Lastry Monika
(Kolumnis Rubrik Renyah Scientia.id)
Aktivitas ngerumpi, bergibah, bergunjing, dan lainnya yang sejenis dengan “ngomongin orang di belakang” seringkali diidentikkan dengan perempuan. Biasanya, aktivitas itu dipandang hanya dilakukan oleh sekumpulan ibu-ibu, entah itu ketika mereka sedang berbelanja sayur atau berkumpul di suatu tempat, seperti warung.
Warung atau dalam bahasa Minangkabau lebih dikenal dengan lapau, selain tempat berbelanja berbagai kebutuhan, juga dianggap sebagai tempat berdialog dan adu argumen. Akan tetapi, kedua hal itu cenderung disematkan kepada laki-laki. Lapau dianggap sebagai tempat bagi mereka untuk membicarakan seputar perpolitikan kampung. Namun, di kampung saya sendiri, saya tidak selalu menemukan hal itu. Saya justru menjumpai fenomena lain yang membuat saya agak geli sendiri.
Beberapa bulan terakhir, kampung saya disemarakkan oleh kampanye pemilihan Wali nagari. Obrolan-obrolan yang sengit sering saya jumpai tengah berlangsung di media sosial, terutama facebook. Tentu saja, obrolan dan adu argumen itu dilakukan oleh anak muda, entah mereka tinggal di rantau ataupun yang menetap di kampung halaman.
Saya kira, obrolan sengit seperti demikian juga berlangsung di lapau, tetapi pada salah satu lapau di kampung saya, tidak saya jumpai obrolan seperti demikian. Saya bilang hanya salah satu karena saya belum melakukan survei ke lapau-lapau yang lainnya. Kebetulan, lapau yang satu ini ialah lapau terdekat dari rumah saya.
Sering sekali, ketika berbelanja ke lapau itu, saya menjumpai sekumpulan bapak-bapak tengah mengobrol. Ketika saya tiba untuk berbelanja, mereka biasanya tiba-tiba diam seribu bahasa. Kadang, saya malah menjadi salah tingkah dengan keheningan itu, tetapi sekembalinya saya ke rumah, mereka tampak mengobrol kembali diselingi tawa, kadang terbahak-bahak kadang cengengesan juga. Kejadian serupa ini tidak hanya saya alami satu kali, tetapi teramat sering.
Hal itu membuat saya enggan untuk berbelanja ke lapau tersebut, terutama ketika terbentuk formasi sekumpulan bapak-bapak tengah mengobrol, tetapi suatu kali saya disuruh ibu untuk membelikannya bumbu memasak sup. Saya agak keberatan dan berkata agar membelinya nanti saja ketika formasi sekumpulan bapak-bapak telah bubar, tetapi sup ibu tengah terjerang dan itu harus disegerakan.
Saya memutuskan untuk masuk lapau lewat pintu belakang. Ternyata, bapak-bapak tetap mengobrol seperti biasanya. Sepertinya mereka tidak tahu ada orang lain yang tengah belanja ke lapau itu. Ketika mencari-cari bumbu pemasak sup, terdengarlah obrolan aneh di telinga saya.
“Lihatlah itu! Anaknya sudah digendong suaminya. Seharusnya ia mengerjakan pekerjaannya!”
“Padahal, banyak pekerjaan lain yang bisa dikerjakan.”
“Seperti menyapu, memasak, dan mencuci. Iya kan?” Lalu mereka tertawa terbahak-bahak.
Rupanya, bapak-bapak ini tengah membicarakan sebuah keluarga yang berada di seberang lapau. Ketika saya lihat, keluarga yang dibicarakan itu tengah baik-baik saja. Anak mereka yang masih balita tengah digendong oleh ayahnya. Ibunya tengah duduk di salah satu kursi yang ada di lapau sembari menggoda anaknya dengan ekspresi lucu. Dalam hati saya menggerutu, lagi pula tahu dari mana bapak-bapak ini persoalan keluarga itu.
Lalu saya menjulurkan kepala ke arah depan lapau. Saya pura-pura mencari bumbu pemasak sup (padahal sudah saya temukan). Bapak-bapak yang tadi terbahak-bahak itu tiba-tiba diam. Mereka seperti kehabisan bahan obrolan. Kali ini, yang salah tingkah justru mereka.
Begitulah kira-kira asal-mula saya menamai mereka “Bapak-Bapak Ngerumpi”. Aktivitas mereka itu juga seperti rutin dilakukan. Biasanya di pagi menjelang siang dan sore hari menjelang Magrib. Ngerumpi dua kali sehari. Asupan rumpi yang teratur. Eh, sudah seperti aturan minum obat saja.
Discussion about this post