Besok Sudah Tidak Ada Aku
Oleh : Afrizal Jasman
Ini bulan Juli. Sebulan lagi Agustus. Artinya sebentar lagi akan agustusan. Akan ada pesta rakyat dimana-mana, -dikota dan didesa dalam memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia. Jalan-jalan akan dipenuhi umbul-umbul dan bendera merah putih akan berkibar serentak didepan rumah-rumah warga. Semuanya akan terlihat baru karena hanya pada momen ini benda itu dikeluarkan dari lipatanya dan dikibarkan diujung tiang-tiang bambu yang juga selalu baru. Merdeka!
Dikecamatanku sudah sejak beberapa tahun ini selalu ada kompetisi permainan tradisional yang melibatkan seluruh desa. Kegiatan ini dipusatkan di lapangan terbuka di Desa Seruni. Sebuah lahan terbuka nyaris seluas seratus meter persegi. Agenda utama dari keramaian ini adalah pertandingan takraw yang memperebutkan tropi bergilir dari pejabat setempat.
Suatu yang istimewa bagi kami apabila bisa memenangkan tropi itu dan membawanya pulang kedesa. Apalagi desa kami adalah desa terjauh dari pusat kecamatan, sehingga jadi kesempatan emas bisa mempawaikannya disepanjang perjalanan pulang. Tentu saja tidak ketinggalan tetabuhan gendang yang gegap gempita.
Dua tahun lalu tim takraw desa kami masuk final. Semua warga desa tersedot kekecamatan untuk menyaksikan pertandingan itu hingga bisa dikatakan hanya warga jompo yang tersisa didesa. Kami yang merasa sudah diatas angin karena masuk final dan bertemu dengan tim angin-anginan mendadak jadi selebritis. Semua orang membicarakan kami sebagai calon kuat peraih tropi juara dengan materi pemain yang diatas rata-rata tim lawan.
Hari pertandingan yang diagendakan pun tiba. Tim kami naik coltL300 menuju tempat berlangsungnya acara. Mobil bak terbuka yang sehari-hari hilir mudik membawa hasil tani itu penuh sesak oleh para pemain, pemain cadangan, offisial, dan sepasukan tukang gendang yang berseragam pula. Tidak hanya itu, dibelakang juga diiringi oleh motor-motor warga yang datang membawa anak istri dan teman sejawat.
Walau baru hanya sebatas juara diatas kertas, tapi kami sudah cukup senang alang kepalang. Setiap orang yang kami temui dijalan, seakan bisa ditebak apa yang sedang mereka fikirkan. “wah, jadi iri. Ingin sekali bisa seperti mereka. Mereka akan juara dan semua orang akan membicarakannya.” Begitulah kira-kira suara hatinya.
Beberapa menit sebelum laga final itu dimulai, aku sebagai pelatih memanggil semua pemain dan mengulang lagi wejangan yang telah kusampaikan sebelum berangkat tadi. Ialah perihal strategi apa yang akan dimainkan menghadapi tim dari Desa Lereng Cukam yang selama kompetisi ini selalu menang karena ‘faktor keberuntungan’.
Bagaimana tidak bisa dikatakan faktor keberuntungan bila pada babak penyisihan mereka menang hanya karena berhadapan dengan tim pelengkap dari Desa Jati Kuning yang tidak punya catatan soal takraw sedikitpun. Mereka mengikuti kompetisi hanya karena ada aturan dari panitia kecamatan bahwa setiap desa yang ada diwilayah itu wajib mengirim timnya.
Pada babak selanjutnya Tim Desa Lereng Cukam menghadapi rival yang agak berat, namun diakhir laga konsentrasi lawannya buyar karena keributan penonton diluar lapangan. Memang mereka tidak terlibat, akan tetapi peristiwa itu cukup menyita perhatian semua orang. Akhirnya tim Lereng Cukam menang tipis diluar dugaan. Singkat cerita akhirnya mereka sampai difinal dan bertemu dengan tim kami dari Desa Kayu semak
*
Aku kemudian membagi tim menjadi dua. Tim utama dan tim cadangan.
