Siapa yang tidak tahu dengan diksi bercanda yang dipopulerkan oleh Gege atau sapaan akrab Abigail Geuneve Arista Manurung, mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) angkatan 2023 yang viral di TikTok beberapa waktu lalu. Setelah diwawancara oleh senior satu almamaternya, Danang Giri Sadewa dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM yang merupakan kreator konten bidang pendidikan, gaya bicaranya yang khas saat menuturkan repetisi bercanda, ditiru oleh masyarakat. Berikut cuplikan percakapan mereka.
Danang : Berarti masuk UGM gampang apa susah?
Gege : Jujur gak tahu.
Teman Gege : Kita jalur hoki.
Gege : Jalur hoki, betul, karena emang pintar aja.
Teman Gege : Eh.
Gege : Bercanda, bercanda.
Diksi bercanda pada percakapan tersebut digunakan Gege sebagai ungkapan eufemisme yang dapat menyelamatkan mukanya dari tuturan sebelumnya yang terlalu berani menyebut dirinya sebagai seseorang yang pintar dan masuk ke UGM melalui jalur hoki. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hoki merupakan kata serapan dari bahasa Cina yang bermakna ‘peruntungan atau nasib’. Betapa nasibnya sangat baik masuk ke UGM ketika banyak orang berjuang sangat keras dan belajar mati-matian untuk menjadi mahasiswa UGM.
Menurut Keith Allan dan Kate Burridge dalam bukunya Euphemism and Dysphemism, Language Used as Shield and Weapon (1991), seseorang dapat memilih eufemisme sebagai alternatif terhadap ungkapan yang tidak berkenan atau digunakan untuk menghindarkan rasa malu atau kehilangan muka. Gege tidak ingin malu atau kehilangan muka setelah menyebut dirinya pintar dan hoki masuk UGM. Ia pun memilih diksi bercanda untuk membantah ungkapan sebelumnya.
Dalam tuturan ini, diksi hoki dan pintar sebenarnya strategi yang dipilih Gege untuk menunjukkan bahwa dirinya juga berjuang keras dan belajar mati-matian untuk masuk UGM. Pada tahun 2023 ini, Universitas Gadjah Mada (UGM) terpilih sebagai 50 perguruan tinggi terbaik dunia yang memberikan kontribusi dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs). Penilaian ini dilakukan oleh Times Higher Education (THE) sebagai salah satu lembaga pemeringkatan ternama di dunia yang mengukur kontribusi universitas-universitas berdasarkan 17 TPB yang ditentukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Indikator ini menjelaskan bahwa mahasiswa yang masuk ke UGM merupakan mahasiswa pilihan yang sudah melalui penyeleksian sangat ketat. Artinya, semua mahasiswa yang masuk ke UGM memiliki nasib baik karena terpilih di antara ribuan mahasiswa yang memiliki kemampuan sangat kompetitif serta cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual.
Diksi hoki, pintar, dan bercanda sebenarnya wujud kecerdasan Gege dalam memilih kata ketika menghadapi suasana wawancara dengan Danang Giri Sadewa yang memiliki akun TikTok yang bernama @thesadewa dengan 343.400 pengikut. Berhadapan dengan sosok yang kritis tentu mendesak Gege untuk kritis juga dalam bersikap. Jika jawabannya mencerminkan ketidakcerdasan, tentu nama baiknya dan UGM sebagai universitas terbaik akan cacat. Itulah mengapa dalam linguistik disampaikan bahwa bahasa merupakan cermin pikiran seseorang. Strategi bahasa yang dipilih seseorang tidak semata-mata hadir begitu saja, tetapi sudah melalui proses berpikir dan kemapanan bersikap.
