Oleh: Ronidin
(Dosen Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Satu:
Yogyakarta tanpa Malioboro tak terbayangkan seperti apa. Tak ada gebyar-gebyar. Yogyakarta tanpa Malioboro seperti Jakarta tanpa Monas. Tidak ada ikon. Tidak ada pusat keramaian. Yogyakarta tanpa Malioboro seperti Indonesia tanpa Bali. Tidak ada pusat kunjungan. Tidak ada yang dapat dikenali masyarakat luar Yogyakarta yang khas. Yogyakarta tanpa Malioboro seperti Palembang tanpa jembatan Ampera. Yogyakarta tanpa Malioboro seperti Kota Padang yang kesepian sejak beralih fungsinya terminal Lintas Andalas menjadi mal. Bila di Yogyakarta tak ada Malioboro, tak akan ada seniman yang mengekspresikan kemampuan seni mereka di sepanjang pedestrian itu. Yogyakarta tanpa Malioboro entah ke mana akan mencari warung lesehan menu khas Yogyakarta ketika malam datang. Yogyakarta tanpa Malioboro entah di mana rimbanya para pedagang kaki lima menjajakan kerajinan khas Yogyakarta. Yogyakarta tanpa Malioboro tak terbayangkan seperti apa.
Begitulah, Malioboro adalah pusat daya tarik Yogyakarta. Malioboro adalah jantung Yogyakarta dengan segala daya pikat magisnya. Di sanalah urat nadi kota ini berdenyut. Siapa pun yang ke Yogyakarta, pasti akan ke Malioboro. Sekedar untuk berfoto-foto atau membeli satu dua cenderamata. Belum ke Yogya namanya bila belum ke Malioboro. Di sepanjang kawasan ini, roda ekonomi berputar dengan kencang. Di sini segala yang menyenangkan ada tersedia, ada hiburan yang memuaskan hati, ada kuliner yang memanjakan perut, ada cenderamata yang memanjakan sanak keluarga yang menunggu di rumah, dan ada orang-orang kecil dari berbagai pelosok Yogyakarta mengais receh demi receh di Pasar Bringharjo. Ingat juga bahwa di sini kejahatan juga menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika Malioboro. Hati-hati dengan penipuan, kejahatan jalanan, pengamen yang main paksa, pedagang-pedagang nakal yang melambung harga semaunya melihat konsumennya clengak-clinguk tak paham medan, dan sebagainya.
Di sepanjang kawasan ini berdiri bangunan-bangunan yang historikal. Pada zaman perang kemerdekaan, di kawasan inilah tentara Belanda bersenang-senang sepanjang malam. Ada benteng nyaman yang mereka gunakan di seberang Gedung Agung (Istana Yogyakarta) yang pada awalnya dibangun di zaman Kesultanan Yogyakarta. Dengan dalih ingin menjaga keamanan keraton Kesultanan Yogyakarta, Belanda waktu itu meminta izin Sultan Hamengkubuwono I untuk membangun sebuah benteng di sekitar keraton. Maka kemudian berdirilah benteng Rustenburg, lalu menjadi Vredeburg hingga sekarang. Vrendenburg berarti benteng perdamaian. Benteng ini menjadi saksi sejarah gencarnya serangan umum 1 Maret 1949 yang dilakukan oleh pejuang Indonesia untuk merebut Yogyakarta dari tentara Belanda sehingga kemudian di sini dibangun monumen Serangan Umum 1 Maret 1949. Letak monumen ini persis di depan kantor Pos Besar Yogyakarta di kawasan titik nol kilometer, Yogyakarta.

Tanpa Malioboro, Yogyakarta akan kehilangan magisnya. Karena itulah kawasan ini menjadi prioritas pembenahan Pemkot Yogyakarta dan Pemda DIY. Jika saat ini kita ke sana, kawasan ini sudah disterilisasi dari pedagang kaki lima yang selama bertahun-tahun menguasai emperan Malioboro. Malioboro sekarang berbeda dengan Malioboro beberapa tahun yang lalu. Para pedagang kaki lima Malioboro kini dipindahkan ke Teras Malioboro 1 dan Teras Malioboro 2. Lokasi ini masih dalam lingkup kawasan Maliboro juga. Trotoar Jalan Malioboro yang dulunya sempit oleh pedagang dan pembeli yang berbaur menjadi satu, kini kita dapat berilaksasi di sana dengan nyaman. Ada bangku-bangku untuk kita duduk jika sudah penat berdiri atau berjalan. Ada banyak hal yang bisa kita nikmati di sepanjang kawasan itu. Jika ke sini, siapkan Rupiah secukupnya bila tidak ingin gigit jari.
