Memilih Jalan Tuhan
Oleh: Muttaqin Kholis Ali
Sinar mentari menyapa penuh kehangatan. Orang-orang bersuka cita, menyambut hari dengan semangat empat lima. Adalah Parna, bocah berusia 10 tahun yang duduk di tepian sungai dekat tempat tinggal orang tua angkatnya. Wajahnya penuh lelah dikarenakan keadaan. Kadangkala ia ingin mengeluh. Betapa ia juga berharap memiliki kehidupan penuh kebahagiaan layaknya anak seusianya. Memiliki ibu dan ayah yang melimpahinya kasih sayang, rumah tempat ia bisa menjadi diri sendiri, menyantap makanan yang disajikan oleh sang ibu, dan masih banyak hal lainnya yang selalu ia harapkan terjadi dalam hidupnya.
Sayangnya hidup tak selalu berjalan sesuai harapan. Ibunya meninggal seusai ia dilahirkan, sedangkan sang ayah dipanggil Yang Maha Kuasa tepat ketika ia berusia tujuh tahun.
Hidup Parna bagaikan sedih tak berujung. Ditinggalkan seorang diri di dunia yang fana. Kalaulah ia memiliki saudara barang seorang pun, pasti ia masih bisa bertahan. Malangnya ia merupakan anak semata wayang kedua orang tuanya. Tidak ada saudara karena mereka tinggal jauh dari kampung halaman. Lantas yang bisa ia lakukan hanyalah menyuarakan kesedihan di pusaran kedua orang tuanya.
“Bawa Parna, Bu, Yah. Parna rindu. Nggak mau lagi ditinggal sendiri,” rintih bocah cilik itu. Tangisannya menganak sungai. Tubuhnya semakin kurus dari hari ke hari.
Banyak para tetangga yang bersimpati atas kehidupan bocah cilik bermata teduh itu. Mereka mengajak Parna untuk tinggal bersama. Namun, berat bagi Parna meninggalkan rumah beserta kenangan di dalamnya. Oleh sebab itu, para tetangga berinisiatif mengantarkan makanan dan kebutuhan lainnya.
“Malam ini tidur di rumah Bibi ya,” ujar salah seorang tetangga Parna.
“Nggak, Bibi. Parna di sini saja,” tolak bocah cilik itu pelan setiap kali tetangga mengajaknya untuk tinggal bersama mereka.
Waktu terus berlalu. Tubuh Parna semakin kurus tak terurus. Begitu juga dengan tempat tinggalnya. Setelah beberapa bulan menjadi yatim piatu, salah seorang saudara dari kampung halaman datang mengunjungi Parna.
“Nak, kamu masih kecil. Tak mungkin hidup sendiri di sini. Kamu ikut Uak ke kampung ya,” bujuk perempuan berusia akhir empat puluhan itu. Ia merupakan salah seorang saudara dari pihak ibu Parna.
“Nggak mau Uak,” balas Parna menolak.
“Nggak mungkin kamu hidup sendiri di sini. Memangnya kamu nggak mau sekolah? Kamu sudah bisa cari uang? Bisa membayar kontrakan rumahmu ini?”
Parna memandang perempuan di hadapannya dengan sorot mata tajam.
“Kalau kamu tinggal bersama Uak, kami akan menyekolahkanmu. Di rumah Uak juga ada kakak dan abangmu. Jadi, kamu nggak akan kesepian,” jelas perempuan itu.
“Aku nggak mau jauh dari Ibu dan Ayahku,” jawab bocah cilik itu tegas.
“Sesekali kita akan mengunjungi mereka. Ibu dan Ayahmu juga bakalan lebih senang kalau kamu tinggal dengan Uak. Hidupmu lebih terjamin dibanding tinggal sendirian di sini.”
