Puisi-puisi Jonson Effendi
Perjalanan Mencari Tuhan
Berjalan di tepian ngarai mencari seberkas sinar dari timur ke barat sampai matahari ditelan laut. badan lusuh kaki berjalan menuju pintu kubur keabadian hidup setelah kematian
Daku terus berjalan walau diterpa badai, basah kuyup bermandi hujan tiada takut tiada gentar tetap tegar bagai karang dihempas gelombang pasang
Sepertiga malam itikaf di mihrab munajat melangitkan doa-doa permohonan tengadahkan tangan berlinang air mata. semua menjadi saksi. alam menjadi saksi. batu-batu berzikir, dedaunan berzikir. sungai-sungai berzikir
Daku terus berjalan menelusuri kampung, bukit gurun padang tandus mengetuk pintu hidayah siang bagai raja rimba, malam mengemis meminta doa mencari seberkas cahaya
Cahaya di atas cahaya, cahaya Ilahi.
Pariaman, 29/09/2023
Maknawi Kehidupan di Ujung Senja
Kutelusuri maknawi kehidupan lewat getaran cinta anugrah Ilahi, berapa lama kucari dalam samudra hati bersemayam di ranting kalbu. hidup mesti dijalani. cinta membara membakar jiwa, aku terbakar!
Secawan anggur semanis madu, selembut air Salsabila, Sang Pemberi kehidupan dalam nadi. aku sanggup menunggu seribu tahun berganti. duhai jiwa pengembara daku tersungkur sujud di mihrab cinta. rasa ini mulai tumbuh menjadi pokok berakar bercabang berdaun, akarnya menghunjam ke bumi pucuknya menjulang ke langit daunnya rindang buahnya manis
Daku merindu Sang Pemilik jiwa ingin berkhalwat di taman bunga memadu kasih seperti kisah anak remaja. burung-burung bernyanyi alam berseri bagai kupu-kupu berdansa di altar persembahan, kumbang mengisap madu di putik kelopak bunga jamuan santap malam maknawi kehidupan di ujung senja.
Pariaman, 29/09/2023
Air Mata Laut
Ibu, air matamu laut paling jernih, dadamu paling samudera, akal budi paling filsafat, jiwamu muara kasih sepanjang zaman. Ibu, izinkan kuteguk air matamu pelepas dahaga di musim panas, ingin kurebahkan kepala ini di dadamu obat pelepas rindu, izinkan kugapai langitmu madrasah pertama tempat menimba ilmu bergantung segala cita-cita, izinkan kudekap jiwa ragamu sebagai hamparan permadani tempahan diri
Ibu, sungguh besar pengorbananmu menyabung nyawa melahirkanku, membesarkanku dari air susu yang kuminum tumbuh menjadi urat nadi kehidupan. Darah yang tumpah dari sayatan pisau tak tergantikan meskipun kupunya sebanyak apa pun harta permata dunia, satu tegukan susu nilainya berjuta kebaikan
Ibu, air mata menjadi lautan menatap huru hara anak zaman jadi korban kebiadaban. Bunda pertiwi menangis sakitnya menoreh luka tiada terperi, negeri ini terkotak-kotak. Betapa kuingin menanam rindu bahasa yang satu, tanah air yang satu, bangsa yang satu. Merah putih seharum Mawar Melati.
Pariaman, 04/10/2023
Tentang Penulis
Jonson Effendi, lahir di Palembang. Telah menulis dua buku kumpulan puisi tunggal berjudul Panggilan Hati (Al-Qalam Media Lestari, 2017) dan Ya Allah Habibah (Egypt van Andalas, 2022). Selain itu juga ikut menulis dalam buku antologi puisi Wangian Kembang Konpen (Kelantan Malaysia, 2018). Antologi puisi Satu yang Tumbuh, antologi cerpen Mata Cinta, Antologi Jejak Sajak di Batu Runcing, Antologi puisi Dwi Bahasa Bolivia – Indonesia, Antologi puisi budaya Argentina – Indonesia, Buku Gurindam Kalbu Asean 2022, Antologi puisi Madah Taruna Untuk Hatta 2023 Perpusnas Press. Beberapa puisinya dimuat pada Majalah Online maupun cetak. Untuk menghubungi beliau silakan kontak Hp: 081368124757 / WA: 085357353345. Akun Facebook: Jonson Effendi. Email: jonsoneffendiani1991@gmail.com.
