Oleh: Elly Delfia
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Meskipun Buya Hamka dan Chairil Anwar telah lama tiada, gelanggang kesusasteraan di Sumatera Barat sepertinya belum akan lengang. Satu lagi karya sastra meluncur dari penulis, penggiat literasi, dan sastrawan, Sumatera Barat, Muhammad Subhan. Buku itu berjudul Jalan Sunyi Paling Duri yang memuat 17 cerpen dan terbit pada Agustus 2022. Buku yang diterbitkan oleh Egypt van Andalas ini berisi pandangan cukup kritis terhadap keadaan dan peristiwa yang terjadi beberapa tahun belakangan.
Pandangan kritis tersebut terlihat pada tema-tema yang dipilih oleh penulis dalam buku ini, di antaranya tema yang cukup populer belakangan, seperti pandemi covid-19, pinjaman online yang membuat peminjam terjebak utang piutang, masalah rantau, kawin campur (mix-marriage), dan sebagainya. Tema tentang covid-19 dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Sania terbaring lemah di tempat tidur. Kepalanya sakit. Ruang dadanya terasa menyempit. Perutnya mual dan beberapa kali ia muntah dan muntahan itu berserakan di lantai tempat tidurnya. Di malam hari, ia merasa dingin yang luar biasa meskipun pendingin ruang telah ia matikan perantara remote control. Perasaan Sania dicemasi takut yang akut. Pikirannya diserang Omicron, virus yang sedang mengganas itu melemahkan imunitas tubuhnya” (Subhan, 2022:85).
Selain tema covid-19, masih ada tema-tema lain yang lebih beragam pada cerpen-cerpen dalam Jalan Sunyi Paling Duri. Walaupun tema cerpen sangat beragam, ada satu benang merah yang menyatukan seluruh cerpen, yaitu sentuhan konteks sosial budaya, khususnya budaya Minangkabau yang hadir hampir dalam setiap cerpen. Analisis wacana kritis yang populer saat ini dapat digunakan untuk mengkaji konteks sosial budaya dalam Jalan Sunyi Paling Duri.
Analisis wacana kritis berpijak pada pandangan Halliday yang menyatakan bahasa adalah semiotika sosial. Artinya, bahasa tidak hanya seperangkat ujaran yang digunakan untuk berkomunikasi, tetapi bahasa terikat dengan kehidupan sosial budaya. Bahasa tidak berdiri sendiri tanpa ada cerminan kehidupan sosial budaya yang diacunya. Dalam pandangan linguistik kritis, Roger Fowler (1983:2) dalam Aminudin (2002:1) menyatakan bahwa kajian bahasa bukan hanya fokus pada pemahaman unsur dan hubungan sistematis bahasa dengan realitas semata, melainkan juga fokus pada upaya memahami bahasa sebagai gejala kehidupan sosial budaya. Gejala kehidupan sosial budaya terdapat dalam teks-teks sastra dan teks lainnya. Gejala tersebut adalah sasaran atau objek kajian analisis wacana kritis.
Kemudian, teks sastra tidak hadir dengan kekosongan belaka. Ada konteks yang menyertainya. Halliday (1992:6) menyebut konteks sebagai teks lain yang menyertai sebuah teks yang sudah ada. Teks lain atau konteks ini bukan hanya dalam bentuk lisan dan tulisan, melainkan termasuk pula kejadian-kejadian nirkata (nonverbal) beserta keseluruhan lingkungan dari teks tersebut, termasuk nilai-nilai. Halliday membagi konteks atas konteks situasi dan konteks sosial budaya yang menyertai sebuah teks. Konteks situasi dijelaskan dengan register, yaitu field (medan), tenor (pelibat), dan mode (moda) (Kristina, 2020:23). Konteks sosial budaya dijelaskan dengan genre dan unsur-unsur sosial pendukung yang ada dalam sebuah teks, seperti identitas, agama, bahasa, dan nilai-nilai budaya yang terdapat pada suku atau komunitas tertentu.