“Maaf, Bang. Permisi kebelakang sebentar!” Tiba-tiba Ferdi , -tekong utama kami tampak meringis kesakitan sembari memegang perutnya.
Ada apa?” Tanyaku.
“Mules.” Jawabnya dan segera berlari keluar lapangan mencari tempat pelampiasan.
Konsentrasiku buyar. Tidak habis fikir, apa yang dimakan oleh Ferdi ketika hendak berangkat tadi? Mungkinkah ia telah disabotase oleh seseorang yang bekerjasama dengan tim lawan. Seseorang yang seakan-akan bagian dari kami, padahal ada main dengan pihak asing. Jika itu benar terjadi, wah terlalu jauhnya aku berkesimpulan.
“Bagaimana, Bang?” Tiba-tiba Ulil, asistenku bertanya. Membuyarkan ruang khayalku.
“Tidak apa-apa. Tetap lanjut.” Ucapku. Kulihat semua pasukan begitu menunggu keputusanku itu.
Satu menit berlalu, Ferdi tidak muncul. Akhirnya kuminta Ulil segera menyusul. Ferdi masuk lapangan dengan wajah meringis. Masih sama seperti sebelumnya. Kami semua saling pandang. Sementara disisi lain tim lawan sedang semangat-semangatnya melakukan pemanasan.
“Gimana sekarang?” Tanyaku pada Ferdi yang terlihat berusaha untuk tetap tampil.
Belum sempat pemuda bertubuh jangkung itu menjawab pertanyaanku, tiba-tiba terdengar peluit memekik panjang. Tanda pertandingan final itu siap untuk dimulai. Akhirnya aku memanggil Amin sebagai tekong pengganti.
Pada menit-menit pertama pertandingan berjalan manis. Kedua tim saling jual beli serangan. Perjalanan poin susul menyusul dalam jarak yang tidak terlalu jauh. Namun menjelang babak pertama berakhir, sepakan Amin mulai melemah. Setiap serangan yang ia tembakan selalu dapat diblok tim lawan dan dikembalikan dengan liar. Tim yang semula dianggap lemah itu mulai menguasai kendali permainan.
“Kenapa?” Tanyaku pada Amin pelan dari pinggir lapangan.
“Tumitku lecet…” Jawabnya sembari meringis, menunjukkan betapa ia sangat tidak nyaman.
Aku baru ingat, ketika hendak pergi dari desa tadi Amin sempat pamitan sebentar untuk meminjam sepatu futsal sepupunya. Karena sepatunya yang ia pakai kemarin solnya lepas sebelah.
Detik-detik berlalu dalam suasana tegang. Seperti pertandingan ini semakin berat. Rasa bangga yang dibawa dari desa mulai menipis dan semuanya perlahan terlihat samar. Para penonton yang bersorak riuh dari pinggir lapangan rasanya tidak lebih dari suara cemooh yang semakin menjatuhkan mental. Sementara jarak raihan skor mulai berjarak jauh.
Kulihat Ferdi sudah tidak meringkuk lagi. Suatu hal yang baik. Sepertinya obat diare yang diberikan Ulil beberapa menit lalu bekerja sesuai harapan. Tidak menunggu lama, kuminta Amin untuk menepi dan Ferdi segera mengambil posisinya dengan sigap. Sayang sekali sepertinya Ferdi belum sepenuhnya sembuh. Penyelamatan pertama yang ia lakukan justru membuahkan poin buat tim lawan. Serangan yang ia blok justru melebar kesamping dan seketika sorakan penonton pecah lebih membahana daripada sebelumnya.
Telingaku berdengung kencang seperti suara ribuan lebah. Mental timku benar-benar anjlok. Koordinasi antar pemain dilapangan amburadul. Tim lawan dengan mudah menambah poin demi poin. Tidak menunggu lama, babak pertama selesai dengan kekalahan untuk kami.
