Puisi-puisi Dara Layl
Hujan di Ufuk Timur Gunung Merapi
denting kota serambi Mekah
masa lampau;
menjadi tangan bagi tanah Tuan Gadang di Batipuah
menjadi rumah penakluk kaum Padri di Luhak Agam
gemuruh kota sejuta senyuman
hujan turun di ufuk timur tepat di kaki Gunung Merapi
masyarakat menyemai ladang-ladang gambut
menukar nasib dalam sendi perdagangan
melangkah menuju biru kehidupan
untuk berjalan di hijaunya pemberhentian
di sebelah barat
Gunung Singgalang memeluk hangat
menurunkan kabut-kabut tipis
menggemakan suara adzan
menyambungkan lantunan ayat suci dari corong di atas ijuak
tatkala lentera kekal mulai naik di barat daya Gunung Tandikek
bayang-bayang anak-anak berlari-lari membawa pituluik
mengokohkan pondasi surau dan gonjong rumah gadang
gema-menggema
rentak kaki dan ayunan tangan. galak paja kaciak.
menuju teras Masjid Asasi Sigando
pada merahnya langit sore
di pelataran kuningnya langit pagi
Padang, Mei 2022
Lika-Liku
Aku dilahirkan dengan air mata
Bernapas dengan air mata
Dikebumikan dengan air mata
Berlika-liku
Berliku-duka
Berduka-daku
Berdaku; suka-duka
Kususuri jalan menuju sebuah petualangan panjang
Jalan yang memiliki seribu topeng dan teka-teki
Topeng yang berwujud batu permata dan batu dari neraka
Jika salah menjawab teka-teki, aku akan memanen semusim derita
Jika benar menjawab teka-teki, aku akan disuguhkan sewindu bahagia
Terkadang aku sibuk mengutuk takdir
Terkadang aku berusaha melawan takdir
Terkadang aku terduduk pasrah di kaki takdir
Seperti roda yang terus berputar
Semua yang bersinggasana di titik zenit
Akan kembali ke pangkuan nadir
senyuman,
raungan,
keberhasilan,
kegagalan,
pencapaian,
kehilangan,
harta,
takhta,
cinta,
Tak ada yang benar-benar bisa dimiliki
Tak ada yang benar-benar bisa dijual beli
Kata orang, ini realitas kehidupan
Kata yang lain, ini perjalanan yang memuakkan
Kata sebagian, ini sebuah kebebasan
Dan aku memilih lupa pada sesuatu yang tidak pernah bisa dilupakan
Perihal kehidupan yang tidak hanya berdiri di atas kefaanaan
Melainkan juga sebuah pertanggungjawaban setelah bangun dari kematian
Padang, 2020
Malewakan Gala
Tatkala matahari menyongsong rumah gadang
mulailah upacara yang digariskan takdir;
hiduik bakarelaan, mati batungkek budi–
dalam balutan baju hitam lapang–berlilit benang emas
dengan semarak gandang dan talempong
Tatkala matahari sempurna menyinari rumah gadang
darah kerbau jantan mengalir mengikat sumpah;
ka ateh indak bapucuak
ka bawah indak baurek
di tangah-tangah digiriak kumbang
deta terpasang; hidup seorang raja
Raja yang ditinggikan sarantiang, didahulukan salangkah
Raja yang lahir dari mufakat
Tatkala matahari meninggalkan rumah gadang dalam bayang-bayang
samba dan jamba tersaji
do’a terucap;
anak dipangku
kamanakan dibimbiang
Padang 2022
Dara Layl nama pena dari Dara Puspa Mulyana berasal dari daerah Kutub Tak Bersalju. Sekarang sedang menyelesaikaan pendidikan di Universitas PGRI Sumatera Barat dengan jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan juga aktif sebagai anggota FLP (Forum Lingkar Pena) Sumatera barat. Teman-teman bisa mengenalnya melalaui Podcast Dara Layl dan akun sosial media Instagram @daraa.pm dan @daralayl serta twitter @daralayl.
