Oleh: Elly Delfia
(Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada)
Ilmu linguistik atau ilmu bahasa terus berkembang dari masa ke masa. Perkembangan linguistik terbaru dikenal dengan sebutan linguistik kontemporer. Perkembangan linguistik kontemporer dapat dimaknai sebagai perkembangan linguistik yang lebih mengacu pada linguistik terapan. Saat ini, ada beberapa trend yang sedang populer dalam perkembangan linguistik terapan. Trend tersebut dapat dilihat pada perkembangan linguistik terapan pada berbagai bidang ilmu berikut ini: linguistik forensik yang merupakan penerapan linguistik pada ilmu hukum dan kriminal, linguistik framing (pembingkaian) berita media massa yang merupakan penerapan ilmu linguistik pada bidang analisis wacana media massa, linguistik toponimi yang merupakan penerapan ilmu linguistik pada bidang ilmu antropologi, linguistik komputasi yang merupakan penerapan ilmu linguistik pada bidang ilmu komputer dan teknologi penerjemahan, serta ekolinguistik yang merupakan penerapan ilmu linguistik pada ekologi atau ilmu tentang alam dan lingkungan.
Setiap model linguistik terapan memiliki daya tarik masing-masing untuk dikaji. Ekolinguistik misalnya. Model linguistik terapan ini merupakan salah satu perkembangan ilmu linguistik yang mengkaji interaksi antara bahasa dan ekologi atau lingkungan. Merujuk kepada artikel Arina Isti’anah yang berjudul “Keanekaragaman Hayati dalam Ekolinguistik”di Scientia.id (01/05/22), ekolinguistik merupakan suatu bidang ilmu yang mempelajari relasi antara bahasa dan ekologi. Ekologi merupakan bidang ilmu yang mengkaji interaksi antara organisme dan lingkungan sekitarnya. Jika dimetaforakan, dalam ekolinguistik, bahasa merupakan jaring-jaring yang terdiri dari organisme dan lingkungan yang di dalamnya sebagai satu kesatuan yang saling tergantung (Skutnabb-Kangas & Harmon, 2018; Isti’anah, 2022).
Dalam ekolinguistik disebutkan bahwa bahasa menjadi bagian penting yang menjaga ekosistem yang menghubungkan manusia dan lingkungan. Pembahasan bahasa dan kaitan dengan lingkungan tidak hanya dapat disaksikan dalam kehidupan sehari-sehari, seperti bagaimana manusia tergantung pada segala sesuatu yang ada di lingkungan. Ketergantungan tersebut salah satunya dapat dilihat dari tingginya frekuensi penggunaan sebuah kata atau istilah. Benda atau tumbuhan yang paling sering disebut dan membuat manusia Indonesia pada umumnya ketergantungan di antaranya kata cabai. Karena tingginya rasa ketergantungan dan kebutuhan terhadap cabai, setiap daerah pasti mempunyai istilah tersendiri untuk menyebut cabai, misalnya dalam bahasa Minangkabau, cabai disebut lado dan dalam bahasa Jawa cabai disebut lombok. Sebutan ini ada karena manusia butuh dan bergantung dengan tanaman yang bernama cabai.
Kenyataan yang mencerminkan ketergantungan manusia dengan alam yang melibatkan bahasa ini tidak hanya didapati dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga tecermin dalam karya sastra. Sebagai karya yang mengandung unsur mimesis atau tiruan dari kenyataan, bahasa-bahasa dalam karya sastra juga menunjukkan ketergantungan pada alam, seperti yang terdapat dalam larik-larik puisi Pablo Neruda, penyair berkebangsaan Spanyol. Ia menunjukkan ketergantungan pada alam dan lingkungan untuk mengekspresikan rasa cinta dan romantismenya.
Diksi dan metafora yang digunakan Pablo Neruda dalam puisi-puisinya adalah diksi dan metafora yang lekat dengan alam dan lingkungan. Hal itu merupakan manifestasi bahwa para penyair tidak tumbuh dengan sendirinya. Penyair tumbuh dan hidup berdampingan dengan alam dan lingkungan sekitarnya karena alasan demikian karya sastra disebut Plato sebagai mimesis atau tiruan atau imitasi dari kenyataan.