Khatam Makna Ditempuh Jalan
Oleh Ragdi F. Daye
(buku kumpulan puisinya Esok yang Selalu Kemarin, 2019)
Ibu, air matamu laut paling jernih,
dadamu paling samudera,
akal budi paling filsafat,
jiwamu muara kasih sepanjang zaman
Secara etimologis istilah puisi berasal dari kata bahasa Yunani poites, yang berarti pembangun, pembentuk, pembuat. Dalam bahasa Latin dari kata poeta, yang artinya membangun, menyebabkan, menimbulkan, menyair. Dalam perkembangan selanjutnya, makna kata tersebut menyempit menjadi hasil seni sastra yang kata-katanya disusun menurut syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak dan kadang-kadang kata kiasan (Sitomorang, 1980:10).
Puisi merupakan salah satu karya sastra yang memiliki fungsi estetik paling baik dan dominan. Hal ini terbukti bahwa puisi memiliki arti dan makna yang begitu indah. Keindahan puisi dapat diperoleh dari aktivitas pemadatan yakni mengemukakan sesuatu secara garis besarnya saja, sehingga puisi yang memiliki esensi dan menjadi ekspresi esensi. Kemudian ekpresi yang disampaikan melalui kiasan merupakan ekspresi tidak langsung. Ketaklangsungan ekspresi dalam puisi disebabkan oleh penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti (Pradopo, 2009).
Pada edisi kali ini, Kreatika memuat tiga buah puisi karya Jonson Effendi, seorang penulis yang sudah sangat lama menggeluti dunia puisi. Ketiga puisi tersebut berjudul “Perjalanan Mencari Tuhan”, “Maknawi Kehidupan di Ujung Senja”, dan “Air Mata Laut”.
Puisi-puisi Jonson menunjukkan kematangan perjalanan hidup yang kaya dengan pengalaman, pengetahuan, kisah, dan makna yang membuat puisi-puisinya kuat dalam pemilihan bentuk ungkap sekaligus kandungan bobot isi. Tak sekadar rangkaian kata-kata indah yang spektakuler beratraksi, puisi-puisi Jonson menukik pada perenungan filsafat hidup.
Misalnya puisi pertama, “Perjalanan Mencari Tuhan” yang dengan padat menggambarkan perjalanan hamba mencari tuhannya. ‘Berjalan di tepian ngarai mencari seberkas sinar dari timur ke barat sampai matahari ditelan laut. badan lusuh kaki berjalan menuju pintu kubur keabadian hidup setelah kematian// Daku terus berjalan walau diterpa badai, basah kuyup bermandi hujan tiada takut tiada gentar tetap tegar bagai karang dihempas gelombang pasang’.
Bait ini akan memgingatkan pembaca pada kisah Nabi Ibrahim AS sewaktu mencari Tuhan dengan melihat ke matahari, seperti yang termaktub dalam ayat Al Quran berikut: “Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata, ‘Inilah Tuhanku, ini lebih besar.’ Tetapi ketika matahari terbenam, dia berkata, ‘Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.’” (Q.S. al-An’am [6]: 78).
Secara eksplisit, ayat di atas menunjukkan betapa sentralnya matahari sehingga Allah SWT menjadikannya sebagai “pelajaran” bagi Nabi Ibrahim AS atas prosesi pencarian kediriannya. Matahari ternyata tidak hanya mengilhami ilmu sains, namun juga ilmu agama. Posisi matahari telah menegaskan peran akal untuk mencerna dan mengolah informasi sedemikian rupa guna kepentingan ilmu pengetahuan di satu sisi dan keimanan (teologi) pada sisi yang lain.
Al-Ghazali menjelaskan hadirnya matahari telah mengilhami akal sehingga sumber cahaya, katanya adalah akal. Baginya, matahari hanya sebagai pemantik. Justru karena akal lah manusia dapat memproses energi yang ditimbulkan bulatan panas dan menghasilkan satu kemanfaatan bagi kehidupannya sehari-hari.