Akhirnya Parna dibawa pergi ke kampung halaman. Ia menjadi anak angkat di keluarga tersebut. Namun, apa yang disebutkan sang Uak tidak sesuai dengan kenyataan. Di rumah itu, ia tidak dianggap layaknya seorang anak kecil, namun dijadikan pembantu. Ia harus melakukan berbagai pekerjaan rumah. Mulai dari mencuci piring dan pakaian, menyapu rumah hingga halaman, membuang sampah, menyiram bunga, memasak, dan berbagai hal lainnya. Lelah jiwa raga, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa selain melakukan apa yang disuruh sang keluarga angkat.
Tubuh Parna semakin kurus kering. Apalagi saban hari ia tidak mendapat asupan makanan yang bergizi. Seiring berjalannya waktu, ia tumbuh menjadi pribadi yang pemalu, tidak percaya diri, dan memiliki tubuh lemah sehingga mudah sakit.
“Dikit-dikit sakit! Dikit-dikit sakit!” teriak Uak. “Udah dikasih makan, disekolahkan, bisa tidur enak, eh malah sakit melulu!”
Parna dikucilkan oleh keluarga orang tua angkatnya karena tubuhnya yang sering sakit-sakitan. Tidak hanya mereka, masyarakat sekitar juga menganggapnya sebagai bocah sampah yang menyusahkan. Padahal selama ini, ia sudah melakukan banyak hal bagi keluarga tersebut. Tetapi, semua yang ia lakukan dianggap tak berarti. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk lepas dari keluarga yang membelenggunya itu.
***
Hidup di jalanan membuat Parna tumbuh menjadi pribadi keras dan tidak memiliki belas kasih kepada orang lain. Hingga akhirnya ia menjadi preman yang terkenal dengan kebengisannya. Tak ada yang berani berbuat macam-macam kepadanya. Sebab mereka tahu bahwa ia merupakan sosok yang kejam, tak kenal ampun. Parna yang baik dan polos berubah drastis karena keadaan yang menimpa dirinya. Ia merasa Tuhan tidak adil padanya karena sejak kecil memberi cobaan bertubi-tubi.
“Tuhan tak sayang padaku. Kalau Ia benar-benar sayang, tak mungkin ia pilih kasih seperti ini. Untuk apa berbuat baik kalau orang-orang membuatku tersiksa? Sama sekali tak memiliki hati nurani. Sekalian saja menjadi orang jahat. Toh Tuhan juga sudah menyiapkan Neraka untukku. Aku juga pasti bisa hidup tanpa bantuan siapapun di dunia ini!” gumam Parna dalam hati. Semua kenangan masa kecilnya terbayang dibenaknya. Sakitnya ditinggal pergi orang tua, disiksa keluarga angkat, dan dianggap sampah oleh masyarakat. Semua penderitan yang membuatnya bangkit hingga menjadi sosok seperti ini.
***
Tidak ada yang bisa menebak rencana Tuhan pada hambaNya. Di siang hari yang terik, tiba-tiba Parna mengalami kecelakaan. Tubuhnya terlempar hingga beberapa meter setelah ditabrak oleh sebuah mobil. Darah segar mengucur dari kepalanya. Tulang kakinya juga mengalami retak yang sakitnya luar biasa. Seketika dunianya terasa gelap. Orang-orang berteriak meminta bantuan. Namun suara itu semakin tak terdengar di telinga Parna. Sunyi, hening, gelap.
Ia mengalami mati suri.
Pada momen itu, ia mendengar dua malaikat yang tengah berdebat untuk memutuskan apakah ia harus dimasukkan ke Neraka atau Surga.
“Dia pantas masuk Neraka karena dosanya yang sudah menggunung,” tukas Malaikat Azab.
“Tidak! Sedari kecil ia sudah diuji dengan banyaknya penderitaan. Tuhan sangat sayang kepadanya,” tegas Malaikat Rahmat.
Setelah perdebatan sengit, kedua malaikat memutuskan untuk berdoa kepada Tuhan. Ternyata Tuhan memberikan jawaban bahwa Parna berhak mendapat kesempatan hidup yang kedua.
***
Saat Parna membuka kedua bola mata, ia menemukan dirinya berada di salah satu ruangan rumah sakit. Sepasang suami istri berusia enam puluh tahunan berada di sisinya. Mereka mengucap syukur karena pemuda yang terbaring lemah itu telah membuka mata. Sebab beberapa saat lalu, dokter mengatakan bahwa ia tak mungkin mampu bertahan atas semua luka yang didapatkan.
