Benang Darah Bangsaku
Benang-benang dirajut,
melintasi pembuluh darah
melagukan memori sejarah
suci berani
anak-cucuku jangan lupa
76 lingkaran kukalungkan di dada,
lima dasar kutanamkan dalam jiwa
ingatlah Tuhan Yang Maha Esa
membimbing negara hidup merdeka
Lahirkan jiwa-jiwa patriotnya,
di masajid dan sanggar pendidikan
satukan jiwa-jiwanya
menjelma adidaya kerajaan
Jarum patah tumbuh seribu,
kulihat benang dijahit lagi generasi muda
lamat-lamat tersimpul di pembuluh nadi
berkibar di bola mata
menjelma lagi bendera yang
kali esok menjemput cita-cita
: bangsa, Asia, dunia
Bengkulu, 13 Agustus 2021
Mimpi Kecil di Negeri Kecil
Tubuh cacil di jalan lapang,
pakaian tipis bertambal lumpur jalan
menjaja angkringan receh rupiah
satu saja mimpi, ‘ingin sekolah’
Tiga ribu untuk makan,
sepuluh ribu tabungan
sepuluh tahun kurekam
gigi gemeretak, hati yang retak
mimpi kering, tangis yang daras
Sekolah semakin mahal,
ia tuna aksara
buangan semenjak bayi
hanya bermimpi bak anak raja
Tahun ini aku yang bermimpi,
ke pasar gelap
: menjual ginjal, izinkan ia punya rumah
: menjual mata, izinkan ia bersekolah
: menjual jantung, izinkan ia mencicipi kehidupan
Aku,
ingin mati satu hari
agar ia hidup selamanya
aku…
kakak kandung yang membunuh
orang tuanya, sang raja.
Negeri Bedebah, 20 November 2020
Waktu yang Kurindu
Arakan jingga merah melintas lugas,
kernyitan oren langit sore memudar
sautan camar riang menyambut tamu istimewa
Takzim, ombak lautan beriring
kelam malam menyisir
kerikil pantai berdesir, sesekali berguling ditiup seliran angin
Gema suara merdu dari sudut kota,
menyapa rindu yang tersimpan setahun lama
nenek menyedu secangkir luak
kakek terduduk haru menyimak panggilan Tuhan
Gemericik air wudhu’ mengalir indah
pelan, menghapus dosa yang hinggap di persendian anak adam
larian kecil anak-anak menyambang surau
ramai mengusir sepi
cerita malam itu terulang kembali
Bumi bersujud,
milyaran bersimpuh haru
bermunajat menyapa langit, berdoa khusyu’ menghias waktu
Sungguh aku rindu
dengan tulus kuberbisik,
“Selamat datang Ramadhan-ku”
Jakarta, 12 Mei 2018
Usap Air Mata, 1443 H
Malam tunawicara,
menyibak lembar setahun
paragraf tangis
: raib, hilang, mimpi, rindu
Bumi melepas bunga-bunga wangi,
mengalir ke bumantara
dalam sisa harum melodi
menyisakan isak sendu
manusia tersesat dalam elegi
Digital layar masygul berputar,
surat kabar berbisik di televisi
menenggelamkan mata anak cucu
memandu jiwa lupus iman
menjelma insan tunahati
Butir-butir beras di tudung habis,
rumah-rumah lapar
kosong dari bahan pokok
kosong dari penghuni
Para tikus bertaruh,
memancing di air keruh
demi sepotong ikan tenggiri
kawan diumpan sakit dibagi
hasil negeri diraup kantong sendiri
Suntik sibuk menembus darah,
perang manusia dengan makhluk kecil
namun lupa perang historis
kebodohan berkecambah di akal dan hati
Runtuh hari-hari,
tapi semalam kulihat langit
bayang-bayang gelap itu mulai mati
malam disisir jemari bulan
umpama tangan menyapu tangis
berbisik, tahun ini kita mampu berharap lagi
Kesulitan dicipta ‘tuk menyulam mimpi,
bak awal hijrah para nabi
dibimbing ilmu ilahi
jatuh bangkit melahirkan bumi
1 Muharram 1443 H/9 Agustus 2021
Biodata Penulis:
Fury Buhair lahir di bumi Rafflesia tahun 1997. Hobi menulis puisi dan berenang. Juga senang bermain tenis dan sepatu roda, serta bertualang ke gunung dan hutan. Baginya, menulis ibarat membisik cinta di reranting, membubuh harap di kolong langit, menitip pesan di hati manusia. “Dengan menulis ku-anugerahkan buah tangan dari pengembaraan panjang hidupku, untuk dunia. Suka tak suka, kupikir tulisan selalu mampu merubah mereka.” Jika ingin mengenal lebih intens, dapat mampir ke laman puisi https://sastrafury.wordpress.com dan instagram @fury.buhair. Buku kumpulan puisinya berjudul Melodi Malam (2021).
