita selanjutnya walaupun tidak mendalam mengisahkan Amar menjalin hubungan asmara dengan Aisha gadis muslim yang menjadi warga negara Israel. Ali mungkin ingin menceritakan bagaimana hubungan relawan yang sehari-hari melihat penderitaan rakyat Palestina dengan seorang perempuan Israel. Namun cerita pendek yang disuguhkan Ali (mungkin karena keterbatasan halaman) belum mendalam mengisahkan hubungan relawan Indonesia dengan perempuan Israel itu.
Sebagai sebuah karya fiksi, cerpen yang ditulis Ali perlu diapresiasi. Penulis sudah mampu merespon kejadian-kejadian yang mengusik rasa kemanusiaan banyak orang di Indonesia, yaitu kasus penjajahan Israel terhadap rakyat Palestina. Cerpen ini berjalan dengan alur maju, mengalir lancar dari penulisnya.
Namun sayangnya ada beberapa kelemahan cerpen ini yaitu pertama, penulis belum berhasil mengolah konflik dalam cerita ini menjadi fokus pada satu konflik. Sehingga membaca cerpen ini pembaca menjadi bertanya-tanya penulis akan menceritakan perjuangan Amar membantu rakyat Palestina atau kisah asmara Amar dengan Aisha. Kedua tema tersebut sebenarnya bisa menjadi konflik yang menarik jika digarap dengan baik oleh penulis. Sayangnya dua hal yang muncul itu sama-sama tidak mendalam digali oleh penulis.
Kedua, sebagai cerita dengan latar belakang negara asing, penulis belum berhasil menghadirkan “nyawa” Palestina dalam cerpen ini. Suasana yang dideskripsikan masih biasa-biasa saja, tidak mencerminkan latar tempat Palestina yang sedang mengalami konflik. Cerpen ini akan semakin kuat jika penulis mampu menghadirkan suasana Palestina dalam kisahnya.
Hal ini sebagaimana karya-karya Helvy Tiana Rosa yang bercerita tentang Palestina sebagaimana kutipan berikut ini: “Aku tak tahu siapa perempuan itu. Diakah? Sejak pindah tugas bulan lalu dari Tel Aviv ke tanah kelahiranku, Yerusalem, tepatnya di sekitar Al Aqsha dan Dinding Ratapan ini, hampir setiap hari aku, juga tentara yang lain melihatnya.” (Rosa, 1997).
Kutipan di atas setidaknya menunjukkan latar Palestina melalui “Tel Aviv, Yerussalem, Al Aqsha, dan Dinding Ratapan.” Hal itu semakin membuat pembaca terbawa pada suasana di Palestina. Hal ini sepertinya belum terlihat dimanfaatkan oleh Muttaqin Kholis Ali dalam cerpennya yang bertema Palestina ini.
Hal lain adalah dengan menggunakan bahasa-bahasa khas di Palestina untuk mendukung latar kejadian di dalam cerita pendek. Hal ini sebagaimana kutipan berikut.
“…Teman bertugasku di sini yang senantiasa memproklamirkan dirinya sebagai Lohamei Herut Israel sejati. Ia menyeringai, menampakkan gigi-giginya yang kecoklatan. “Lihat saja nanti!” serunya. “Ya, setelah itu kita akan menghabisi perempuan gila itu!” sambung Goldstein, temanku yang lain dengan nada dingin, sambil melipat koran Yediot Aharonot, yang sejak tadi dibacanya.” (Rosa, 1997).
Kata-kata Lohamei Herut Israel menunjukkan istilah untuk orang-orang Yahudi yang memilih menjadi pejuang-pejuang kemerdekaan Israel. Sementara itu Yediot Aharonot adalah salah satu koran ternama di Israel. Istilah-istilah tersebut mampu menciptakan suasana khas menceritakan konflik Palestina dan Israel.
Ketiga, penulis cerpen “Cahaya Cinta di Tanah Palestina” ini belum mampu menghadirkan semangat perjuangan Palestina melalui tokoh-tokoh di dalam cerpennya. Tokoh-tokoh yang hadir dibuat biasa tidak memiliki semangat juang sebagaimana anak-anak muda Palestina. Tokoh-tokoh yang digambarkan menangis karena kehilangan orang tua tentu bukan sesuatu yang mewakili semangat juang anak-anak Palestina.
Oleh sebab itu untuk menutupi kekurangan cerpen ini, hal yang dapat dilakukan penulis adalah melakukan riset terkait dengan situasi di Palestina. Riset yang paling baik tentu saja dengan melakukan observasi ke lokasi dimana daerah yang akan menjadi latar tempat cerita. Namun observasi bukan satu-satunya cara. Hal lain yang bisa menggantikan observasi langsung adalah dengan membaca atau melihat tayangan-tanyangan audiovisual tentang latar tempat yang akan diceritakan. (*)
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerjasama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com
Discussion about this post