“Alhamdulillah ya Allah. Kami kira kami akan kehilanganmu. Maafkan saya karena telah membuatmu terluka,” ucap sang lelaki penuh uban itu penuh penyesalan.
“Kami siap menerima hukuman atas kesalahan yang kami perbuat, Nak,” jawab sosok perempuan berjilbab abu-abu di sampingnya.
“Tidak, Pak, Bu. Ini salah saya. Saya melamun saat berjalan. Pikiran saya melayang ke sana-kemari. Ibu dan Bapak sama sekali tidak bersalah,” jawab Parna pelan.
Perjalanan saat mati suri membuat Parna paham bahwa hidupnya kali ini tidak boleh disia-siakan begitu saja. Ia berjanji dalam hati bahwa hidupnya akan ia pergunakan dalam hal yang lebih bermanfa
“Parna, kelak kau akan menemukan banyaknya kesulitan dalam hidup ini. Namun, semua itu adalah ujian dari Tuhan. Jika kamu mampu melewatinya, maka semua itu akan dinilai sebagai pahala di sisi Tuhan. Kuat dan bersabarlah, Nak,” pesan Ibu dan Ayah Parna ketika mereka menyapa sang putra semata wayang di dalam mimpi. Membuat Parna menangis sesegukan dan teringat semua perbuatan yang ia lakukan selama ini.
“Aku akan berubah, Bu, Yah. Aku akan menjadi Parna yang membanggakan kalian,” janji pemuda itu dalam hati.
Tentang Penulis:
Penulis adalah seorang Guru, mengajar mata pelajaran Informatika di SMA Negeri 1 Tambangan, Sumatera Utara (WA : 082285178213)
Pentingnya Kerapian dalam Sebuah Tulisan
(Ulasan atas Cerpen “Memilih Jalan Tuhan” Karya Muttaqin Kholis Ali)
Oleh : Dara Layl
(Penulis dan Pengurus FLP Wilayah Sumatera Barat)
Sastra merupakan karangan baik berupa prosa ataupun puisi yang ditulis dengan keindahan pelajaran di dalamnya. Salah-satu karya sastra yang banyak memuat nilai-nilai kehidupan adalah cerpen (cerita pendek). Cerpen atau cerita pendek adalah sebuah kisah yang memberi kesan tunggal yang dominan tentang satu tokoh dan satu konflik di dalam sebuah cerita, serta dapat diselesaikan dengan sekali duduk pembacaan.
Pada edisi kali ini, Kreatika menampilkan sebuah cerpen yang syarat akan nilai-nilai kehidupan karya Muttaqin Khois Ali yang berjudul “Memilih Jalan Tuhan”. Cerpen yang disajikan dengan alur maju ini, mengisahkan seorang anak bernama Parna yang menghadapi kenyataan ditinggal oleh kedua orang tuanya pada usia sepuluh tahun. Akhirnya, Parna harus tinggal dengan keluarga Uaknya, namun ketika tinggal bersama keluarga Uaknya Parna diperlakukan dengan tidak baik, ia layak disebut sebagai pembantu ketimbang sebagai seorang keponakan.
Singkat cerita, setelah dewasa Parna meninggalkan keluarga Uaknya, karena kepedihan hidup yang dialami akahirya Parna memilih jalan yang salah dengan menjadi preman yang tidak kenal ampun. Pada suatu hari Parna mengalami kecelakaan, sehingga menempatkan dirinya berada pada keadaan antara hidup dan mati, di dalam komanya ia bertemu dengan ayah dan ibunya yang memintanya kembali ke jalan yang benar, ini menjadi titik balik bagi dirinya untuk berubah menjadi orang yang lebih baik.
Cerpen “Memilih Jalan Tuhan” seperti sebuah realitas anak manusia dalam menjalani kehidupannya yang mengalami pasang dan surut, suka dan duka, penyesalan dan kesempatan baru untuk bekal di babak kehidupan selanjutnya.
