Lastry Monika
Kolumnis Rubrik Renyah Scientia.id
Antara pembaca karya fiksi dan non fiksi tidak selalu berjalan bergandengan. Sering pula di antara keduanya terjadi selisih paham dan mengkultuskan bacaan masing-masing sebagai yang paling penting dan berguna. Beberapa kali, saya menemukan perdebatan perihal ini di kolom komentar sebuah utas Twitter.
Sebuah cuitan pernah membagikan daftar bacaan Jisoo, seorang idol Korea yang terkenal dengan grup Blackpink. Ada puluhan buku di daftar tersebut. Lalu ada pengguna Twitter lain yang mengomentari cuitan itu dengan menyayangkan bahwa bacaan Jisoo didominasi oleh novel, buku-buku fiksi saja. Ada anggapan dari pengguna itu bahwa buku fiksi seperti novel bukanlah bacaan yang penting. Fiksi baginya tergolong bacaan yang kurang bermutu, bukan prioritas, dan tidak memberi manfaat.
Kesenggangan antara pembaca karya fiksi dan nonfiksi ini tidak hanya sekali itu terjadi di jagat per-twitter-an. Pernah pula, di awal tahun lalu seorang yang mungkin pembaca nonfiksi mengatakan fiksi memiliki keterbatasan sebagai genre. Keterbatasan yang ia maksud ialah karena karya fiksi bergantung pada ambuguitas yang tidak menyajikan kejelasan tentang fenomena, proses, dan sebab-akibat. Selain itu, fiksi juga ia anggap bersifat personal, tidak menyentuh masalah sosial yang cenderung bersifat impersonal. Kedua hal itu disebutnya “mengaburkan pemahaman struktural atas suatu persoalan”. Kolom komentar pun ramai oleh perdebatan.
Sebagai seorang yang bersinggungan dengan bacaan karya fiksi sekaligus nonfiksi, saya berada di pihak yang tidak setuju dengan pendapat tersebut. Agak disayangkan sebetulnya, ketika orang yang mengaku sejak SMA telah membaca karya fiksi sekaligus belajar menganalisis sastra berpendapat seperti demikian. Terlebih bacaan yang ia maksud meliputi 1984, Animal Farm, Gadis Pantai, Siti Nurbaya, Salah Asuhan, dan banyak karya lainnya. Saya rasa, tidak tepat bila karya-karya besar tersebut digolongkan tidak menyajikan fenomena yang jelas, proses, dan sebab-akibat. Apalagi jika menempatkan karya-karya itu bersifat personal semata.
Ambiguitas dalam karya fiksi menurut saya bukan berarti “tidak menyajikan kejelasan”, namun justru menghadirkan kemungkinan-kemungkinan yang luas. Dari sanalah beragam fenomena realitas sosial dengan beragam sebab-akibatnya dapat dipahami setelah membacanya. Karya-karya di atas saja misalnya, masih dikaji lagi dan lagi dengan berbagai perspektif. Kajian dapat pula menguak realitas sosial yang sebelumnya tidak terbaca. Oleh sebab itu, menurut saya membaca karya fiksi tidak selesai dengan sekadar “membaca”. Setidaknya kita memiliki cara pandang yang terbuka. Sebab, sebuah karya fiksi berpotensi memberi pengaruh dengan cara berbeda dari yang dilakukan penulisnya. Terlebih lagi, yang perlu dipahami pula ialah karya fiksi selalu berpeluang menghadirkan seperangkat nilai yang bahkan tidak disengaja hadir di dalamnya. Inilah yang dapat ditemukan oleh pembaca dan dapat berbeda dari satu pembaca dengan pembaca lainnya.
Perlu disadari pula bahwa melalui karya fiksi juga dapat ditemukan refleksi ideologi dan hegemoni kekuasaan pada suatu masa yang menjadi latarnya. Kedua hal ini termuat dalam daftar karya fiksi yang pernah dibaca oleh si pembuat cuitan. Oleh sebab itu, saya kira tidak ada satu pun yang keliru dengan membaca karya fiksi, jangan-jangan yang keliru itu ialah cara pandang kita sebagai pembaca.
Apabila belum menemukan hal-hal yang dipersoalkan tadi dalam banyaknya buku fiksi yang dibaca, mungkin perlu membaca karya fiksi lebih banyak lagi. Apabila belum bertemu juga, mungkin baca karya fiksi tidak selesai dengan sekadar “membaca” lalu buku ditaruh di raknya. Sebab sebagaimana karya fiksi itu, membaca karya fiksi seharusnya menemukan cara pandang manusia dari konsekuensi realitas sosial yang seringkali timpang.
Discussion about this post