Minggu, 24/8/25 | 07:40 WIB
  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
Scientia Indonesia
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
Scientia Indonesia
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
  • RENYAH
  • TIPS
Home LITERASI PUISI

Puisi-puisi Ria Febrina

Minggu, 13/2/22 | 07:00 WIB

Batu Nisan

tak sudah-sudah kau debat batu nisan ini
yang sudah berlumut dan berkerak oleh dosa kita
almarhum yang kausebut-sebut itu adikmu sendiri
adik bungsu yang sudah dikalang tanah

kausebut juga utang dan tingkahnya
sedang kau lupa pada piutangmu kepadanya
bukan tembaga, tetapi emas yang kaulilitkan
di leher keriputmu itu
hadiah darinya yang dulu kaupuja

bukan sepetak sawah, juga sehektar kebun
yang kami pinta dari adik laki-lakimu
tapi sebuah batu nisan agar kubur adikmu berupa rumah

kaki-kaki yang ke sana tak lagi membedakan
pematang dan rumahnya yang sudah dikepit oleh harga
diimpit oleh tanah yang susah di tengah kota
sementara orang-orang terus tiada
dari pagi hingga ke senja tiba

BACAJUGA

Serba-serbi Kritik Sosial Habis Lebaran

Praktik Menyunting

Minggu, 17/8/25 | 14:06 WIB
Serba-serbi Kritik Sosial Habis Lebaran

Tradisi Menyalin dan Menulis dari “Naskah” atau “Manuskrip”

Minggu, 03/8/25 | 15:42 WIB

tak sudah-sudah kau debat batu nisan ini
sudah kubayar sewa kuburan adikmu itu
dari keringat kasar tangan
dan juga ompong gigiku ini
agar bisa kubertakziah ke kuburan adikku
—yang  mungkin sulit kauanggap sebagai adikmu itu

rumah, sawah, kebun, dan halaman yang kauhuni
adalah peninggalan orang tuaku juga
karena engkau yang perempuan
kujunjung ibu di kepalamu, tapi kau hinakan adikmu
bagai mayat tanpa nama

tak sudah-sudah kaudebat batu nisan ini
di hadapanku yang masih hidup

ketika aku tiada nanti, pasti kauumpat juga dengan kata
sudahlah, memang aku tak punya orang tua
dan juga rumah untukku pulang
malu berharap kepada kakak perempuan
yang gila harta dan warisan

 

Laut Laki-laki

terjala juga olehku masa lalu
di antara ombak yang tidak lagi melandai
ada kisah pelaut tanpa nama
yang malam-malam memukat air mata
darah membeku di antara keriput tangan
demi terkenang semata wayang
anak tak beribu agar tak berbapak

terjala juga olehku kapal karam
puing-puing doa timbul tenggelam
anak-anak yang merupa ikan dalam jala
melaut melaut saja
meski harapan hanya berbatas

terjala juga olehku kisah
hantu laut yang mengincar darah
untuk tumbal para nelayan
tak terombang-ambing di antara duka

sedang aku duduk di tepi karang
dengan pongah membawa tangisan
dibelai dikecoh perempuan
yang diembus angin pantai
bak kida-kida ujung selendang

jala menjala aku ke mata
mata berbenih penuh kisah
sedang laut tak selalu murka
patutkah aku duduk melamun di ujung senja?

jala menjala si anak dara
aku tertipu dengan celak mereka
baiklah kupulang dengan kisah
terngiang perempuan seorang tua
tempat kembali dari lara

 

Potlatch

laki-laki itu terlalu angkuh
di antara anak-anak yang kelaparan
perempuan-perempuan janda yang gelandangan
juga lelaki tua yang tak bisa pulang
dan orang-orang yang sudah diikat hutang
lelaki itu tampak sangat angkuh

di depan kamera mewah
ia lupa dengan masa lalu
dengan sombong melempar harta benda
seharga sebuah rumah tangga
yang tidak tahu esok akan makan apa

di layar kaca mereka berlomba
menghancurkan dan membuang harta
karena crypto semata
mereka berkata lupa pernah makan dengan air mata
padahal masa muda dilalui di antara jalanan senja
mengais dan menadah dari orang yang berbelas kata

dan kini
hanya karena sebuah prestise
pakaian, harta benda, dan uang jadi pajangan
dibuang-buang di tengah orang-orang busung lapar
demi sebuah konten dan kemewahan

