Puisi-puisi Bambang Kariyawan Ys
Mie Tanjung Pinang
Kita akan selalu menelusuri jalan ini
Bintan …
Nama yang selalu disebut-sebut beraroma sejarah
Tentang kemaharajaan
Tentang gunung
Tentang laut yang eksotik
Di jalan ini
Kita akan selalu memilih tempat di meja bundar
Tersaji sepiring kerupuk berasa ikan
dari lautan tempat tinggal kita
Sepiringnya kita menanti
Kisah-kisah bersahaja tentang kita.
Jalan Bintan-Tanjung Pinang, 2022
Roti Canai
Kisah kita tercampur bersama pagi
Dalam adonan lembut berbaur rasa
Terpanggang di atas pembakaran bersahaja
Dibolak-balik menjaga aroma
Berkuah semangkuk rempah
Tersaji ditemani riak kecil tepi dermaga
Menanti kekasih yang selalu singgah
Bercerita cinta ditemani sepiring roti canai
Kita pun tak pernah lupa untuk setia.
Bengkalis, 27/7/2022
Teh Tarik
Di pelantar ini pernah ada kisah gemilang tentang kita
Selalu kita luangkan sepenggal waktu untuk berbincang
Meluruhkan dua rindu kala berpisah
Kita bincang hal sederhana
Ditemani pesanan minuman yang sama
Teh tarik dengan wadahnya bermotif bunga berdaun biru
Dengan rasa yang tidak hambar
Juga tidak kental
Kita takar dengan ukuran yang sama
Seperti setakar yang sama tentang hati kita
Kita tak pernah niat berdusta.
Bengkalis, 27/7/2022
Bambang Kariyawan Ys., kelahiran Tanjung Uban – Kepulauan Riau. Saat ini bermastautin di Pekanbaru. Aktif dalam organisasi kepenulisan BPP Forum Lingkar Pena. Penerima penghargaan Acarya Sastra dari Kemdikbud Tahun 2019. Karya terbaru “Serimbun Puisi Hijau: Membaca Laut Pada Kampung yang Hilang”. Dapat dihubungi di IG/FB/YouTube: Bambang Kariyawan.
Melankolia di Setakar Rasa
Oleh: Ragdi F. Daye
(Buku kumpulan puisinya Esok yang Selalu Kemarin, 2019)
Seperti setakar yang sama tentang hati kita
Kita tak pernah niat berdusta.
Puisi menurut Mahayana (2015: 14) bukan sekadar ekspresi perasaan dari suara hati yang terdalam, melainkan pergulatan estetis dan tarik menarik perasaan yang melimpah. Gejolak perasaan tersebut harus dikendalikan dan diintegrasikan pada pemikiran intelektual yang berkualitas. Memaknai pendapat tersebut, puisi tidak hanya memaparkan untaian kata-kata yang tersusun berirama, tetapi memperhitungkan kualitas isi sebagai ekspresi kemampuan intelektual.
Pada edisi kali ini, Kreatika memuat tiga buah puisi karya Bambang Kariyawan Ys, seorang guru sekolah menengah yang berkiprah di Pekanbaru, Riau. Ketiga puisi pak guru ini berjudul “Mie Tanjung Pinang”, “Roti Canai”, dan “Teh Tarik.” Semuanya beraroma makanan. Makanan yang khas.
Puisi pertama begitu menggoda selera dengan imaji mie Tanjung Pinang yang sering disebut mie lendir. Makanan ini berupa mie kuning yang direbus bersama tauge, ditambah sebutir telur yang diiris-iris, lalu disiram dengan kuah kacang yang kental, serta ditaburi bawang goreng dan irisan cabai. Kuahnya berasa manis dan sedikit pedas, terasa pula beberapa bumbu yang dimasukkan ke dalamnya. Sungguh menggugah selera. Begitu pula puisi ini. Menerbitkan kenangan bagi yang pernah menghirup udara pulau ini. Buminya yang berbau laut dan sangat kental nuansa multikulturalnya.
Makanan dan kenangan adalah menu utama dari perjalanan. Banyak orang yang rela menghabiskan uang dan waktu untuk melakukan perjalanan demi mencicipi cita rasa makanan di berbagai tempat sembari menelisik sejarah masa lalu di tempat itu. Tanpa makanan lezat dan kisah hebat sejarah yang mengesankan, sebuah tempat menjadi biasa seperti sayur hambar di rumah sakit. Di dalam puisi ini, sejarah muncul dalam bentuk Bintan yang merujuk ke sebuah pulau: ‘Bintan … / Nama yang selalu disebut-sebut beraroma sejarah/ Tentang kemaharajaan/ Tentang gunung/ Tentang laut yang eksotik.’ Tidak hanya memiliki geografis yang indah, Bintan juga terkenal dengan keragaman etnis dan budayanya, ada Melayu, Cina, Bugis, dan orang laut. Mie yang disebut dalam puisi ini dapat ditebak merupakan racikannya orang Cina yang jago masak aneka olahan mie.
