Oleh: Arina Isti’anah, S.Pd., M.Hum.
(Dosen Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora, Universitas Gadjah Mada)
Dalam memilih tempat wisata, acapkali kita membuka media sosial untuk mendapatkan informasi dan tawaran yang menarik dari suatu tempat wisata. Informasi mengenai mode transportasi, harga tiket masuk, dan fasilitas tentang wisata biasanya menjadi tujuan utama kita membuka media sosial. Tidak hanya itu, keputusan kita dalam memilih tempat wisata juga dipengaruhi oleh branding dari suatu destinasi, misalnya Bali dengan sebutan “Pulau Dewata”, Palembang sebagai “Kota Pempek”, Aceh dengan “Kota Serambi Mekkah”, Yogyakarta sebagai “Kota Gudeg”, Bandung sebagai “Paris van Java”, Pekalongan dengan sebutan “Kota Batik”, dan lain sebagainya. Secara umum, Indonesia menyandang sebutan sebagai Tropical Paradise “surga tropis”.
Istilah paradise yang melekat dengan pariwisata Indonesia secara kebahasaan, disebut sebagai metafora. Metafora merupakan bahasa kiasan yang digunakan untuk menyebut sesuatu dengan cara yang lain (Lakoff & Johnson, 2003). Secara harfiah, paradise diterjemahkan sebagai “surga”. Namun, siapa yang pernah melihat surga? Tentu dari kita belum pernah mengetahui secara nyata bentuk dan suasana yang ditawarkan dalam surga. Namun, kita mungkin memiliki pengetahuan yang sama dari kitab suci atau buku keagamaan mengenai keindahan surga yang ditawarkan. Istilah paradise tersebut digunakan dalam pariwisata untuk menggantikan aspek “keindahan” yang ditawarkan oleh tempat wisata.
Dalam pariwisata Indonesia, metafora paradise sering disandingkan dengan kata lain, seperti dalam tropical paradise “surga tropis”, perfect tropical paradise “surga tropis yang sempurna”, underwater paradise “surga bawah laut”, surfing paradise “surga berselancar”, culinary paradise “surga kuliner”, archipelagic paradise “surga kepulauan”, dan eco-adventure paradise “surga eko-petualangan”. Istilah-istilah tersebut memang sengaja dipilih sebagai strategi promosi untuk menggambarkan bahwa pariwisata Indonesia yang kaya akan berbagai tawaran menarik. Bagi pelancong yang gemar berwisata dengan berbasis alam, tentu akan mempertimbangkan tawaran dalam eco-adventure paradise “surga eko-petualangan” dan underwater paradise “surga bawah laut”. Keindahan dan kekayaan flora-fauna bawah laut di Bunaken dan Raja Ampat, bahkan menjadi tagline dari kedua destinasi tersebut.
Dalam teks promosi wisata Raja Ampat, komposisi dari flora fauna bawah lautnya secara eksplisit disebutkan melalui strategi kuantifikasi, seperti dalam kalimat “The territory within the islands of the Four Kings is enormous, covering 9.8 million acres of land and sea, home to 540 types of corals, more than 1,000 types of coral fish and 700 types of mollusks” (Isti’anah, 2019). Raja Ampat disebut memiliki 540 jenis karang, lebih dari 1.000 batu karang, dan 700 jenis moluska. Penggunaan angka dalam mendefinisikan Raja Ampat membuktikan bahwa memang metafora paradise merujuk pada makna “kekayaan”, bukan hanya “keindahan” walaupun berbagai jenis flora-fauna tersebut memang menjadi ciri khas keindahan Raja Ampat.
Namun demikian, jika ditilik dengan perspektif kritis, istilah paradise bukan bermakna sebagai “surga” dengan segala keindahannya namun merupakan konsep mengenai “kekayaan” alam yang ditawarkan dalam pariwisata. Dalam tulisannya, Jaworska (2017) menjabarkan bahwa metafora paradise sering dilekatkan dengan negara tropis, termasuk Indonesia yang memiliki kekayaan flora, fauna, dan lanskap sebagai akibat dari kondisi iklim tropisnya. Dengan demikian, penggunaan metafora paradise merupakan strategi promosi pariwisata dengan menitikberatkan pada jumlah kekayaan alam dari suatu destinasi wisata.
Dalam pariwisata, metafora paradise malah sering digunakan untuk menggambarkan daerah yang secara ekonomi pertumbuhannya hanya bergantung pada sektor pariwisata. Pembangunan tempat pariwisata yang digambarkan sebagai paradise disebut Jaworska (2017) memberikan dampak negatif seperti kelebihan populasi dan ketidaksetaraan ekonomi dan gender. Pembangunan fasilitas pariwisata secara besar-besaran dianggap tidak selalu mempertimbangkan aspek keberlanjutan lingkungan hidup.
Keberadaan pariwisata sebagai pusat ekonomi di beberapa wilayah mengundang para investor untuk membangun kompleks perumahan secara besar-besaran. Hal tersebut tentu tidak selalu terjadi di wilayah yang dipromosikan dengan metafora paradise. Namun, kajian tersebut patut dijadikan pertimbangan dalam kebijakan pembangunan pariwisata agar bersifat berkelanjutan, bukan hanya terhadap alam namun manusia sebagai bagian dari ekosistem.
Memang jika kita berkiblat pada sudut pandang struktural, istilah paradise merupakan strategi kebahasaan yang lazim dan wajar digunakan untuk mempromosikan wisata. Namun, pernahkah kita bertanya apa akibat yang ditimbulkan pada generasi mendatang jika alam selalu dikaitkan dengan jumlah yang tiada habisnya? Ekolinguistik memiliki kepedulian mengenai struktur kebahasaan yang dianggap lazim tersebut dan bagaimana akibatnya pada generasi mendatang.
Dalam perspektif ekolinguistik kritis, metafora paradise yang melekat pada lingkungan alam merupakan strategi untuk memisahkan lingkungan alam dan manusia, bukan sebagai satu kesatuan bagian dalam suatu ekosistem (Trčková, 2016). Keindahan alam yang bersifat surgawi direpresentasikan seolah-olah keindahan alam berada pada dunia “berbeda” atau “lain” dari tempat manusia tinggal. Dengan demikian, terdapat dikotomi antara manusia dan lingkungan alam yang ditimbulkan dari strategi metafora paradise dalam pariwisata.
Untuk lebih bersifat sustainable (berkelanjutan), promosi pariwisata diharapkan tidak hanya mengedepankan jumlah atau kuantitas dari kekayaan alam Indonesia. Namun, promosi wisata juga diharapkan secara aktif melibatkan turis sebagai agen yang memiliki pemahaman mengenai kekayaan alam. Sebagai contoh, beberapa perilaku perlu dihindari dalam aktivitas menyelam sehingga kerusakan batu karang dapat dihindari. Wacana mengenai keterlibatan turis sebagai agen belum secara luas ditemukan dalam pariwisata. Oleh sebab itu, sebagai bagian dari ekosistem, turis-turis hendaknya memperhatikan perilaku ketika mengunjungi tempat wisata. Dengan demikian, paradise yang ditawarkan dapat bersifat sustainable bagi anak cucu kita sehingga tetap bisa menyaksikan paradise tersebut di masa depan.
Discussion about this post