Ritual Liris Malewakan Fana
Oleh: Ragdi F. Daye
(buku kumpulan puisinya Esok yang Selalu Kemarin, 2019)
Aku dilahirkan dengan air mata
Bernapas dengan air mata
Dikebumikan dengan air mata
Puisi merupakan salah satu karya sastra yang memiliki fungsi estetik paling baik dan dominan. Hal ini terbukti bahwa puisi memiliki arti dan makna yang begitu indah. Keindahan puisi dapat diperoleh dari aktivitas pemadatan yakni mengemukakan sesuatu secara garis besarnya saja, sehingga puisi yang memiliki esensi dan menjadi ekspresi esensi. Kemudian ekpresi yang disampaikan melalui kiasan merupakan ekspresi tidak langsung. Ketaklangsungan ekspresi dalam puisi disebabkan oleh penggantian arti, penyimpanan arti, dan penciptaan arti (Pradopo, 2009).
Pada edisi kali ini, Kreatika menampilkan tiga buah puisi karya Dara Layl. Ketiga puisi tersebut berjudul “Hujan di Ufuk Timur Gunung Merapi”, “Lika-liku”, dan “Malewakan Gala”. Puisi-puisi Dara cenderung berbentuk prosa liris dengan kalimatnya memiliki ikatan prosa, memiliki narasi dan kronologi peristiwa, bersifat liris (curahan hati), dan kebanyakan tidak terdapat sajak di dalamnya.
Prosa liris (lyric prose, prose lyrique) adalah suatu jenis sastra yang kurang populer bila dibandingkan dengan penulisan prosa (cerpen, novel) maupun lirik (puisi). Menurut Aristoteles, berdasarkan kriteria media of representation (sarana perwujudan), hanya ada dua bentuk ungkapan bahasa yaitu (1) prosa dan (2) puisi, baik puisi yang menggunakan satu matra maupun lebih dari satu matra. Sedangkan bila dilihat dari manner of poetic representation (ragam perwujudannya) ada tiga ragam ungkapan bahasa, yaitu: (1) teks yang sebagian terdiri dari cerita dan sebagian lagi disajikan melalui ujaran tokoh, sebagaimana terlihat pada karya epik; (2) yang berbicara hanya si aku lirik penyair, seperti tampak dalam karya-karya lirik; dan (3) yang berbicara para tokoh saja, seperti tampak pada drama (Teeuw, 1984: 108—109). Dalam hal prosa liris, atau puisi naratif, ia merupakan penggabungan antara ragam perwujudan (1) dan (2) di atas.
Puisi pertama Dara, “Hujan di Ufuk Timur Gunung Merapi” bercerita tentang suasana kehidupan masyarakat di negeri yang terletak di antara Gunung Merapi, Singgalang, dan Tandikek, yang dijuluki dengan sebutan kota serambi Makkah, yakni Kota Padang Panjang. Puisi ini dengan tenang mendeskripsikan suasana alam dan kehidupan sosial, seperti ‘denting kota’, ‘kota sejuta senyuman’, ‘hujan turun di ufuk’, ‘ladang-ladang gambut’, ‘kabut-kabut tipis’, ‘suara azan’, ‘ijuak’, ‘surau’, ‘gonjong rumah gadang’, dan ‘Masjid Asasi Sigando’. Bait ini, ‘di sebelah barat/ Gunung Singgalang memeluk hangat / menurunkan kabut-kabut tipis/ menggemakan suara adzan/ menyambungkan lantunan ayat suci dari corong di atas ijuak’ dapat membangkitkan kenangan ke kota tersebut bagi orang yang punya ikatan emosi atau pernah tinggal di sana.
Setiap penyair dalam membangun gambaran pikiran atau imaji menggunakan sumber yang berbeda-beda, sejalan dengan ide atau gagasan atau pikiran yang hendak diungkapkannya. Ada yang bersumber dari bidang keagamaan, alam, filsafat, kehidupan sehari-hari, cerita, mitos, legenda dan sebagainya. Dari masalah sumber pengimajian ini kemudian dikenal beberapa istilah dalam puisi seperti puisi referensif, puisi alusif, puisi himnal yang berisi pengintroduksian doa dan sebagainya (Jabrohim, 2010).
Puisi kedua, “Lika-liku” mengandung perenungan atas kehidupan persona manusia yang mempunyai rentang fase yang panjang dan komplit. Dara menulis ‘Aku dilahirkan dengan air mata/ Bernapas dengan air mata/ Dikebumikan dengan air mata// Berlika-liku/ Berliku-duka/ Berduka-daku/ Berdaku; suka-duka// Kususuri jalan menuju sebuah petualangan panjang/ Jalan yang memiliki seribu topeng dan teka-teki/ Topeng yang berwujud batu permata dan batu dari neraka.’
