Oleh: Ronidin
(Dosen Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Jarak rumah kontrakan kami di Jetisharjo, Kelurahan Cokrodiningratan ke Stasiun Tugu, Yogyakarta lebih kurang satu setengah kilometer. Biasanya, kami ke stasiun bersejarah itu dengan bermotor. Sebenarnya, kalau dikuat-kuatkan, jarak antara rumah dan stasiun tugu bisalah ditempuh dengan berjalan kaki, melewati hiruk-pikuk Pasar Kranggan dan Perempatan Tugu, lalu menyeberang ke Jalan Mangkubumi yang satu arah. Akan tetapi, sepanjang kami tinggal di Yogyakarta, tak sekali pun kami berjalan kaki ke sana. Sepeda motor sengaja kami bawa dari Padang dengan plat BA, berkebalikan dengan plat Yogyakarta, AB. Membawa motor apalagi mobil berplat BA ke Yogyakarta membuat tukang parkir atau satpam di tempat umum mengucek-ngucek matanya bila kita berbelanja atau parkir di tempat umum. Pada penglihatannya seakan tidak percaya plat AB tetiba berubah jadi BA.
Bila ke Stasiun Tugu atau Malioboro, adakalanya kami mampir di Pasar Kranggan. Pasar itu lengkap untuk berbelanja kebutuhan harian. Persis di depan pasar ada klenteng yang halamannya luas dipakai untuk parkir motor. Satu motor dikenakan biaya parkir dua ribu rupiah. Jika ada lima ratus motor yang parkir dalam sehari, sejuta rupiah mengalir ke kantong tukang parkir yang entah disetor kepada siapa. Waduh, kenapa saya jadi membicarakan Pasar Kranggan? Padahal, sebenarnya saya akan membicarakan sebuah kenangan yang berhubungan dengan Stasiun Tugu walaupun kami juga punya kenangan dengan Pasar Kranggan.
Waktu itu kami ke Stasiun Tugu tidak dengan motor, tetapi dengan becak. Bukan becak motor, tetapi becak kayuh. Untung jalannya datar dan lurus. Kalau mendaki pasti Bapak tukang becak tidak bakalan kuat mengayuh. Kami sengaja menyewa dua becak. Becak pertama untuk saya dan sebuah koper serta barang-barang lainnya. Becak kedua untuk istri dan dua anak kami. Bapak tukang becak mengantarkan kami ke Stasiun Tugu dengan bayaran lima belas ribu Rupiah untuk satu becak. Waktu itu kami hendak berlebaran di Gresik, Jawa Timur. Jadwal kereta kami pukul tujuh pagi dari Stasiun Tugu dan diperkirakan tiba di Stasiun Gubeng, di Surabaya pukul dua belas tiga puluh siang.
Sebelum sampai di Stasiun Tugu, ada kisah yang menjadi inti tulisan ini. Pukul enam tiga puluh kami sudah memesan becak di Barat Jembatan Kuning di Jalan Prof. Sardjito. Kata Bapak tukang becak, butuh waktu lebih kurang lima belas menit ke Stasiun Tugu dari tempat itu. Jadi, kalau kami berangkat sekarang, sampai di stasiun pukul enam empat lima. Masih ada lima belas menit untuk kami memasuki peron dan menaiki kereta sebelum peluit keberangkatan berbunyi tepat pukul tujuh. Kami ke pangkalan becak ditemani oleh tetangga kami yang baik hati, dia membantu istri saya mengangkat beberapa tentengan. Tetangga kami itu secara kebetulan akan ke seberang pangkalan becak untuk membeli gudeg buat sarapan.
Tetangga kami yang baik itu sebut saja namanya Bu N. Usianya sudah kepala lima. Bu N tinggal sendirian di rumahnya yang berada di depan masjid As-Salam, kira-kira tiga puluh meteran dari kontrakan kami. Keluarga Bu N tidak di Yogyakarta, tetapi di Jakarta. Bu N menikmati masa senjanya bersama orang-orang baik di lingkungan sekitar kami itu. Di lingkungan yang bagi saya dan istri terasa nyaman, bersih, tenang, dan religius itu, Bu N bersosialisasi. Di sana ibu-ibunya rajin ke masjid, ke posyandu, dan acara-acara RT. Anak-anak mudanya nurut. Pengurus masjid dan juga pengurus RT ramah-ramah. Orang luar yang masuk harus lapor Pak RT. Jika bermotor, harus mematikan mesin bila melewati gang.
Kami melihat bahwa Bu N tidak memilih-milih untuk berbuat baik. Ia sering terlihat membersihkan tempat berwudu dan pekarangan masjid tanpa ada yang menyuruh. Bu N juga sering melewati kontrakan kami untuk pergi ke rumah di depan kontrakan kami. Di sana ia menghabiskan sebagian waktunya untuk menjaga Mbah G, seorang sepuh yang sudah sembilan puluhan tahun. Si Mbah itu hanya tinggal berdua dengan pembantunya. Anak-anak telah sukses dan semuanya berkarier di luar Yogyakarta. Bu N menemani Si Mbah dan pembantunya agar tidak boring.
Bu N akrab dengan kami. Juga dengan ibu-ibu yang lain. Dia ramah dan suka menolong. Kalau kami tidak bisa mengangkat jemuran yang kehujanan karena sedang berada di luar, Bu N dan juga ibu-ibu yang lain akan membantu mengangkatnya. Anak-anak kami dan juga anak-anak yang lain senang bermain di lingkungan yang dalam pengawasan Bu N dan ibu-ibu yang lain. Bila Bu N pergi berbelanja, dia selalu mampir mengajak istri saya untuk belanja bareng. “Bu Roni, ayo kita ke warung” atau “Bu Roni, ke warung/pasar nggak?” ajaknya. Kalau dia memasak tempe bacem kadang dilebihkan untuk kami.