Benar-benar diluar kendali, Ferdi dan kawan-kawannya seperti tidak punya semangat untuk melanjutkan pertandingan itu. Jeda istirahat pergantian babak yang biasanya dimanfaatkan untuk brifing itu buyar kemana-mana. Para pemain lebih memilih untuk duduk diam meneguk air mineral sembari bermandikan keringat.
Singkat cerita, kami kalah telah dalam dua babak pertama dari tiga babak yang tersedia. Semua terdiam. Warga desa yang jauh-jauh datang meluangkan waktunya mulai beringsut meninggalkan keramaian.
Suara motor menderu deru seakan menyanyikan nada-nada kekecewaan. Tidak ada yang bisa kukatakan dalam kesempatan ini. Bagiku sampai didesa dengan semangat saja itu rasanya sudah lebih baik mengingat betapa buyarnya fikiran saat ini dalam berkendara.
“Makanya kalau mau main itu jangan kelayapan kemana-mana. Jangan segala dimakan!” Tiba-tiba terdengan suara memecah dari tengah-tengah tim yang sedang down menuju jalan pulang itu.
Kulihat itu Tomi yang bicara. Ia memang orang yang paling menggebu-gebu dalam tim. Ia dari semula memang tidak siap untuk kalah.
“Jangan ada yang saling menyalahkan.” Timpalku seketika. “Kita hanya kalah, bukan menyerah. Semangat tim sangat besar hari ini. Ini yang terbesar sejak kita ikut bertanding. Jika kali ini kita kalah, itu kalah bersama. Tidak ada yang salah.” Sambungku.
“…tapi tujuan kita bukan untuk kalah!” Serunya lagi.
“Benar! Tidak satu orangpun yang ingin kalah, tapi yang kalah itu pasti ada karena ada yang menang. Kali ini kita yang kalah dan mereka yang menang.” Jawabku pula berusaha menahan agar susana ini tidak semakin retak. “Hanya saja kita terlalu cepat puas dan menganggap lemah tim lawan. Sedangkan mereka bermain dengan ringan tanpa beban. Itu yang kita tidak punya.”
Kulihat mereka mulai faham. “Ferdi, gimana dengan perutmu, masih mulas?” Tanyaku pula pada Ferdi yang meringkuk disudut bak L300 yang terus melaju itu.
“Sudah mendingan, Bang.” Jawabnya datar.
“Memangnya makan apa kamu tadi?” Tanyaku lagi.
“Sepulang dari sekolah aku belum sempat makan apa-apa, Bang. Takut telat, langsung nyusul teman-teman ke basecamp. Pas disana, lihat ada bakwan…”
“Didalam piring kecil?” Potong Ulil seketika.
“Ya.” Jawab Ferdi
“Langsung kamu makan?”
“Ya.”
“Ga baca bismillah?”
“Lupa.”
“Naaaahhhhh… itu masalahnya. Itu bakwan bekas kemaren. Udah basi!”
“Huuuuuuuuuuu……” Terdengar serempak suara memecah kebekuan. Tetabuh suara gendang bergema pula bersahut tawa renyah mengiringi perjalan pulang.
*
Setahun berlalu. Kemeriahan agustusan kembali hadir dikecamatan kami. Kecamatan Teluk Sepadan. Kali ini tim takraw desa kami hanya hadir sebagai pelengkap. Kalah dibabak penyisihan karena tidak didukung oleh para pemain terbaik yang membawanya masuk final setahun lalu. Squad kami hanya diisi oleh pemain-pemain muda yang belum mampu bermain sebagai tim, tapi cenderung bermain sendiri menunjukkan skil individunya yang baru berkembang. Alhasil, dengan mudah mereka ditekuk tim lawan yang telah memiliki jam terbang jauh diatas mereka.
Selain itu tim-tim lawan telah pula berkembang pesat dalam setahun ini. Tim takraw Desa Lereng Cukam misalnya. Uang pembinaan yang mereka terima sebagai kampiun pada laga lalu itu dialokasikan untuk membangun lapangan yang lebih memadai. Sisanya diinvestasikan pada pengadaan seragam dan selusin bola rotan dengan kualitas baik.