Lika-liku kehidupan manusia memang sangat kompleks dengan segala suka dan duka, kebahagiaan dan kesedihan yang menguji kekuatan jiwa yang menjalaninya. Semakin rumit ragam kehidupan itu, manusia dipaksa untuk beradaptasi dengan menggunakan kemampuan menyembunyikan perasaan sehingga selalu tampil terkendali di depan orang lain. Semakin dewasa seseorang, semakin mahir dia berpura-pura menunjukkan semuanya berjalan baik-baik saja. Di atas semua itu, Dara mengingatkan ‘Perihal kehidupan yang tidak hanya berdiri di atas kefaanaan/ Melainkan juga sebuah pertanggungjawaban setelah bangun dari kematian’, sesibuk apa pun menghadapi lika-liku kehidupan di dunia, manusia beriman hendaknya tidak lupa dengan kehidupan sejatinya di akhirat kelak.
Karya imajinatif berarti karya sastra tersebut bukan hanya sekedar menggambarkan peristiwa-peristiwa secara langsung. Peristiwa yang sebenarnya diolah kembali oleh pengarang melalui proses kreatifnya. Dengan demikian yang hadir bukanlah paparan peristiwa tetapi gambaran peristiwa yang telah diubah sedemikian rupa oleh pengarang, penyair jika karya itu berupa puisi. Adapun puisi imajis adalah puisi yang melukiskan sesuatu kenyataan dengan jernih dan jelas, dan kata-katanya dipilih secara cermat dan efisien dari bahasa sehari-hari serta dengan ritme yang telah mengikat. Dalam puisi imajis, kata-kata dipandang sebagai segala-galanya. Di samping mengungkapkan gagasan penyair, kata-kata itu mendukung imaji penyair yang hendak diungkapkannya.
Puisi “Malewakan Gala” yang menjadi judul puisi ketiga mengandung muatan tradisi budaya Minangkabau, yakni berkaitan dengan ritual adat menobatkan raja. Melalui puisi ini Dara menceritakan rangkaian prosesi menobatkan gelar raja atau penghulu di dalam tradisi Minangkabau. Penyair memulai: ‘Tatkala matahari menyongsong rumah gadang/ mulailah upacara yang digariskan takdir;/ hiduik bakarelaan, mati batungkek budi–/ dalam balutan baju hitam lapang–berlilit benang emas/ dengan semarak gandang dan talempong’. Di bait pertama ini penyair menyelipkan pengetahuan tentang filosofi etnis Minangkabau yang dikenal dengan adagimun Adaik Basandi Syarak,Syarak Basandi Kitabullah (ABS SBK). Di bait ini juga terungkap pakaian penghulu saat dilantik serta adanya gandang dan talempong, alat kesenian tradisional yang mengiringi prosesi.
Prosesi malewakan gala atau batagak gala merupakan warisan budaya untuk mengukuhkan keberadaan penghulu secara adat. Di dalam upacara ini dilakukan tradisi berbalas pantun, pepatah petitih adat atau pasambahan yang berisi falsafah adat, penghormatan kepada tetua, petinggi adat, seluruh anggota suku dan tamu undangan dengan tata cara tertentu yang berlaku di nagari. Turut menyertainya tradisi makan bajamba atau makan bersama hidangan masakan yang tak lepas dari syarat dan ketentuan yang telah menjadi kebiasaan.
Peristiwa adat malewakan gala merupakan perayaan yang dibanggakan orang Minang karena mengandung kearifan budaya. Bagaimana pun juga, budaya adalah identitas social seorang manusia yang membuatnya menjadi suatu kesatuan yang saling menguatkan. Dara menulis dengan kekuatan imaji yang membuat pembaca dapat membayangkan detail peristiwa batagak gala serta kebesaran maknanya: ‘deta terpasang; hidup seorang raja/ Raja yang ditinggikan sarantiang, didahulukan salangkah/ Raja yang lahir dari mufakat// Tatkala matahari meninggalkan rumah gadang dalam bayang-bayang/ samba dan jamba tersaji / do’a terucap;/ anak dipangku/ kamanakan dibimbiang’. Di dalam peristiwa ini ada kearifan local yang dijaga, diwariskan turun temurun supaya tetap hidup dan lestari. []
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post