Rumah Kayu Seberang Sungai
Masih kuingat dengan jelas, wajah-wajah lugu tanpa dosa
Aku, kakak dan abang
Aku suka mengikuti ibu memetik cabai
Langkah-langkah kecilku kerapkali tertinggal darinya
Masih kuingat dengan jelas, ayah membajak sawah dengan kerbau
Butiran peluh membanjiri wajahnya yang mulai keriput
Bermandi keringat dalam mencari sesuap nasi
Masih kuingat dengan jelas, abangku yang menombak ikan dengan gagah
Menyeringai walaupun giginya tidak rata
Wajahnya dipenuhi rona bahagia
Masih kuingat, kakak yang diantar ayah ke sekolah
Aku yang melambaikan tangan duduk di tepi sungai, menunggu ayah pulang
Masih kuingat dengan jelas, saat pertama kali aku diajak ke pasar oleh ibu
Aku merengek minta dibelikan balon, sampai tidak mau pergi sebelum mendapatkannya
Masih kuingat dengan jelas, nasi dan kerak yang kerapkali kita makan dengan sayur bunga pepaya
Terasa nikmat ketika aku, kakak dan abang berebutan
Masih kuingat dengan jelas, hidung kami hitam di pagi hari karena lampu berbahan minyak tanah
Kebulan asapnya tidak terhingga namun cukup untuk menerangi kami satu keluarga
Belum ada listrik, dan setiap malam ayah akan bercerita sebelum kami tidur
Membuat berbagai bentuk bayangan dengan bias cahaya di dinding
Masih kuingat dengan jelas, aku dan kakak yang suka menangkap capung
Bermain panas-panasan sampai kulit kami gosong, setelahnya akan terlihat gigi-gigi putih kami saja
Masih kuingat dengan jelas, jika dulu disana rumah kami kayu di seberang sungai
Menyimpan banyak kenangan yang kini bertengger di ruang nostalgiaku setiap malam
Mengingatkan masa-masa kecil yang begitu menyenangkan
Memberikan arti yang begitu mendalam, mendera di dalam kalbu
Kini, hanya tinggal bayangan yang masih kuingat dengan jelas
Setiap detiknya kenangan bersama keluarga selalu kurindukan
Padang Ganting, 21 November 2020
Menunggu
Duduk, merenungi apa-apa yang telah terjadi
Berjalan, arah jalan pasti siap dipijaki
Berlari, batu-batu kerikil itu memberi kejutan
Satu takdir menuju takdir lain
Kemana harus pergi?
Menunggu hari, bulan, dan tahun berikutnya
Menunggu, lalu duduk
Berjalan, dan berlari lagi
Hanya lingkaran tak bertepi
Padang Ganting, 28 Desember 2022
Karam
Dulu aku pikir akan berjalan sesuai lamunan,
Nyatanya kehampaan, kekalahan, dan kekecewaan datang beriringan
Pundak yang kuharapkan telah menepi barangkali risih
Tidak ada yang mau menampung perempuan yang pikirannya berkecamuk
Memangnya siapa aku? Hanya siluet yang mampir dalam kepalanya kemudian lenyap
Jangan khawatir, aku piawai memayungi luka
Bahkan teriakanku tidak lagi bersuara
Aku karam
Aku telah menyelami pikiran kelam, sedang aku tak bisa berenang
Tak lama lagi, lubang hitam itu memberikanku kain kafan
Padang, 21 Mei 2023
Biodata Penulis:
Reni Putri Yanti lahir pada 06 Juni 2000. Penulis berasal dari Kecamatan Padang Ganting, Kabupaten Tanah Datar. Penulis menyukai banyak hal, tetapi yang paling disukainya aroma hujan dan buku. Beberapa puisinya telah dimuat dalam antologi bersama, diantaranya yaitu “Bukan Sekadar Merdeka” dan “Jejak Merah Putihku.” Serta berkontribusi dalam beberapa media online dan cetak lainnya. Untuk mengenalnya lebih lanjut bisa kunjungi account ig: ey.rein dan email: reniputriyanti125@gmail.com
Discussion about this post