Begitu juga dengan tim dari desa lain yang mendapat dukungan dana pula dari berbagai pihak yang peduli.
*
Sekarang adalah tahun ketiga dalam perayaan agustusan di kecamatan kami. Pertandingan takraw seakan menjadi fenomena tersediri dan kembali diadakan oleh panitia kecamatan dengan peningkatan hadiah dari berbagai sponsor.
Tidak ingin mengulang kesalahan yang sama selama dua tahun berturut-turut, tim desa kami pun berbenah jauh-jauh hari sebelumnya. Tapi entah karena bibitnya yang belum matang atau mungkin masih rapuh, ada-ada saja kendala yang datang merasuki tim.
Fazli, pemuda jangkung kelas 2 SMA yang kami persiapkan jadi tekong utama terlibat perkelahian dengan siswa sekolah lain dua minggu sebelum laga takraw dimulai. Tentu saja ini adalah urusan kriminal yang perlu diselesaikan segera. Belum lagi beberapa pemain lain yang terbawa serta dalam kasus itu karena ikut hadir dalam perkelahian tersebut.
Orang-orang mulai berkata sinis padaku agar tidak berharap banyak pada tim ini, karena dari dulu desa kami memang dikenal sebagai gudangnya pemuda tanpa prestasi. Bisa tampil difinal seperti dua tahun lalu saja itu sudah luar biasa. Tapi aku yakin dalam setiap keburukan itu masih ada kebaikan. Tinggal kita mengasuhnya.
Akhirnya waktu yang ditunggu pun datang. Setelah dilakukan pembagian lot pada hari teknikal miting, jelaslah sudah siapa akan melawan siapa. Tim kami dari Desa Kayu semak kembali berhadapan dengan tim Desa Lereng Cukam seperti dua tahun lalu. Ada beban dari masa itu yang masih terbawa hingga saat ini. Ialah perasaan dipermalukan oleh tim yang terlanjur dianggap remeh. Kali ini hal itu tidak boleh terjadi lagi. Antara dendam dan kehati-hatian, kami bertekad kali ini harus menang. Poin penuh harus diraih pada babak pertama, selanjutnya mempertahankannya pada babak kedua. Sama seperti yang mereka lakukan ketika itu. Jangan sampai permainan berlanjut kebabak ketiga.
*
Waktu masuk lapangan pun tiba. Benar saja seperti kata-kata sinis orang-orang itu, Desa kami memang sulit untuk berprestasi. Baru lima menit waktu berjalan keharmonisan antar pemain mulai buyar. Masing-masing mereka mulai saling berusaha mencetak poin sendiri-sendiri. Sebagai pelatih, aku mulai mulai gelisah. Bayangan kegagalan seperti yang sudah-sudah hadir didepan mata.
Fazli, tekong tim kehilangan konsistensinya. Posisinya acak dan sering meninggalkan pos pertahanannya demi mengejar bola liar yang selalu datang bertubi. Begitu juga dengan Hendri, sang pengumpan yang sering terbawa emosi.
Satu-satunya peluang yang terlihat saat ini adalah tim lawan yang juga kehilangan tekong andalannya. Menurut cerita, pemain inti tersebut sudah pergi merantau sejak sehabis lebaran lalu. Keadaan ini membuat permainan berimbang saling kejar mengejar skor.
Tujuh menit waktu berjalan. Permainan sedikit membaik setelah dilakukan pergantian pemain. Hendri yang sempat terjatuh dan sangat kelelahan setelah bermain cukup hilir mudik kuminta menepi demi memulihkan staminanya.
“Bagaimana kakimu, Hendri?” Tanyaku. Ia mengisyaratkan tidak apa-apa dan masih bisa bermain lagi. Dilapangan poin bertambah dua digit buat kami. Semangat tim bertambah. Aku menyemangati mereka agar tidak lengah terhadap lawan yang juga telah melakukan pergantian pemain. Namun hanya sebentar saja, konsentrasi pemain Kayu semak sempat goyah lagi.