Dua:
Yogyakarta tanpa UGM tak terbayangkan seperti apa. Jika di Yogyakarta tidak ada UGM tidak akan ada ribuan mahasiswa dari berbagai penjuru tanah air datang ke kota ini. Jika di Yogyakarta tidak ada UGM, tidak akan ada pula ribuan penyedia tempat kos, penyedia jasa foto copi, penyedia jasa perbukuan, perpustakaan, warung makan, dan sebagainya. Jika di Yogyakarta tidak ada UGM, kota ini mungkin saja tidak akan dijuluki sebagai kota pelajar. Jika di Yogyakarta tidak ada UGM, mungkin saja di kota lain yang dekat dengan Yogyakarta akan berdiri universitas setara UGM. Jika di Yogyakarta tidak ada UGM, bisa jadi peta sejarah bangsa ini akan berubah. Jika di Yogyakarta tidak ada UGM, bisa jadi roda ekonomi di sana tidak akan berputar sebagaimana yang ada sekarang.
Begitulah, UGM menjadi ikon Yogyakarta di bidang pendidikan. UGM kampus terbesar dan terfavorit di Indonesia. UGM menaungi 270 Program Studi dari 18 Fakultas, 1 Sekolah Pascasarjana, dan 1 Sekolah Vokasi. UGM didirikan pada periode awal kemerdekaan. UGM merupakan Balai Nasional Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan bagi pelaksanaan pendidikan tinggi nasional. Nama Gadjah Mada diambil dengan semangat serta teladan Mahapatih Gadjah Mada yang berhasil mempersatukan Nusantara di bawah panji-panji Majapahit. UGM diharapkan menjadi universitas yang mampu mempersatukan pelajar Indonesia sesuai semangat pencetus sumpah palapa tersebut. Tidak salah hal itu. Dari berbagai penjuru Nusantara, anak-anak muda terbaiknya datang ke UGM untuk menuntut ilmu. Jadilah Yogyakarta kota pelajar terpopuler di Indonesia. Banyak anak-anak muda di daerah memiliki mimpi untuk bisa ke Yogyakarta. Bisa masuk UGM.

Tiga:
Bila di Yogyakarta tidak ada Malioboro dan tidak ada UGM, bisa jadi Yogyakarta akan seperti kota lain di sekitarnya. Kota-kota lain itu berkembang, tetapi tidak memiliki ikon yang mengglobal seperti Yogyakarta. Solo misalnya, adalah kota yang berkembang, tetapi bila disuruh memilih antara Yogyakarta dan Solo, maka orang akan menjatuhkan pilihannya ke Yogyakarta. Jika musim liburan tiba, anak-anak sekolah dalam impian mereka ingin berlibur ke Yogyakarta. Mereka ingin sekali ke Malioboro. Bila anak-anak kelas tiga di sekolah lanjutan atas diberikan pilihan untuk melanjutkan studi, banyak di antaranya yang menjatuhkan pilihannya pada UGM. Begitu magisnya Yogyakarta. Bila bicara magis Yogyakarta, ada magis lain yang juga menyihir orang-orang untuk datang ke Yogyakarta. Apa itu? Magis biaya hidup di Yogyakarta murah. Benarkah murah? Dulu mungkin bisa dijawab ya, tetapi sekarang tidak lagi. Yogyakarta sudah bertransformasi dibandingkan sepuluh lima belas tahun yang lalu.
Inti dari tulisan ini adalah perlunya membangun ikon. Saya ingat dengan sebuah tulisan seorang wartawan senior di Padang bahwa sebuah kota perlu membangun ikon agar orang mau datang ke sana. Padang tidak punya ikon sehingga tidakbanyak orang ke Padang. Bukittinggi punya Jam Gadang, sehingga ramai orang ke sana walaupun sudah berkali-kali. Pada ikon-ikon itu ada daya tarik magis. Mengapa orang bela-belain mau datang ke Monas bermacet-macet atau ke Puncak Bogor di akhir pekan juga bermacet-macet, padahal yang dilihat itu ke itu saja, tiada lain adalah karena daya tarik magis dari sebuah ikon tersebut. Monas menjadi ikon di Jakarta. Puncak menjadi ikon di Bogor. Malioboro menjadi ikon di Yogyakarta, begitu pun UGM. Berpuluh-puluh bus menyesaki kawasan Malioboro membawa ratusan orang hanya untuk berfoto-foto, membeli gantungan kunci atau kaos dagadu, mencicipi cemilan pinggir jalan, atau yang berduit membeli sehelai dua helai batik, atau makan di restoran di sepanjang kawasan tersebut. Beribu-ribu calon mahasiswa melamar ke UGM, walaupun yang diterima tidak lebih dari seperempatnya karena daya tariknya sebagai universitas yang melegenda, berkualitas, dan telah menjadi ikon.
Bila di Yogyakarta tidak ada Malioboro dan UGM, semuanya akan berekuivalen dengan sektor-sektor lain, dengan usaha-usaha lain. Tidak ada Malioboro, keraton Yogyakarta kehilangan daya tarik. Sebagai sumbu Yogyakarta, keduanya saling menguatkan. Tidak ada UGM, tidak akan hidup perekonomian di sekitar kawasan tersebut. Tidak ada UGM, tidak akan ada kebanggan masyarakat DIY khususnya, dan Indonesia umumnya. Jadi, membangun ikon seperti membangun sebuah peradaban. Ikonlah kelak yang akan membangun peradaban itu. Wallahualam bissawab.
Discussion about this post