Oleh: Dini Maulia, S.S., M.Hum.
(Dosen Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Bahasa Jepang saat ini telah menjadi salah satu bahasa asing yang banyak memberi pengaruh dalam bahasa Indonesia. Proses penyerapan bahasa asing merupakan salah satu produk kunci yang menunjukkan bahwa telah terjadi kontak antara satu bahasa dengan bahasa lain (Haugen, 1950; Weinreich, 1953; Clyne, 1972, 2003). Proses peminjaman ini dapat menunjukkan kepada kita tentang hal apa saja yang telah diajarkan suatu bangsa kepada bangsa lain (Bloomfield, 1973).
Dalam sejarah bahasa Indonesia, bahasa Jepang juga memberikan pengaruh meskipun tidak banyak. Kita dapat melihat kata ramen, sushi, anime, manga, dan kata Jepang lainnya telah dikenal dan digunakan secara luas oleh masyarakat Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa Jepang telah berhasil memperkenalkan kuliner serta produk lainnya kepada Indonesia. Namun, apabila menilik ke belakang, ada suatu masa kosakata bahasa Jepang yang dikenal sangat jauh berbeda dengan saat ini, khususnya bagi siswa SD yang telah mempelajari sejarah panjang penjajahan Jepang. Keberadaan Jepang selama 3,5 tahun di Indonesia mengubah banyak hal dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia pada masa lampau.
Dahulu masyarakat Indonesia mengenal kosakata, seperti dokuritsu junbi cosakai yang berarti BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), dokuritsu junbi inkai yang berarti PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), giyu gun yang berarti laskar rakyat, serta istilah pembagian wilayah, seperti seinendan, keibondan, dan bogodan. Istilah-istilah ini kerap ditemukan dalam buku-buku sejarah yang biasanya menceritakan penjajahan Jepang di Indonesia. Ini tentu membuktikan kepada kita bahwa istilah-istilah militer dalam bahasa Jepang telah menggambarkan apa saja yang dibawa Jepang ke Indonesia pada masa tersebut.
Baik Belanda maupun Jepang, keduanya memiliki strategi penjajahan yang berbeda dari segi kebahasaan. Belanda saat itu memberlakukan aturan untuk mewajibkan bahasa Belanda menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah keguruan (Supardan, 2008: 99). Ini sangat jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Jepang. Jepang menjalankan politik kebahasaan dengan menghapus penggunaan bahasa Belanda terlebih dahulu berupa aturan larangan penggunaan bahasa Belanda, lalu kemudian memperluas penggunaan bahasa Indonesia dan juga bahasa Jepang.
Politik kebahasaan ini juga diterapkan oleh Jepang ketika menjajah Korea. Rivera (2002) menyebutkan bahwa Jepang mengeluarkan kebijakan penting penggunaan bahasa Korea dan bahasa Jepang dalam bidang pendidikan. Ini merupakan langkah-langkah yang ditempuh Jepang untuk membangun landasan pemerintahan kolonial Jepang di Korea.
Masa penjajahan Jepang telah lama usai di Indonesia dan kini Jepang telah diterima sebagai sosok yang berbeda. Namun, kosakata Jepang yang tersisa dalam buku-buku sejarah memiliki bagian yang menarik untuk ditijau kembali. Salah satunya dari segi ejaan bahasa Jepang di Indonesia pada masa lampau. Poplack dan Nathalie (2012) menyatakan bahwa peminjaman kata asing yang dilakukan secara luas dan berulang-ulang akan menyebabkan perubahan identitas kata yang dipinjam. Perubahan identitas yang dimaksud terkait bunyi dan bentuk, yang kemudian beradaptasi dengan sistem bunyi dan bentuk bahasa yang meminjan kata asing tersebut. Proses adaptasi ini menunjukkan bentuk-bentuk penyesuaian ejaan yang menarik untuk dibahas.
Bahasa Jepang dan bahasa Indonesia memiliki bentuk aksara yang jauh berbeda. Di Jepang, terdapat empat jenis aksara yang digunakan, yaitu kanji, hiragana, katakana, dan romaji. Keempat jenis huruf ini memiliki fungsi yang berbeda. Kanji merupakan aksara yang dipakai secara umum di Jepang. Huruf ini merupakan huruf tertua yang telah digunakan di Jepang sejak abad V. Keberadaan kanji harus melewati 1500 tahun lamanya untuk dapat digunakan secara resmi di Jepang. Hingga saat ini terdapat 1945 huruf kanji yang digunakan untuk kata-kata sehari-hari di Jepang (Tjandra: 2007).
Melalui kanji yang disederhanakan, dilahirkan huruf kana. Kana diciptakan pada periode Heian untuk kebutuhan pada masa itu. Sutedi (2003) menjelaskan bahwa huruf kana masing masing berjumlah 46 huruf. Sementara itu, hiragana dan katakana termasuk ke dalam huruf kana. Hiragana digunakan untuk menulis kata-kata asli dalam bahasa Jepang dan katakana digunakan untuk menulis kata-kata yang berasal dari tiruan bunyi (dikenal juga dengan istilah onomatope) yang sangat kaya yang berasal dari bahasa asing selain Cina. Terakhir, huruf romaji yang merupakan huruf Latin yang juga digunakan di Jepang.