“Fazli, jangan lengah!!” Teriakku. Pemuda jangkung itu seperti tidak mengacuhkanku. Ia tetap hilir mudik meninggalkan wilayah pertahanannya. “Ada apa dengan anak ini?” fikirku. Mengapa ia menjadi liar begitu.
Kemanapun arah bola, ia kejar dan segera mengembalikannya kepada lawan tanpa mau berbagi dengan tim. Seakan-akan ia bisa mengahadang serangan lawan sendirian. Tentu saja hal ini tidak baik untuk mental tim yang sedang berjuang meraih kemenangan. Sekali dua kali apa yang dilakukan Fazli memang membuahkan poin, namun hal tersebut justru membuatnya semakin menggila ingin bermain sendiri dan meninggalkan rekan-rekannya dibelakang.
Tidak mau kalah, Hendri yang telah kembali masuk lapangan juga berusaha meraih bola dengan caranya sendiri. Alhasil suasana tim menjadi tanpa pola dan lebih terlihat seperti ikan-ikan kelaparan yang berebut pakan ditengah kolam.
Alhasil, diakhir waktu tim Kayu Semak hanya menang tipis selisih satu poin dari tim lawan. Tentu hal ini tidak memuaskan bagi tim dan semua offisial yang datang mendukung.
Sepanjang perjalanan pulang tidak satupun diantara kami yang saling bicara. Semua larut dengan perasaan masing-masing. Dadaku gemuruh bila mengingat betapa egoisnya mereka dilapangan tadi. Ada kesan seakan masing-masing bisa berjuang sendiri untuk memenangkan pertandingan. Tidak. ini salah besar. Tidak begitu caranya bermain sebagai tim.
Malam sehabis isya. Kukumpulkan anak-anak itu dilapangan desa. “Apa kalian masih mau melanjutkan kompetisi ini? Atau mundur dengan segala konsekwensinya?” Tanyaku.
Semua hanya diam. Beberapa orang diantaranya lirik kiri kanan, mencari siapa yang mau jawab pertanyaan.
“Fazli, Hendri siapa diantara kalian yang bersedia datang sendirian besok untuk menghadapi tim lawan?” Tanyaku lagi. Kedua pemuda yang kusebutkan namanya mendongak seketika.
“Maksudnya bagaimana, Bang?” Tanya Hendri.
“Bukankah kalian pemain hebat yang bisa bermain sendiri-sendiri menghadapi lawan?” Jawabku. Semua kembali terdiam. Sepertinya mereka faham maksud dibalik kata-kataku itu. “Hebat, kan? Main sendiri-sendiri tidak pedulikan tim dan menang.” Sambungku lagi. “….tapi menang tipis, nyaris kalah. Untung saja diakhir babak pemain lawan terjatuh dan…..kalian menang!!!”
Kudengar suara bisik-bisik di antara mereka. “Ada apa kalian ini? dimana letak salahnya? Potensi-potensi besar tapi dikalahkan ego.”
Diperjalanan pulang tadi aku sempat ingin pasrah pada omongan-omongan itu bahwa tidak akan pernah ada prestasi untuk kampung kami. Kecuali potensi masalah seperti yang sudah-sudah.
“Maaf, Bang.” Tiba-tiba Hendri angkat bicara. “Kami mungkin salah, ego, tapi Abang juga harus ingat satu hal.”
“Apa itu?” Tanyaku segera.
“Sebagai tim kami tidak hanya bertiga atau empat. Ada yang lain; ada Afdal, Indra, Rizki, dan lain-lain. Semua punya potensi. Beri kami semua kesempatan. Apapun hasilnya, kalah atau menang bukan masalah. Jika Abang hanya memainkan tiga atau empat orang, kemampuan dan tenaga kami terbatas. Kami tidak sanggup.”
“Jadi itu alasannya kalian bermain sendiri-sendiri? Biar pertandingan cepat selesai?”