Konteks sosial budaya juga terdapat pada cerpen-cerpen dalam Jalan Sunyi Paling Duri. Hampir seluruh cerpen yang ada dalam buku Jalan Sunyi Paling Duri disertai dengan konteks sosial budaya. Konteks sosial budaya yang cukup dominan dalam cerpen-cerpen dalam Jalan Sunyi Paling Duri adalah budaya Minangkabau. Konteks tersebut dapat diidentifikasi melalui penyebutan latar waktu, tempat, dan peristiwa yang terjadi di dalam cerpen ataupun penyebutan peristiwa yang dialami dan diceritakan oleh tokoh-tokohnya. Salah satunya seperti peristiwa yang diceritakan tokoh utama “saya” dalam cerpen “Rantau yang Jauh”. Tokoh utama menceritakan teman yang ia sebut dengan sebutan “dia” atau “Uni”. Tokoh “dia” atau “Uni” adalah seorang perempuan keturunan Minangkabau-Jawa dengan ayah orang Minangkabau dan Ibu orang Jawa. Ia telah merantau ke Pulau Dewata, Bali sejak kecil karena dibawa ibunya. Setelah dewasa, ia pun telah menikah dengan orang asing di sana dan mempunyai anak-anak namun ia tetap merindukan Padang Panjang sebagai kota kelahirannya, seperti yang terlihat pada kutipan di bawah ini.
”Saya tidak pernah bisa melupakan Padang Panjang, Uda”. Pesan dia masuk lagi. Lekas saya baca dan balas.
“Apa yang Uni ingat dari Padang Panjang?”
“Sejuk udara dan dingin airnya. Bukit Tui, Gunung Singgalang, Tandikek, dan Marapi, Di kakinya hamparan kota nan anggun. Duh rindu sekali.
“Jadi tidak pernah sekalipun Uni pulang ke Padang Panjang?”
“Tidak.”
“Why?”
“Begitulah Uda. Seperti yang saya ceritakan tadi. Padang Panjang adalah hati saya. Saya lahir di sana. Ayah saya berpusara di sana.” (Subhan, 2022:65).
Selain itu, perasaan rindu anak rantau pada kampung halaman juga dapat dilihat pada cerpen “Jalan Sunyi Paling Duri”.
“Rogelio menguatkan Sania. Sania kembali teringat ibunya, juga ayahnya. Ia rindu kampung halamannya di Ranah Minang. Ia ingin pulang” (Subhan, 2022:88).
Konteks budaya yang terdapat dalam cerpen di atas adalah rasa rindu anak rantau pada kampung halaman. Rasa rindu yang timbul karena adanya budaya merantau dalam masyarakat Minangkabau. Merantau berasal dari kata rantau yang artinya tempat di luar wilayah inti tempat bermukimnya suku Minangkabau. Merantau berarti pergi meninggalkan tanah kelahiran yang ada di daerah Minangkabau ke tempat lain atau daerah lain untuk mencari pekerjaan, pengalaman, ataupun untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Meskipun ada beberapa cerpen menyebutkan latar tempat di provinsi lain di Indonesia atau di luar negeri, tokoh-tokoh yang merantau diceritakan tetap rindu pada tanah kelahiran, tanah Minangkabau. Rasa rindu pada tanah kelahiran tidak pernah hilang walaupun mereka sudah bertahun-tahun tinggal di negeri orang. Orang-orang pergi merantau disebabkan oleh berbagai macam alasan, seperti untuk melupakan kesedihan karena konflik yang ada dalam keluarga, mencari pekerjaan, pengalaman hidup, menuntut ilmu, mencari kehidupan yang lebih baik, ikut orang tua, atau ikut suami, dan sebagainya.
Cuplikan cerpen di atas juga merepresentasikan psikologi dalam bentuk perasaan rindu anak rantau pada tanah kelahiran. Perasaan rindu semakin menggebu pada saat seseorang sedang lemah, sakit, atau pada saat paling sulit dan berat dalam hidupnya. Kondisi tersebut membuat anak rantau teringat pada ayah, ibu, dan kampung halaman. Keluarga, tanah kelahiran. Kampung halaman dengan segala dinamika kehidupan sosial budayanya adalah obat penawar dari segala rasa sakit para anak rantau.
