Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Terkadang membanding-bandingkan harga barang yang sudah dibeli memang menjengkelkan. Tidak jarang berujung pertikaian hingga saling menolak untuk bertegur sapa. Mungkin saja harga yang dibandingkan itu selisih dari ratusan hingga puluhan ribu saja.
Persoalan ini bisa saja terjadi terhadap semua kalangan mulai dari segi usia, gender, hingga profesi. Penyampaiannya pun beraneka macam pula, entah itu berupa candaan atau benar-benar serius (terkadang mengarah ke hinaan). Namun, semua cara itu tetap menjengkelkan dan awal pertikaian.
Begitupun dengan jenis barang yang menjadi pembahasan, misalnya harga smartwatch. Bermacam cara pula untuk membelinya, baik itu belanja online atau langsung di toko. Hanya saja harga yang ditawarkan berbeda-beda. Bisa saja harga di market place lebih murah dibanding di gerai smartwatch, atau sebaliknya.
Pada suatu kesempatan, saya terlibat pula dalam persoalan ini. Masalahnya adalah selisih ratusan ribu harga smartwatch yang dibeli dari market place dan gerai. Perdebatan ini pun cukup menegangkan urat saraf dan memanaskah suasana.
Awalnya seorang rekan baru saja membeli smartwatch melalui market place. Dengan senangnya ia bercerita mendapat harga yang murah dibandingkan stok yang tersedia di gerai. Saya dapat melihat dengan jelas ekspresi kegembiaraannya, seakan cerdas dan menang dalam berbelanja.
Usilnya, seorang teman lainnya juga baru membeli smartwatch dengan merek dan seri yang sama. Sayangnya, harga yang dibeli teman ini jauh lebih mahal dibanding yang dibeli rekan satunya melalui market place. Ujungnya, muncul perdebatan sengit tentang persoalan harga.
Si teman yang belanja di market place ini selalu membuat “candaan” tentang selisih harga tersebut. “dua ratus ribu itu sungguh selisih yang banyak” ujarnya sambil cengengesan. Jahilnya, ia cengengesan sambil menyenggol bahu rekan yang belanja di gerai. Saya menjadi khawatir, takut saja akan muncul pertikaian yang serius.
Awalnya tampak seperti perang dingin dengan saling sindir. Lama-kelamaan sindiran itu sudah semacam roasting seperti acara stand up comedy. Mereka perang selisih harga, kita yang mendengarkan bingung antara hendak ketawa atau marah.
Mau ketawa takut mereka tersinggung, tapi yang mereka ucapkan itu sunggu menggelikan. Jika hendak marah takut memunculkan pertikaian selanjutnya, tapi terkadang beberapa ucapan mereka juga bikin risih yang mendengarkan.
Namun begitu, ada satu hal yang membuat saya takjub dari pertikaian itu. Hal yang awalnya saya takutkan yaitu pertikaian serius sampai adu jotos tidak sampai kejadian. Walaupun saling serang sindiran, tetap persahabatan yang utama. “Kita boleh bersitegang dalam berdebat, tapi setelah itu tetap sahabat” begitu semboyannya.
Discussion about this post