“Ya!” Jawab mereka serempak. Kali ini aku yang terdiam.
“Jadi, apa kalian masih bersedia bertandingan besok?”
“Ya, sebagai tim!!”
“Artinya besok sudah tidak ada aku, yang ada hanya….”
“Kita!!” Potong mereka serempak.
Malam ini kembali kerumah masih penuh keringat. Keringat semangat untuk menuntaskan laga dengan bangga. Apapun hasilnya, sebagai tim kami bangga pernah sama-sama mencicipi laga (*).
Tentang Penulis:
Afrizal Jasman merupakan nama pena dari Afrizal S.Sn. Pria kelahiran Toboh Sikaladi Sintoga pada 15 April 1982. Saat ini tinggal di Kabun Bungo Pasang, Ulakan Tapakis, Padang Pariaman. Afrizal memiliki sanggar yang berada di tanah kelahirannya Toboh Sikaladi, Sintoga Padang Pariaman. Ia dapat dihubungi pada email: afrizaljasmann737@gmail.com. Fb: Afrizal Jasmann (Ajiw) dan Ig: afrizaljasmann2022.
Afrizal Jasman, “Besok Sudah Tidak Ada Aku”, dan Cerpen yang Panjang
Oleh:
Azwar Sutan Malaka, M.Si.
(DPP FLP Wilayah Sumatera Barat dan
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, UPN Veteran Jakarta.)
Afrizal Jasman, seorang seniman multi talenta ini merupakan anggota baru Forum Lingka Forum (FLP) Wilayah Sumatera Barat. Karya-karya Afrizal sejatinya merupakan prosa Panjang, walaupun belakangan ia juga sering menulis prosa pendek (cerpen). Dari novel-novelnya yang saya pernah baca, saya tahu gaya kepenulisan Afrizal yang popular, suka bermain dengan kata-kata baru yang akrab di telinga anak muda. Tema-tema karya Afrizal pun juga banyak tentang kehidupan anak-anak muda.
Sering menulis novel memengaruhi gaya kepenulisan Afrizal dalam menulis cerita pendek. Ia menulis dengan pola Panjang, seolah-seolah menuliskan bab atau bagian pertama dalam novel. Cerita pendek di tangan Afrizal seolah cerita panjang yang belum selesai. Inilah masalahnya ketika menulis dalam genre yang berbeda. Tidak hati-hati atau lengah sedikit saja bisa berdampak fatal pada karya yang dihasilkan. Seperti yang dilakukan Afrizal, menuliskan cerita dalam rentang waktu yang panjang di dalam alur cerita pendek. Walaupun banyak orang yang berpendapat tidak ada teori yang baku dalam menulis karya sastra, artinya seorang penulis atau sastrawan bebas-bebas saja tapi ciri khas karya sastra tidak bisa dihilangkan. Contohnya cerpen ya cerita pendek, tidak bisa disamakan dengan cerita Panjang.
Cerpen sebagaimana namanya cerita pendek. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia cerpen merupakan cerita yang berisi tentang kisah cerita yang tidak lebih dari 10 ribu kata. Pada umumnya cerita pada cerpen bisa memberikan kesan dominan dan berkonsentrasi pada permasalahan satu tokoh. Jika dilihat pengertian cerpen menurut ahli-ahli sastra seperti H.B. Jassin, ia mendefinisikan cerpen adalah sebuah cerita yang memiliki bagian dimana terdapat struktur yang lengkap mulai dari perkenalan, permasalahan dan penyelesaian dari masalah tersebut. Catatan penting menurut Jassin tentang cerpen adalah bagaimana cerita mengandung masalah dan masalah itu diceritakan sampai selesai dalam waktu yang singkat.
Ahli lainnya seperti J.S. Badudu mengatakan cerpen adalah suatu karya cerita yang berpusat pada satu peristiwa kejadian yang dialami oleh satu tokoh saja. Kisah yang terjadi pada cerpen terjadi karena peristiwa yang menumbuhkan peristiwa tersebut. Badudu menggarisbawahi bahwa cerpen merupakan cerita tentang satu peristiwa atau kejadian yang dialami tokoh. Kisah dalam cerpen terjadi karena peristiwa yang dialami tokoh.