Muhardi dan Hasanuddin WS (1992: 20) menyatakan bahwa cerpen merupakan sebuah karya fiksi dan di dalam setiap penceritanya, karya fiksi dibangun oleh sebuah struktur dan unsur. Secara umum, fiksi mempunyai unsur yang membangun diri dalam fiksi itu sendiri (unsur insrinsik) dan unsur yang mempengaruhi penciptaan fiksi dari luar (unsur ekstrinsik).
Untuk instrinsik di dalam cerpen ini mulai dari pemilihan tema sampai kepada amanat sudah sangat baik, dengan menjadikan anak kecil sebagai tokoh utama dan pembuka cerita membuat cerpen ini jadi lebih menarik.
Selain itu, seperti sebuah karya sastra lainnya, cerpen juga kaya akan nilai-nilai. Di dalam KBBI (2008) Nilai adalah sifat-sifat atau hal-hal penting yang berguna bagi kemanusiaan atau sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya. Misalnya nilai budaya yang mempunyai konsep abstrak mengenai masalah dasar yang sangat penting dan bernilai di kehidupan manusia atau etnik nilai untuk manusia sebagai pribadi yang utuh, misalnya kejujuran, nilai yang berhubungan dengan akhlak, nilai yang beraitan dengan benar dan salah yang dianut oleh golongan dan masyarakat.
Salah-satu nilai yang menonjol yang ada di dalam cerpen “Menuju jalan Tuhan” adalah sikap empati yang dimiliki oleh masyarakat. Seperti terlihat pada kutian, “Banyak para tetangga yang bersimpati atas kehidupan bocah cilik bermata teduh itu, mereka mengajak Parna untuk tinggal bersama.” (Muttaqin, 2023) dari kutipan pengarang seolah ingin menyampaikan bahwa msih banyak orang yang memiliki nilai kemanusiaan dan rasa empati kepada orang lain.
Selain kental akan nilai-nilai, cerpen yang ditulis oleh Muttaqin Qois Ali juga memiliki alur yang tidak bisa ditebak, walaupun cerpen bersifat bacaan sekali duduk, tapi konflik dan penyajian certanya sangat kaya dan terdiri dari lapis-lapis permasalahan yang dibuat secara ringkas, namun tetap masuk ke dalam cerita, sehingga membuat kita sebagai pembaca tidak bosan dalam membacanya.
Membaca cerpen ini terasa ringan dan berat dalam waktu bersamaan, ringan karena aliran ceritanya dan bahasa yang mudah dipahami, namun juga berat karena konflik dan pesan-pesan yang disajikan, bisa dibilang cerpen ini cukup kompleks dan sangar rekomendasi untuk dibaca.
Sebuah karya sastra yang baik adalah sebuah karya sastra yang disajikan dengan baik, seperti tetap memperhatikan EYD dan tata tulis lainnya. Berbeda dengan karya sastra zaman sekarang yang semakin kurang memperhatikan kerapian tulisan, maka cerpen “Menuju Jalan Tuhan” ditulis dengan sangat rapi, sehingga membuat pembaca nyaman dalam membacanya dan memberikan ruang yang banyak untuk pembaca mengambil jeda dalam memahami isi cerita, salah-satu yang menjadi pertimbangan pembaca mau melanjutan bacannya juga terkantung pada kerapian dalam penulisannya. Karena kerapian dalam tulisan juga menunjukkan keseriusan penulis dalam menyajikan karyanya.
Secara keseluruhan cerpen ini sangat bagus, namun jika lebih dijelaskan lagi detail-detailnya akan jauh lebih bagus lagi, contohnya seperti kenapa ayah ibunya meninggal? Apa yang menyebakan Uaknya berprilaku demkian? Dan sebagainya.
Cerpen ini sangat layak untuk digarap menjadi sebuah novel dengan bab-bab kehidupan lainnya. Terima kasih sudah menulis cerpen ini, Muttaqin Qois Ali, ditunggu karya lainnya! (*)
Discussion about this post