Ketika Bu N menemani kami ke pangkalan becak untuk ke Stasiun Tugu, tiba-tiba sesuatu terjadi pada istri saya. Sendal yang dipakainya putus sebelah. Sendal itu tidak bisa lagi dipakai karena sudah mencla-mencle. Untuk mengambil sendal lagi ke kontrakan tidak ada waktu. Untuk membeli di sekitar tempat itu belum ada yang buka. Waktu itulah Bu N atas inisiatifnya sendiri membuka sendal yang dipakainya, lalu menyerahkan pada istri saya. Saya melihat sekilas bahwa sendal Bu N itu masih baru dan modelnya tidak jauh berbeda dengan sendal istri saya yang putus. “Bu Roni, pakai sendal saya ini saja dulu. Saya ndak usah sampean pikirkan. Saya bisa pakai sendal Bu Roni yang putus itu atau saya nyeker saja,” katanya sambil menyerahkan sendalnya pada istri saya.
Istri saya menolak karena tidak enak hati. “Nggak usah Bu. Sendal ini saja. Nanti diperbaiki di stasiun atau nanti dibeli lagi yang baru,” kata istri saya menolak. “Tidak ada waktu lagi, Bu Roni. Silakan pakai. Tidak apa-apa,” kata Bu N menyodorkan sendalnya ke kaki istri saya.
Bu N memaksa istri saya menerima sendalnya dan melepaskan sendiri sendal istri saya yang putus. Istri saya jadi malu dan cepat-cepat menarik kakinya. Waktu terus juga berjalan, sudah lewat dari pukul enam tiga puluh lima. Akhirnya istri saya terpaksa menerima sendal dari Bu N ketika saya refleks melihat jam tangan. Jadilah, istri saya memakai sendal Bu N untuk ke Surabaya. Kami tidak sempat membeli sendal di stasiun. Tapi apakah ada ya orang menjual sendal di stasiun, entahlah! Selama ini tidak pernah menjadi perhatian kami.
Cerita sendal istri saya yang putus sebelah dan kemudian dipinjami sendal oleh tetangga kami yang baik hati menjadi kenangan yang tidak terlupakan dalam perjalanan hidup kami di Yogyakarta. Apalagi setelah kami pulang dari Gresik, Bu N datang ke kontrakan kami membawa sendal istri saya yang putus sebelah yang telah dijahitnya. Istri saya mengembalikan sendal Bu N dan mengucapkan terima kasih atas kebaikannya.
Walaupun yang dilakukan Bu N itu hal yang remeh, tetapi bagi kami itu adalah bukti sebuah ketulusan. Ketulusan untuk saling berbagi dan bersimpati dengan keadaan yang dialami oleh orang lain. Bila mengingat pertolongan itu, saya dan istri berdoa semoga Bu N dimudahkan hidup dan segala urusannya oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Terakhir, saya mendapat kabar bahwa Bu N mengalami kecelakaan persis di pangkalan becak tempat di mana dulu dia meminjamkan sendalnya pada istri saya. Dia ditabrak sepeda motor yang dikendarai oleh seorang pelajar yang masih belia. Beberapa bulan dia dirawat di rumah sakit di Jakarta. Setelah sembuh dia kembali ke rumahnya di Jetisharjo, Yogyakarta.
Walaupun tinggal sendiri di rumahnya, Bu N tidak pernah merasa kesepian. Bu N bersama warga Jetisharjo lainnya bahu membahu menebar kebaikan. Saya tidak mengada-ada. Di sana warganya masih hidup dengan rasa kebersamaan dan kekeluargaan yang tinggi. Puji syukur atas nikmat yang telah mengantarkan kami untuk bisa tinggal di lingkungan itu. Walaupun kami hanya menumpang tinggal selama dua tahun di sana, sepanjang saya menyelesaikan studi, kami dibawa sehilir semudik bersama warganya. Kami bergaul dengan keramahtamahan warga setempat selayaknya di kampung sendiri.
Di Jetisharjo ini pula saya berkenalan dengan seorang Minangkabau asal Pesisir Selatan yang telah merantau cina ke Yogyakarta. Tak sekali pun dia pulang sejak datang di tahun 1960-an. Satu lagi, jika Dunsanak sempat lewat atau berkunjung ke kawasan Jetisharjo, di hamparan Kali Code, dari atas jembatan Kuning di Jalan Prof. Sardjito, menengoklah ke kanan, maka Dunsanak akan melihat sebuah rumah dengan arsitektur Minangkabau lengkap dengan gonjongnya. Rumah itu dibangun oleh putra Mbah G yang beristri perempuan Pariaman. Konon kabarnya di Pariaman, dia juga membangun sebuah rumah bercorak Joglo.
Sekali lagi, kisah sendal tetangga di kereta Jogja-Surabaya yang menjadi judul feature ini adalah refleksi dari sebuah ketulusan yang senantiasa kita rindukan kehadirannya. Ini adalah bukti bahwa kebaikan sekecil apa pun akan senantiasa melekat pada jiwa orang yang ditolong. Jadi, jangan segan-segan untuk memberi pertolongan pada orang yang membutuhkan, apa pun bentuknya. Saya dan keluarga memetik hikmah dari sebuah pertolongan yang lahir dari kehidupan yang berjalan harmonis di antara sesama, di lingkungan rumah tangga dengan para tetangganya. Semoga sendal Bu N, seorang perempuan senja yang menikmati hidup dalam kehidupan seiya sekata di tengah hiruk pikuk Kota Yogyakarta, bernilai seperti sendal Bilal Bin Rabah yang sudah kedengaran bunyinya di surga. Aamiin Ya Rabbal Alamin.
Discussion about this post