Sementara itu Nugroho Notosusanto menyhampaikan bahwa cerpen adalah kisah cerita pendek yang dibuat dalam jumlah kata mulai dari 5000 kata beserta memperkirakan jumlah halaman ketikannya tidak panjang. Selain itu kisah pada cerpen hanya berpusat pada dirinya sendiri yang berarti hanya pada satu tokoh saja. Tekanan menurut Notosusanto tentang cerpen adalah kisah hanya berpusat pada satu tokoh saja.
Penjelasan beberapa ahli terkait cerpen di atas sangat jelas menyatakan bahwa cerpen bukan cerita Panjang yang dibuat pendek. Cerpen bukan bagian dari cerita yang disiapkan untuk menjadi cerita panjang seperti novel. Apakah haram hukumnya membuat novel berawal dari cerpen, tentu tidak ada hukum yang mengatakan begitu. Akan tetapi cara-cara berkarya seperti itu akan memengaruhi bentuk akhir dari sebuah karya, khususnya cerpen.
Bicara tentang cerpen “Besok Sudah Tidak Ada Aku” karya Afrizal, cerpen ini menceritakan tentang tokoh “Aku” yang merupakan salah seorang pelatih olah raga sepak takraw di desanya. Cerpen ini berkisah tentang sebuah klub sepak takraw kampung di sebuah daerah (mungkin di Pariaman) yang berjuang untuk menjadi juara dalam pertandingan sepak takraw antar desa tingkat kecamatan. Di dalam cerpen ini Afrizal menceritakan bahwa kampungnya belum pernah juara sepak takraw yang diadakan rutin setiap tahunnya dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia pada bulan Agustus.
Cerpen ini ditulis oleh Afrizal dengan menarik, ia mengisahkan bagaimana perjuangan tim sepak takraw kampung itu berjuang untuk juara. Ada dinamika tim yang harus diselesaikan yang menjadi masalah di dalam cerpen. Ada semangat untuk membangun tim yang dipersiapkan untuk juara dan pada akhirnya ada keikhlasan dalam menerima hasil dari sebuah proses panjang yang telah mereka lalui. Ending cerita memang belum tau apakah mereka juara atau tidak, tapi cerita ini berakhir dengan happy ending dimana munculnya kesadaran di dalam tim bahwa mereka main sepak takraw bukan permainan individu akan tetapi olah raga itu permainan tim yang membutuhkan kerjasama.
Ending itu menarik, mengingat kesadaran muncul tidak hanya pada tokoh-tokoh pendukung cerita, akan tetapi kesadaran itu juga muncul pada tokoh “Aku” yang merupakan tokoh utama di dalam cerita. “Aku” sebagai pelatih itu juga sadar bahwa dia pernah salah dalam mengambil keputusan untuk tim yang dilatihnya. Kesadaran yang indah untuk akhir sebuah cerpen yang diceritakan dalam rentang waktu cukup panjang ini. Mengingat penulis menceritakan beberapa tahun perjuangan tim sepak takraw kampung mereka dalam mengikuti pertandingan sepak takraw tingkat kecamatan.
Tentang cerpen yang panjang, yang menjadi sorotan saya dalam membaca cerpen “Besok Sudah Tidak Ada Aku” karya Afrizal ini terkait dengan latar waktu yang cukup lama untuk sebuah cerita pendek. Afrizal tidak menceritakan cerita dalam latar yang pendek, tapi dalam latar waktu bertahun-tahun. Hal ini menurut saya lebih cocok untuk menjadi novel atau setidaknya novelet. Sementara itu untuk menjadi cerita pendek, mungkin cerita ini cukup diceritakan dalam satu waktu kejadian saja. Sederhananya cukup diceritakan dinamika pada satu termen pertandingan saja. (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post