Oleh: Andina M. Hawa
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Novel Lelaki Harimau yang terbit pada tahun 2004 dan ditulis oleh Eka Kurniawan, pria kelahiran 28 November 1975, telah mendapat sejumlah penghargaan bergengsi, di antaranya The Man Booker International Prize pada 2016. Lelaki Harimau telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, seperti Inggris, Jerman, Belanda, dan Jepang. Novel ini mengisahkan pembunuhan yang dilakukan tokoh bernama Margio terhadap Anwar Sadat disebabkan oleh sesosok ‘harimau’ di yang ada di tubuhnya. Isu gender pada Lelaki Harimau disebabkan oleh kuasa patriarki. Menurut Sugihastuti (2007), patriarki adalah sistem dominasi dan superioritas laki-laki. Di dalam patriarki terdapat anggapan bahwa laki-laki dipandang lebih tinggi dari perempuan, perempuan dikontrol oleh laki-laki, dan perempuan merupakan bagian dari laki-laki.
Ada beberapa penggambaran kekerasan gender yang di dalam Lelaki Harimau. Pertama, hubungan pernikahan yang tidak bahagia di antara tokoh Komar dan tokoh Nuraeni. Komar berprofesi sebagai tukang cukur dengan penghasilan pas pasan. Ketidakpuasan Komar terhadap kondisi sosial ekonominya membuat Komar marah dan frustasi sehingga hal tersebut dilampiaskannya kepada Nuareni. Komar digambarkan kerap menyiksa Nuraeni secara verbal, fisik, dan seksual. Hal ini tidak lain adalah perwujudan dari praktik maskulinitas tradisional. Dalam konsep maskulinitas tradisional, seorang laki-laki dituntut untuk memiliki karakter yang kuat kuat, agresif, dan penuh kekerasan (Beynon, 2002). Namun, karakter maskulinitas yang terlampau kaku dan berlebihan menjadi dapat mengarah pada perilaku kekerasan atau disebut sebagai maskulinitas toksik. Martinis (2022) berpendapat bahwa maskulinitas toksik adalah maskulinitas yang berlebihan sehingga pelaku tidak bisa lentur dalam menyikapi sesuatu yang sifatnya feminin atau maskulin. Makian Komar terhadap Nuraeni merupakan bentuk dari perwujudan maskulinitas toksik tersebut.
Kekerasan berbasis gender juga diperlihatkan melalui gambaran hubungan seks yang penuh kekerasan antara Komar dan Nuraeni. Komar hanya memperlakukan Nuraeni sebagai objek, sehingga istrinya tidak pernah merasakan kenikmatan ketika mereka sedang melakukan hubungan badan. ‘Di sana Nuraeni menungging, serupa kuda, dan Komar bin Syueb menyodok dari belakangnya’, (Kurniawan, hlm. 70).
Perlakuan kasar Komar tidak hanya ditunjukkan kepada Nuraeni, tetapi juga kepada anak laki-lakinya, Margio. Sejak kecil, Margio selalu mendapatkan penyiksaan secara fisik dan verbal oleh Komar. Selain itu, Margio juga telah terbiasa melihat perlakukan Komar terhadap ibunya. Setiap kali Margio berusaha membela ibunya, amarah Komar semakin menjadi-jadi. Margio tumbuh menjadi pemuda yang memendam kemarahan dan membenci ayahnya itu. Margio tidak pernah melawan setiap Komar melakukan penyiksaan kepadanya. Namun perlahan kemarahan sekaligus sakit hati yang ia pendam berubah menjadi “harimau” yang mewujud dalam keinginan untuk membunuh ayahnya.
Menjalankan pernikahan yang tidak bahagia, Nuraeni hanya bisa bungkam menahan marah. Kemarahan dan kebencian Nuraeni terhadap Komar dilampiaskannya dengan membanting dan berbicara kepada panci-pancinya yang ada di dapur. Menurut Priyatna (2019), hal yang dilakukan Nuraeni merupakan manifestasi dari kemarahan yang tidak tersalurkan, sehingga Nuraeni melakukan perlawanan dengan melakukan hubungan perselingkuhan dengan Anwar Sadat dan kemudian lahir seorang anak dari hubungan tersebut. Walaupun tidak mencintai majikannya itu, namun untuk pertama kalinya Nuraeni dapat merasakan kehangatan dalam hubungan tersebut.