Penggalan puisi Jonson di atas juga mengisahkan proses hamba mendekatka diri kepada Sang Pencita dengan lakuan yang menunjukkan kerapuhan jiwa manusia ketika harus konsisten berjalan di jalan yang lurus. Usaha tersebut seperti melangkah di sisi ngarai yang penuh risiko tergelincir jatuh sebab manusia yang lemah dan gampang tergoda akan dengan mudah dibelokkan oleh iblis ke jalan kesesatan sehingga tidak bisa mencapai sisi di dekat Tuhan. Sebab tempat terbaik di sisi Tuhan hanya diberikan kepada orang yang bertakwa.
Pada dasarnya, menulis puisi adalah mengekspresikan sebentuk pengalaman dengan media kata-kata. Pengalaman yang diekspresikannya itu bisa berupa pengalaman hubungan manusia dengan Tuhan, dengan dirinya sendiri, dengan sesama, maupun dengan alam. Menulis puisi merupakan sebuah kegiatan ruhani, yang mengekspresikan hubungan manusia dengan segala hal, baik secara fisik maupun metafisik (Maulana, 2012).
Untuk dapat mengekspresikan pengalaman tersebut, lebih lanjut Maulana (2012) mengungkapkan bahwa penulis harus mampu mengkreasi bahasa ungkap melalui kosa kata yang dipilih dan dipahaminya secara sungguh-sungguh dengan bahasa yang dikuasainya pula. Selain itu, menulis puisi tidak bisa dengan menuliskan sesuatu yang tidak kita alami secara fisik maupun metafisik. Jika hal itu dipaksakan, maka hasilnya adalah sebuah puisi hampa makna dan bahkan hampa rasa karena tidak mengandung penghayatan atas obyek yang ditulis.
Puisi Jonson menunjukkan apa yang disyaratkan Maulana dalam menulis puisi, yakni mengkreasi bahasa ungkap melalui kosa kata yang dipilih dan dipahaminya secara sungguh-sungguh dengan bahasa yang dikuasainya pula, serta mengungkapkan pengalaman batin yang telah dihayati melalui lika-liku pengalaman hidup. Seperti puisi kedua ini: ‘Kutelusuri maknawi kehidupan lewat getaran cinta anugrah Ilahi, berapa lama kucari dalam samudra hati bersemayam di ranting kalbu. hidup mesti dijalani. cinta membara membakar jiwa, aku terbakar!’
Larik ‘cinta membara membakar jiwa, aku terbakar’ bisa saja membuat para penyuka kisah sufi teringat pada ngengat yang mengejar api lilin dengan sepenuh cinta sehingga tidak sadar ketika dirinya telah habis terbakar. Pada peristiwa tersebut lilin dan tubuh mewakili yang fana, sementara jiwa adalah sesuatu yang sejati sehingga tak masalah ketika tubuh fana habis dan sebaliknya lilin yang bukan api sejati tak pula akan menghabiskan jiwa yang telah menyatu dengan cinta kepada Sang Pemilik.
Puisi ketiga diawali dengan larik-larik yang terasa hangat dan personal yang kemudiannya berbelok menjadi kritik sosial terhadap fenomena mutakhir. Jonson menulis ‘Ibu, air matamu laut paling jernih, dadamu paling samudera, akal budi paling filsafat, jiwamu muara kasih sepanjang zaman. Ibu, izinkan kuteguk air matamu pelepas dahaga di musim panas, ingin kurebahkan kepala ini di dadamu obat pelepas rindu, izinkan kugapai langitmu madrasah pertama tempat menimba ilmu bergantung segala cita-cita, izinkan kudekap jiwa ragamu sebagai hamparan permadani tempahan diri’.
Ibu adalah cinta pertama setiap manusia. Ibu membuktikan bahwa pengorbanan tanpa pamrih itu ada, kasih sayang tulus itu nyata, dan kebahagiaan itu bisa diciptakan dengan perjuangan. Meski di dalam perjalanan hidupnya, seorang anak sering membuat ibunya meneteskan air mata, namun sebagai balasan, sang ibu tetap menengadahkan tangan untuk menyampaikan doa-doa terbaik bagi anak-anaknya. []
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post