Sekilas tampak bahwa bahasa yang dipilih Gege merupakan spontanitas. Warganet kemudian menganggap tidak cerdas dan tidak mencerminkan sosok mahasiswa UGM yang serius, pintar, dan berwibawa. Gege yang memiliki gaya bahasa yang santai, tidak serius, dan tidak berwibawa dinilai merusak citra mahasiswa UGM. Padahal, reaksi warganet tersebut merupakan pemikiran yang bersifat konvensional yang menilai seseorang yang pintar harus selalu berbicara formal, sopan, dan berwibawa.
Kita bisa melihat bagaimana dunia berubah saat ini. Dunia digital sudah mematahkan banyak kemapanan, seperti bekerja tidak harus di kantor, tetapi dari rumah juga bisa bekerja (work from home). Belanja juga tidak harus kontak fisik dengan para pedagang di warung atau di toko, tetapi bisa secara daring (pasar digital). Gaya berpakaian Mark Zuckerberg misalnya, sudah menjadi indikator bahwa pebisnis sukses tidak selalu memakai jas dan pantofel.
Gaya bahasa Gege di media sosial TikTok sebenarnya merupakan bagian dari perubahan dunia tersebut. Sebagai generasi Z, generasi kelahiran pada 1997—2012, gaya bertutur Gege diterima dengan baik di kalangannya. Generasi Z cenderung menilai seseorang dari apa yang dipikirkan, bukan dari apa yang ditampilkan sebagaimana peribahasa “Dont Judge a Book by its Cover” atau jangan menilai seseorang dari penampilan saja. Namun, gaya bertutur tersebut menjadi kritikan ketika yang menyaksikan adalah generasi Y yang lahir pada 1977—1994 dan sangat aktif di Instagram, serta generasi X yang lahir pada 1965—1976 dan sangat aktif di Facebook. Tuturan bercanda yang dipopulerkan Gege memang menjadi kritik sosial ketika diunggah di media sosial Instagram. Banyak penolakan terhadap pilihan kata, gaya berbicara, dan karakter Gege sebagai mahasiswa UGM.
Namun, diksi bercanda Gege tersebut sebenarnya strategi bahasa yang sangat baik dalam bermedia sosial saat ini karena mampu menolak kehadiran bahasa yang pada akhir-akhir ini mencerminkan ketidaksantunan dalam berbahasa. Meskipun Gege menuturkan bercanda dengan tuturan manja, pilihan kata ini sudah menyelamatkan generasi muda dari beberapa diksi yang beberapa waktu lalu juga viral di media sosial, seperti cuaks, anjir, anjay, dan anying.
Cuaks merupakan istilah yang sempat dipakai untuk mengungkapkan kekecewaan, kesialan, atau peristiwa tidak menyenangkan yang terjadi dalam hidup. Jika dilihat dalam KBBI, kata cuaks tidak ada, tetapi kata yang berterima adalah cuak yang dipakai dengan makna ‘binatang (seperti kerbau, gajah) yang digunakan untuk memikat’. Kata cuaks ini merupakan hasil kreativitas berbahasa masyarakat untuk menggantikan kekecewaan dengan kata-kata sarkasme yang juga sempat populer, yaitu anjir, anjay, dan anying.
Cuaks dapat dinilai sebagai eufemisme terhadap ketiga diksi yang tidak mencerminkan ketidaksantunan dalam berbahasa tersebut. Kata yang sempat viral beberapa waktu ini pernah dipakai sebagai kritik sosial terhadap sikap para pejabat, pemerintah, selebritis, dan masyarakat yang tidak mencerminkan nilai-nilai baik dalam kehidupan. Kita bisa melihatnya dalam konteks berikut.
(1) “Ngakunya anak pejabat, tapi gak bisa menghargai aparat. Cuaks.”
Kini kata cuaks sudah mulai berkurang penggunaannya dan sepertinya akan digantikan dengan kata bercanda. Pada awalnya, kata bercanda diserap oleh masyarakat secara denotatif sebagai ‘berkelakar; bersenda gurau; berseloroh’ yang dipakai sebagai strategi untuk mengungkapkan kekecewaan yang dirasakan.