Karya sastra dapat menggugah hati pembaca karena pembaca merasa begitu dekat dengan karya sastra tersebut seolah merefleksikan kehidupannya. Hal ini tidaklah mengherankan karena karya sastra merupakan suatu representasi dari kehidupan manusia. Membaca karya sastra dapat menggerakkan hati pembaca atau mencerahkan pikiran pembaca. Karya sastra dihadirkan dalam ragam bahasa teks yang ditulis oleh pengarang dengan begitu hikmat sehingga tersajilah representasi suatu permasalahan pada masyarakat walau ada batas tertentu. Pembatasan hubungan sastra dan masyarakat biasanya bertolak dari frasa De Bonald bahwa “sastra adalah ungkapan perantara masyarakat” (literature is an expression of society). Karya sastra khususnya puisi tidak hanya sebagai ungkapan rasa penyair, namun dapat menjadi refleksi pikiran masyarakat (Sabrini, 2018).
Puisi kedua, “Roti Canai” dari judulnya saja sudah membuat air liur menitik, tentu bagi penggemar masakan orang keling atau masyarakat etnis India yang juga pemain penting dalam perkulineran Indonesia. Masakan yang diolah dengan bahan tepung gandum yang dimasak di atas wajan datar hingga berbentuk roti pipih yang putih kecokelatan. Makanan ini tersebar di Asia Selatan hingga Timur Tengah dengan berbagai variasi. Seperti puisi pertama, sebenarnya penyair Bambang tidak sekadar membagi kesan tentang makanan. Namun, beserta makanan ikonik tersebut, ada fenomena kehidupan manusia yan turut disuguhkan: ‘Dalam adonan lembut berbaur rasa/ Terpanggang di atas pembakaran bersahaja/ Dibolak-balik menjaga aroma/ Berkuah semangkuk rempah/ Tersaji ditemani riak kecil tepi dermaga/ Menanti kekasih yang selalu singgah/ Bercerita cinta ditemani sepiring roti canai/ Kita pun tak pernah lupa untuk setia.’ Bagaimana pun juga, perjalanan rentan dengan godaan yang mengaburkan tujuan sehingga orang lupa diri dan tersesat. Namun persona ‘kita’ dalam puisi ini beryakin diri untuk ‘setia’.
Esten (1989) menyatakan bahwa karya sastra mengungkapkan masalah-masalah manusia dan kemanusiaan. Ia melukiskan tentang penderitaan manusia, perjuangan, kasih sayang dan kebencian, nafsu, dan segala yang dialami manusia. Dengan sebuah cipta sastra pengarang ingin menampilkan nilai-nilai yang lebih tinggi dan agung, ingin menafsirkan tentang hidup dan hakikat hidup.
Godaan yang muncul samar-samar pada puisi kedua, muncul lebih terang pada puisi terakhir, “Teh Tarik”, seperti ini ‘Di pelantar ini pernah ada kisah gemilang tentang kita/ Selalu kita luangkan sepenggal waktu untuk berbincang/ Meluruhkan dua rindu kala berpisah/ Kita bincang hal sederhana/ Ditemani pesanan minuman yang sama/ Teh tarik dengan wadahnya bermotif bunga berdaun biru/ Dengan rasa yang tidak hambar/ Juga tidak kental….’ Perjalanan dapat membuat rasa lama bersemi kembali. Parade visual yang dilihat dengan sudut pandang baru dapat membangkitkan pemaknaan baru atas cerita lama atau pengalaman tertentu di masa lalu. Semuanya dapat menyerang sisi sentimental diri, membuat diri terseret dalam pusaran ekspektasi saru, meski ‘Kita tak pernah niat berdusta.’
Apakah perjalanan selalu berisi hal-hal sentimental begitu? Tentu saja tidak. Perjalanan akan membuka cakrawala, memperluas pengetahuan, memperkaya pengalaman, dan mengasah kepekaan rasa. Orang-orang yang matang dalam perjalanan biasanya lebih kuat empati dan penghargaannya terhadap sesama manusia ataupun sesama makhluk Tuhan, dan lebih bijak dalam memaknai anugerah kehidupan. Perjalanan dapat membuat kita menjadi pribadi yang lebih tangkas, dan bernas.[]
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post