Metafora alam dan lingkungan terdapat dalam salah satu buku kumpulan puisi Pablo Neruda yang berjudul 100 Soneta Cinta yang diterbitkan pertama kali oleh Gramedia tahun 2019 dan diterbitkan ulang pada tahun 2022. Puisi-puisi dalam 100 Soneta Cinta melukiskan romantika cinta sang penyair kepada sang istri, Matilde Urrutia. Puisi-puisi tersebut memperlihatkan kedekatan dan ketergantungan Neruda dengan alam, seperti yang tergambar dalam diksi-diksi pada larik-larik puisi berikut:
Kekasih, kekasih, kawanan awan terangkat ke menara angkasa
Bagaikan perempuan tukang cuci yang berjaya, dan segala
Berkilauan dalam warna biru segala bagaikan bintang tunggal
Samudra, perahu, hari tercerabut dan terangkut bersama-sama
Datang dan pandanglah air yang riang dan girang dalam cuaca,
Anak kunci yang memutar bagi semesta, yang alangkah cepat
Datang dan sentuhlah ini mekar api kesemestaan
Sebelum kelopak satu demi satu menjadi layu
(Neruda, 2022:34)
Alam semesta yang disebutkan Neruda dalam larik-larik puisi di atas, di antaranya awan, angkasa, bintang tunggal, samudra, air, hari, cuaca, api, perahu, semesta, kelopak (bunga). Puisi-puisinya menjadi kuat dan memiliki napas saat ia menunjukkan ketergantungan terhadap alam dan lingkungan dengan menyebut satu per satu istilah-istilah yang menjadi bagian dari alam semesta sebagai pilihan kata untuk menganalogikan rasa cinta dan keromantisannya. Penyebutan bagian dari alam merupakan ekspresi ketergantungan Neruda kepada alam bahwa alam memberikan kenyamanan, ketenangan, dan rasa cinta.
Selain menyebut bagian dari alam semesta dan lingkungan, Neruda juga menyebut keanekaragaman hayati yang juga menjadi kajian ekolinguistik dalam puisi-puisinya. Hal itu dapat dilihat dalam larik-larik puisi berikut:
Bukan gundukan pasir Iquiquie yang mengagumkan,
Bukan pula ceruk teluk kecil Rio Dulce di Guatemala: tiada
Yang sanggup mengubah rautmu, yang lembut bagai tepung,
atau tubuh buah anggurmu yang molek, atau mulut gitarmu.
O, jantungku milikku, sejak sebelum segala sunyi bermula,
Dari dataran tinggi yang dikuasai oleh sulur-sulur pohon anggur
Berbaur hingga lapang padang rumput putih yang terpencil:
Dalam tiap-tiap pertiwi, bumi yang berhasil meniru dirimu.
Tapi bahkan lengan-lengan mineral yang pemalu di bebukitan,
Atau ladang salju di Tibet, atau bebatuan di Polandia—semua itu
Tidak bisa mengganti wujudmu, biji gandum yang menggembara
(Neruda, 2022:36)
Keanekaragaman hayati yang terdapat dalam puisi di atas, di antaranya tepung, buah anggur, sulur-sulur pohon anggur, padang rumput, dan biji gandum. Semua itu disebut Neruda sebagai penyair karena tumbuhan-tumbuhan tersebut merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang dekat dengan kesehariannya. Neruda tidak menyebut buah rambutan, pepaya, ataupun semangka dalam puisi-puisinya karena buah-buahan tersebut tidak ada di lingkungannya. Namun, ia menyebut anggur, gandum, tepung, dan padang rumput karena tumbuh-tumbuhan itu yang ada di lingkungannya.
Dalam falsafah adat Minangkabau, ekolinguistik yang menunjukkan ketergantungan manusia pada alam dan lingkungan termanifestasi dalam falsafah adat “alam takambang jadi guru”. Alam tidak hanya tempat manusia bergantung untuk mengambil makanan, menghirup udara, mengambil air, dan mencukupi kebutuhan lainnya, tetapi alam juga dapat menjadi “guru” dan “sekolah”. Alam dan lingkungan disebut dengan bahasa dan istilah-istilah tertentu sebagai tempat manusia belajar dalam menghayati kehidupan. Kemudian, sebagai makhluk ciptaan Tuhan, manusia dapat memetik berbagai hikmah dan pembelajaran dari bahasa yang menunjukkan relasi atau hubungan manusia dengan alam dan lingkungan. Demikian ulasan ekolinguistik dalam puisi-puisi Pablo Neruda. Semoga mencerahkan.
Discussion about this post