(2) Respons setelah kelepasan bilang, “Noted, Pak, saya kerjakan”.
(3) Teman pinjem uang, kita bilang, “Duh gak ada”.
(4) Besok diet ah.
(5) Respons ketika gemini bilang, “Kamu satu-satunya milikku”.
Kalimat (2), (3), (4), dan (5) tersebut digunakan oleh warganet di Instagram dan diikuti oleh rekaman suara Gege yang menggunakan repetisi bercanda. Setiap kalimat yang dipakai menunjukkan bahwa mereka tidak serius atau hanya berkelakar mengungkapkan kalimat tersebut. Namun, menjelang pemilihan presiden ini, kata bercanda amat menarik untuk diperhatikan pada stand up comedy yang menggunakan kata bercanda sebagai kritik sosial. Kita bisa melihatnya dalam konteks berikut yang diunggah oleh kreator konten Rio Chan dan Eky Priyagung di Tiktoknya pada 5 September 2023 ketika berhadapan dengan bakal calon presiden, Anies Baswedan.
Eky : Halo, Pak Anies.
Rio : Halo, Pak.
Eky : Saya tuh bangga banget sama kinerja Bapak selama jadi gubernur di Jakarta karena wah masalah-masalah di Jakarta banyak teratasi. Sumur resapan, trus habis itu reklamasi di-stop.
Rio : Kita bakal dukung banget sih, Bapak jadi RI satu, Pak.
Eky : Iya, tapi, Pak …
Rio dan Eky : Bercanda, bercanda.
Kata bercanda yang disampaikan Rio Chan dan Eky Priyagung di hadapan Anies Baswedan tidak sekadar kata yang bermakna denotatif sebagai kata bercanda atau berseloroh semata. Ada kritik yang tersirat dalam kata tersebut, misalnya tentang sumur resapan. Mereka bisa saja benar-benar mengapresiasi konsep sumur resapan yang dibangun semasa Anies Baswedan menjabat gubernur. Namun, bisa jadi ini hanya kritik terhadap program sumur resapan yang dinilai tidak efektif mengendalikan banjir di ibu kota, bahkan sempat membahayakan pengguna jalan.
Mereka juga bisa saja benar-benar mendukung reklamasi yang dibatalkan Anies Baswedan semasa menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Reklamasi adalah pekerjaan timbunan di perairan atau pesisir yang mengubah garis pantai dan atau kontur kedalaman perairan. Reklamasi akan mengubah wilayah tangkapan nelayan sehingga akan berdampak pada ekonomi masyarakat. Namun, dibalik itu, mereka bisa jadi mengkritik secara halus (eufemisme kritik) program reklamasi ini karena Anies menerbitkan izin reklamasi untuk perluasan kawasan Taman Impian Jaya Ancol di Jakarta Utara kepada PT Pembangunan Jaya Ancol. Anies Baswedan dinilai tidak konsisten dalam mengeluarkan pernyataan dan janjinya kepada rakyat.
Kalimat mereka yang menyatakan “Kita bakal dukung banget sih, Bapak jadi RI satu, Pak.” yang kemudian diikuti oleh kata bercanda merupakan sebuah kritik yang disampaikan secara halus kepada Anies Baswedan mengenai kinerjanya selama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Namun, satu hal yang patut dicermati adalah masyarakat tidak benar-benar diminta tertawa setelah menyaksikan unggahan ini dan setelah mendengarkan kata bercanda dari para kreator konten ini. Masyarakat sejujurnya diminta secara serius memikirkan kinerja tiap-tiap bakal calon presiden. Tidak hanya Anies Baswedan, tetapi juga Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo. Dengan demikian, penggunaan kata bercanda sebagai sebuah eufemisme kritik akan memaksa masyarakat untuk berpikir secara kritis. Setiap kalimat tersebut sebenarnya bukan sekadar bercanda.
Discussion about this post