Selain budaya merantau yang dilakukan oleh orang Minangkabau, budaya lain yang juga tercermin dalam Jalan Sunyi paling Duri adalah tantangan kawin campur (mix marriage). Kawin campur menyatukan orang-orang yang berbeda bahasa, budaya, dan agama. Tidak jarang pelaku kawin campur akhirnya harus berpisah atau bercerai karena ketidakcocokan atau sulitnya menyamakan visi dan misi dalam menjalani kehidupan karena berbagai perbedaan, seperti yang terlihat pada dua kutipan cerpen di bawah ini.
“Begitulah saya mempunyai sahabat baru di Denpasar meski ia tak asing dengan Padang Panjang, kota kecil tempat saya berdomisili. Di Pulai Dewata itu, ia mengasuh ibunya yang sudah tua, sembari membesarkan dua anak hasil pernikahannya dengan seorang lelaki bule asal Australia. Namun, pernikahannya tidak lama karena keduanya memilih jalan hidup masing-masing disebabkan oleh ketidakcocokan.” (Subhan, 2022:67).
“Sania tahu konsekuensi menikah dengan orang asing . Namun, ia menerima kondisi Rogelio lalu siap mengambil risiko paling buruk. Bahkan, Sania harus kehilangan status sebagai anak dalam keluarganya, karena ayah Sania tidak menyetujui pernikahannya dengan Rogelio. Sementara itu, ibu Sania pasrah dengan keputusan anaknya. Ayah Sania menginginkan Sania menikah dengan pemuda Minang, harapannya agar Sania dapat pulang ke Bukittinggi lalu meneruskan usaha keluarga yang ketika itu sedang dihantam krisis moneter.”(Subhan, 2022:84).
Pada kutipan-kutipan di atas, terlihat sulitnya menjalani kehidupan kawin campur (mix-marriage). Kehidupan yang membutuhkan pengorbanan. Banyak pasangan memilih bercerai setelah mempunyai anak-anak, seperti yang terjadi pada tokoh “Uni” dalam cerpen “Rantau yang Jauh” dan ada pula yang meninggalkan keluarganya dan memilih menikah dengan orang asing seperti yang dilakukan “Sania” dalam cerpen “Jalan Sunyi Paling Duri”.
Kehidupan mix-marriage mengantarkan mereka pada jalan yang sunyi penuh duri. Jalan kehidupan yang berbalut tantangan, kesedihan, dan kesulitan karena banyak hal yang harus dikorbankan dan dipelajari untuk menjalaninya. Dalam cerpen “Jalan Sunyi Paling Duri”, ayah Sania ingin anaknya menikah dengan pemuda Minang untuk melanjutkan usahanya. Selain mudah pulang ke Bukittinggi dan mudah bertemu, tentu ada pertimbangan lain dari ayah Sania yang melarang anaknya menikah dengan orang asing. Pertimbangan tersebut berkaitan dengan perbedaaan budaya dan kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi Sania dalam beradaptasi. Namun, Sania tetap memilih Rogelio, pemuda Amerika dengan menerima segala konsekuensi apa pun yang terjadi dalam kehidupannya. Sania memilih kesulitan hidup yang dianalogikan sebagai jalan sunyi paling duri, Jalan yang membuat Sania mungkin akan kesepian, kesunyian, dan kesakitan seperti tertusuk duri.
Dari deskripsi di atas, disimpulkan bahwa konteks sosial budaya, seperti rantau dan kawin campur adalah bagian penting untuk dijelaskan dalam sebuah karya sastra. Melalui konteks sosial budaya, kita dapat memahami dan belajar tentang berbagai permasalahan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Kita juga dapat memetik hikmah dan pembelajaran hidup dari berbagai permasalahan tersebut.
Selain contoh ulasan di atas, masih banyak hal yang dapat dibicarakan dalam buku Jalan Sunyi Paling Duri. Buku yang kaya dengan nilai-nilai budaya, agama, dan kemanusiaan ini dapat dikaji dengan berbagai pendekatan lainnya, seperti semiotika, sosiologi sastra, stilistika, intertekstual, dan sebagainya.
Discussion about this post