Lastry Monika
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Suatu hari saya tercenung mendapati unggahan cerita di akun media sosial seorang teman yang berguyon bahwa dirinya hanyalah beban untuk suaminya. Ia berkata demikian karena dirinya berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan suaminya yang bekerja. Profesi “ibu rumah tangga” ia pelesetkan menjadi “beban suami” dan diakhiri dengan emotikon tertawa pada unggahan cerita tersebut.
Saat ini, pemahaman serupa itu memang perlahan memudar. Akan tetapi, bagi sebagian orang tetaplah sama. Rupanya, pandangan para ekonom terhadap pekerjaan rumah tangga di tahun 1800 M itu masih langgeng meskipun 223 tahun telah berlalu.
Pekerjaan seperti mengasuh dan membesarkan anak, mencuci piring dan membersihkan rumah, memasak dan menyetrika yang dilakukan oleh ibu rumah tangga tidak menghasilkan sesuatu yang kasat mata. Hasil pekerjaan tersebut dipandang tidak memiliki nilai tukar yang bisa diperjualbelikan. Pada tahun 1800 M, aktivitas-aktivitas tersebut dianggap tidak memberi sumbangsih terhadap kemakmuran ekonomi.
Pekerjaan-pekerjaan rumah tangga diyakini menjadi milik perempuan secara alamiah. Sebagai makhluk yang baik, lembut, dan penuh kasih sayang, mereka seperti memang didesain untuk menjalankan pekerjaan tersebut.
Pada tahun 1950-an akhirnya cara pandang tersebut berubah, tetapi tak sepenuhnya membawa angin segar. Bila perempuan bekerja, mereka mendapat upah yang lebih sedikit dibanding pekerja laki-laki. Para ekonom di masa itu menganggap perbedaan ini wajar dan sangat layak. Perbedaan upah tersebut tidak terlepas dari peran perempuan dalam aktivitas domestik dan pengalaman reproduksi mereka.
Perempuan dianggap kurang produktif karena melahirkan membuat mereka jeda bekerja. Selain itu, mereka juga dianggap tidak akan dapat bekerja secara maksimal karena harus membagi energi untuk aktivitas domestik dan aktivitas di tempat kerja. Jerih payah perempuan pekerja bahkan dipandang tidak memungkinkan sebagaimana yang dilakukan pekerja laki-laki.
Lewat Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith, Katrine Marcal menilai pandangan para ekonom di masa itu hanya berputar-putar dan diskriminatif. Perempuan diupah rendah karena ia tidak dapat mengerahkan tenaga sebanyak laki-laki (dalam bekerja) karena pekerjaan rumah tangga akan membuat mereka lelah. Di sisi lain, perempuan juga dianggap wajar melakukan pekerjaan rumah tangga karena mereka mendapat upah yang lebih kecil. Bukankah perputaran ini konyol sekali?
Bila muncul pertanyaan seperti, “Mengapa perempuan yang dianggap lebih cocok mengerjakan aktivitas rumah tangga?”, para ekonom di masa itu akan mengaitkannya dengan persoalan biologis. Menanggapi ini, Marcal menegaskan: “Tak ada apapun dalam biologi perempuan yang membuatnya lebih cocok untuk menggarap kerja rumah tangga tanpa bayaran.”
Unggahan cerita serupa yang dilakukan oleh teman saya bisa dibilang cukup sering ditemukan ketika pelesiran di media sosial. Dalam kehidupan sehari-hari pun demikian. Menjadi ibu rumah tangga bahkan dianggap “tidak ngapa-ngapaian, hanya di rumah”. Pernyataan ini ditemukan hari ini, bukan di tahun 1800 M.
Bila bekerja di luar, perempuan masih perlu berjuang untuk akses setara sebagai manusia ekonomi. Mereka masih perlu meyakinkan diri sendiri beserta orang lain bahwa faktor biologi seharusnya dianggap faktor biologi saja, tak ada kaitannya dengan kualitas diri saat bekerja. Bila perempuan memilih di rumah untuk menjadi ibu rumah tangga, ia pun masih perlu berjuang untuk tidak terjebak ke dalam pemikiran para ekonom 223 tahun yang lalu.
Pada prolog bukunya, Marcal mengatakan bahwa pernyataan perempuan mulai pergi bekerja pada tahun 1960-an itu keliru. Baginya perempuan sudah selalu bekerja. Hanya saja, pekerjaan mereka yang meliputi aktivitas rumah tangga di kala itu tidak dilihat atau dihitung memiliki nilai ekonomi.
Discussion about this post