“Akulah satu-satunya pohon besar.
Bawa penghitung harta ke sini dan kau akan sia-sia.
Sudah pasti tak akan cukup angka tertera di layarnya.
Diam. Diamlah kau di sana. Biar kuciptakan longsoran harta
dengan cipratan lembaran-lembaran dolar Singapura
puja-pujalah aku dengan mulutmu
dan maki-makilah aku dengan dengkimu.”

ini dunia-dunia apa?
orang-orang tidak bangga dengan cendekia

 

Biodata Penulis:

Ria Febrina, lahir di Batusangkar pada 3 Februari 1988. Ia menamatkan S-1 dan S-2 di Universitas Andalas dan saat ini sedang menempuh studi S-3 di Universitas Gadjah Mada Program Doktor Ilmu-ilmu Humaniora. Sejak tahun 2015, ia mengabdi sebagai dosen di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas, Padang. Puisi dan cerpennya pernah dimuat di Harian Padang Ekspres, Majalah P’Mails, Jurnal Bogor, Scientia, antologi puisi Dua Episode Pacar Merah (2005), antologi cerpen Jemari Laurin (2007), dan antologi cerpen Rumah Ibu (2013).

Tags: #Ria Febrina
ShareTweetShareSend
Berita Sebelum

Puisi-puisi Fury Buhair dan Ulasannya oleh Ragdi F. Daye

Berita Sesudah

Apakah Kata “bapak” dan “ibu” Harus Ditulis dalam Huruf Kapital ?

Berita Terkait

Puisi-puisi M. Subarkah

Puisi-puisi M. Subarkah

Minggu, 17/8/25 | 16:52 WIB

Ilustrasi:Meta AI Suara dari Sajadah Ayah Oleh: M. Subarkah Di atas sajadah usang itu, ayah duduk seperti gunung yang berzikir....

Puisi-puisi Kurnia Maesaroh

Puisi-puisi Kurnia Maesaroh

Minggu, 10/8/25 | 14:12 WIB

Ilustrasi: Meta AI Mengusahakan Akhir, Menumpuk Sakit Oleh: Kurnia Maesaroh Kini t'lah mencapai akhir Dari akhir yang terus diusahakan kemarin...

Puisi-puisi Hanaa Kamilia

Puisi-puisi Hanaa Kamilia

Minggu, 03/8/25 | 16:28 WIB

Ilustrasi: Meta AI Laut Bulan Februari Karya : Hanaa Kamilia Memikul gulungan pertanyaan di hatimu Menyeret getar jiwa berjarak dari...

Puisi-puisi Afny Dwi Sahira

Puisi-puisi Afny Dwi Sahira

Minggu, 27/7/25 | 14:38 WIB

Ilustrasi: Meta AI Tangis Naskah ke 50 Oleh : Afny Dwi Sahira Jari-jari tangan terbalut kapas Surat penolakan ke-49 datang...

Puisi-puisi M. Subarkah

Puisi-puisi M. Subarkah

Minggu, 20/7/25 | 12:39 WIB

Ilustrasi: Meta AI Senja di Muara Padang Oleh: M. Subarkah  Senja menetes di ujung muara Langit berwarna kunyit bercampur saga...

Puisi-puisi Salwa Ratri Wahyuni

Puisi-puisi Salwa Ratri Wahyuni

Minggu, 06/7/25 | 11:46 WIB

Ilustrasi: Meta AI Hujan dan Macam-Macam Ketertundaan Oleh: Salwa Ratri Wahyuni september mengasuh nyawa bumi, dingin, lembab, serta berkabut pekat,...

Berita Sesudah
Diksi Cantik sebagai Identitas Perempuan di Instagram

Apakah Kata “bapak” dan “ibu” Harus Ditulis dalam Huruf Kapital ?

Discussion about this post

POPULER

  • Gubernur Sumbar terima penghargaan.[foto : ist]

    Sumbar Raih Penghargaan Nasional Perhutanan Sosial 2025

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pawai Alegoris Meriahkan HUT ke-80 RI di Kota Pariaman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • IPNU-IPPNU Pesisir Selatan Cetak Pemimpin Baru, Teguhkan Semangat Kaderisasi Pelajar NU

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kebakaran di Dadok Tunggul Hitam Padang Hanguskan Ruko, Pemilik Meninggal Dunia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sumbang 12 untuk Puti Bungsu Minangkabau

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mahyeldi Lantik 14 Pejabat Baru, Dorong Kinerja Pemprov Sumbar Lebih Profesional

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pelantikan 104 Pejabat Kota Pariaman, Wali Kota Ingatkan Hindari Korupsi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Scientia Indonesia

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024

Navigate Site

  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024