Di akhir cerita digambarkan Komar meninggal karena sakit. Pada saat terakhirnya, Komar berusaha untuk menebus segala kesalahannya terhadap Nuraeni dan Margio. Namun Nuraeni sudah terlanjur menyimpan rasa sakit hati yang mendalam sehingga ia menolak permintaan maaf Komar sehingga membuat kemarahan Komar semakin menjadi-jadi. Saat permintaan maaf dilakukan Komar, Margio pun merasa apa yang dilakukan Komar sudah terlambat dan sia-sia, malahan hal tersebut semakin memperbesar keinginannya membunuh Komar. Komar meninggal tanpa mengetahui anak yang dikandung Nuraeni bukanlah miliknya. Sesaat setelah Komar meninggal dunia, Margio mengetahui bahwa Anwar Sadat adalah ayah dari anak yang dikandung Nuraeni. Ia meminta Anwar Sadat menikahi ibunya, “kawinlah dengan ibuku, ia akan bahagia.” (Kurniawan, 2004: 190). Anwar Sadat menolak permintaan Margio dengan mengatakan bahwa ia telah memiliki keluarga, “lagi pula aku tak mencintai ibumu.” (Kurniawan, 2004:190). Maka itulah kala harimau di dalam tubuh Margio ‘keluar’, dan membunuh Anwar Sadat.
Gambaran maskulinitas toksik diperlihatkan melalui tiga tokoh utama laki-laki dalam novel Lelaki Harimau. Pada tokoh Komar bin Syueb, hal itu diperlihatkan dari perilaku kekerasannya terhadap Nuraeni, baik secara verbal, fisik, maupun seksual. Perilaku kekerasan tersebut merupakan wujud dari kekecewaan Komar terhadap dirinya karena tidak dapat membahagiakan istri dan anaknya secara finansial. Penyiksaan yang dilakukan Komar terhadap Margio juga bentuk dari maskulinitas toksik yang merupakan perwujudan kekecewaan Komar terhadap dirinya karena tidak mampu menjadi ayah yang penyayang bagi Margio.
Perilaku maskulinitas toksik pada tokoh Anwar Sadat merupakan wujud dari penggambaran kekerasan gender yang bermula dari ketimpangan kekuasaan antara Anwar Sadat dan Nuraeni. Anwar Sadat merupakan majikan dari Nuraeni yang memiliki kelebihan dari segi ekonomi sehingga ia merasa dapat melampiaskan gairah seksualnya kepada Nuraeni. Walaupun dalam hal ini Nuraeni juga menikmati hubungannya bersama Anwar Sadat, ia menolak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya terhadap Nuraeni dan hubungan tersebut dilakukan di luar pernikahan. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa Anwar Sadat juga memanfaatkan posisinya untuk mengeksploitasi Nuraeni secara seksual.
Selanjutnya, sosok harimau dalam diri Margio merupakan sebuah simbol. Secara denotasi, harimau merupakan binatang buas. Menurut Freud, setiap manusia memiliki id, ego, dan super ego yang dapat saling berinteraksi dalam mewujudkan pola perilaku manusia. Dalam hal ini, id Margio mewujud melalui kebutuhannya untuk mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya. Ego Margio diperlihatkan melalui keinginannya untuk membunuh ayahnya, sedangkan superego dipahami sebagai aspek moral yang diterima secara sosial.
Namun, karena tidak terima oleh perlakukan Anwar Sadat terhadap ibunya, hal tersebut membuatnya dikuasai oleh ego dan melupakan super egonya. Dalam hal ini ia membiarkan sosok harimau tersebut ‘keluar’ dari tubuhnya. Bentuk maskulinitas toksik Margio manifestasi kemarahan dan kekecewaan yang tidak terlampiaskan pada ayahnya. Perilaku maskulinitas ketiga tokoh laki-laki tersebut kemudian mewujud dalam bentuk kekerasan gender melalui perilaku kekerasan dalam rumah tangga (Komar bin Syueb), eksploitasi tokoh Nuraeni secara ekonomi dan seksual (Anwar Sadat), dan penghilangan nyawa yang dilakukan Margio terhadap Anwar Sadat (Margio).
Discussion about this post