Bentuk huruf yang berbeda menyebabkan suatu bahasa memiliki sistem ejaan tertentu. Melalui sistem ejaan itu, sebuah kata akan mudah dipahami ketika digunakan ataupun diserap oleh bahasa lain. Namun, beberapa sistem ejaan bahasa Jepang yang digunakan pada masa lampau menunjukkan sistem yang kurang teratur. Beberapa kata dieja dengan bentuk yang tidak teratur dalam beberapa proses, seperti pemendekan bunyi dan perubahan bunyi. Gamong (1980) menyatakan bahwa ketika suatu bunyi secara akustis dibunyikan, akan ada dua buah fonem terdengar menjadi satu fonem dalam pembentukan kata tersebut. Fonem dalam bidang linguistik merupakan unsur bunyi terkecil yang dapat membedakan makna.
Dalam bahasa Jepang, dikenal sistem bunyi vokal panjang. Bunyi panjang ini mempengaruhi kata dalam bahasa Jepang. Misalnya, biru yang berarti ‘bangunan’ akan berbeda dengan biiru yang berarti ‘bir’ (jenis minuman). Dalam bahasa Indonesia, sistem vokal panjang tidak dikenal. Akibatnya, ketika mendengar bunyi vokal panjang dalam bahasa Jepang, akan terdengar sama dengan kata yang tidak memiliki vokal panjang. Ini kemudian menyebabkan beberapa ejaan bahasa Jepang pada masa lampau tercatat dengan bunyi kata yang lebih pendek dari seharusnya.
Kata gakko dan senso misalnya. Kata-kata ini harusnya ditulis dengan ejaan yang menunjukkan bunyi vokal panjang. Cara penulisannya dapat dilakukan dengan menulis semua huruf hiragana yang terdapat dalam kata atau bisa juga menuliskan huruf vokal secara rangkap pada bunyi yang panjang. Dengan demikian, kata-kata tadi seharusnya dituliskan dengan gakkou atau gakkoo yang berarti ‘sekolah’ dan sensou atau sensoo yang berarti ‘perang’.
Selain itu, juga terdapat perubahan bunyi dalam penulisan bahasa Jepang. Kiparsky (2003) mengatakan bahwa dalam proses pemerolehan bahasa melalui sistem pembelajaran akan terdapat proses perubahan bunyi dari bunyi asal diakibatkan proses internalisasi dari sistem fonologis bahasa sasaran. Secera sederhana, dapat diketahui bahwa dalam proses pembelajaran bahasa, perubahan bunyi merupakan fenomena yang biasa terjadi karena sistem bunyi bahasa yang berbeda antara bahasa ibu yang dikuasai seorang penutur dengan bahasa asing yang dipelajarinya.
Keberadaan Jepang di Indonesia pada masa penjajahan terjadi dalam kurun waktu yang cukup singkat. Ketika masa penjajahan berakhir, Jepang meninggalkan Indonesia dan kontak antara pribumi dan Jepang menjadi sangat renggang, khususnya ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Interaksi menggunakan bahasa Jepang juga menjadi berkurang bahkan mungkin hilang sehingga dalam proses pencatatan kata, para narasumber hanya berusaha mengingat sisa-sisa bunyi yang sudah tidak akurat lagi.
Pada kata hozo, dapat dilihat bahwa harusnya dituliskan dengan housou yang berarti ‘penyiaran’. Bunyi [s] dan [z] memiliki deskripsi fonologis yang sama dalam bahasa Indonesia, yaitu merupakan konsonan alveolar. Keduanya dihasilkan dengan cara artikulasi yang hampir sama dalam sistem bunyi bahasa Indonesia. Itu yang kemudian menyebabkan pergantian bunyi di antara keduanya.
Selain itu, juga ada kata shyakusho yang seharusnya ditulis dengan shiyakuso yang berarti ‘kantor walikota’. Pada bunyi ini, terdapat penghilangan bunyi i dalam bahasa Indonesia. Sementara itu, sy merupakan ejaan yang berasal dari bunyi bahasa Arab. Perubahan bunyi ini terjadi sebagai akibat dari pengaruh sistem bunyi bahasa Arab yang lebih dahulu diserap oleh bahasa Indonesia.
Tidak hanya perubahan, dalam penyerapan bahasa Jepang, juga terdapat penulisan ejaan yang tidak konsisten. Pada masa penjajahan, ejaan yang digunakan di Indonesia merujuk pada ejaan van Ophuijsen. Bunyi-bunyi seperti c masih dituliskan dengan tj sehingga untuk kata ch akan direalisasikan dengan ejaan ty. Kata guntyo yang berarti ‘kepala daerah’ merupakan akibat dari ejaan tersebut yang seharusnya berasal dari gunchou atau gunchoo. Namun, ejaan ini tidak konsisten diterapkan. Misalnya, pada kata tshisjokan yang merupakan perubahan dari kata chishokan. Terdapat bentuk yang tidak konsisten untuk ejaan bunyi c yang ditulis ty dan tsh.
Pemendekan serta perubahan bunyi yang terjadi dalam ejaan ini membuktikan bahwa penyebaran bahasa Jepang di Indonesia terjadi dalam waktu singkat sehingga tidak memungkinkan untuk membuat ejaan resmi yang tersistem untuk bunyi dalam bahasa Jepang. Selain itu, pembelajaran bahasa Jepang di Indonesia lebih dominan terjadi secara lisan daripada tulisan. Hal ini juga menyebabkan proses deteksi bunyi menjadi lebih sulit sehingga semua kosakata ditulis berdasarkan apa yang didengar saja, tidak dikonfirmasi secara tertulis kepada penutur bahasa Jepang asli.
Discussion about this post