Respons Suasana yang Liris
Oleh: Ragdi F. Daye
(buku terbaru yang memuat puisinya Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian, 2021)
Aku,
ingin mati satu hari
agar ia hidup selamanya
Sebagai karya seni yang menggunakan kata-kata (bahasa) sebagai media estetisnya, puisi mengandung struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan. Puisi tentunya memiliki tema atau permasalahan yang hendak dikemukakan penyair untuk menggugah perasaan atau pun pikiran pembaca. Sebuah puisi bisa berisi tentang suatu kejadian, fenomena, peristiwa atau hal-hal yang berkaitan dengan seorang penyair. Selain itu, sebuah puisi juga bisa memiliki banyak makna. Hal itu tergantung dari isi dan tema yang ingin dikemukakan oleh penyair kepada pembaca.
Suasana dalam puisi adalah apa yang dirasakan oleh penyair yang dituangkan ke dalam tulisan dengan menggunakan tatanan bahasa yang menarik, unik, dan kreatif. Suasana juga dapat mempengaruhi perasaan atau penghayatan para pembaca, seperti suasana sedih, marah, senang dan lain sebagainya.
Pada edisi pekan ini, Kreatika memuat empat buah puisi karya Fury Buhair dengan judul “Benang Darah Bangsaku”, “Mimpi Kecil di Negeri Kecil”, “Waktu yang Kurindu”, dan “Usap Air Mata, 1443 H.”
Puisi pertama mengungkapkan tanggapan Fury tentang kondisi bangsanya, seperti berikut: ‘Benang-benang dirajut,/ melintasi pembuluh darah/ /melagukan memori sejarah/ suci berani/ anak-cucuku jangan lupa// ….// Jarum patah tumbuh seribu,/ kulihat benang dijahit lagi generasi muda/ lamat-lamat tersimpul di pembuluh nadi/ berkibar di bola mata/ menjelma lagi bendera yang/ kali esok menjemput cita-cita’.
Perjalanan sejarah suatu bangsa melibatkan peran generasi ke generasi, perjuangan untuk kemerdekaan, mengisi kemerdekaan dengan pembangunan, dan mempertahankan kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan selalu mengingat sejarah dan meningkatkan kualitas bangsa untuk cita-cita masa depan yang gemilang sehingga tidak terjerumus menjadi korban penjajahan dalam bentuk lain.
Kedudukan manusia dan sastra memiliki peranan masing-masing. Manusia adalah sebagai pencipta karya sastra dan karya sastra dikembalikan kepada manusia, yakni pembaca untuk dinikmati, dihayati, bahkan dijadikan sarana pendidikan untuk memperhalus perasaan dan membentuk kepribadian. Dari penilaian yang demikian terhadap karya sastra dan hubungannya dengan manusia, jelaslah bahwa antara manusia dengan karya sastra terdapat hubungan yang tak dapat dipisahkan. Kedekatan hubungan antara manusia dan sastra dapat dilihat dari keterangan berikut ini, sebagaimana halnya kebudayaan atau kesenian, sastra sebagai salah satu unsur sastra yang paling dominan dan setia, tiadalah dapat diwujudkan dalam bentuk yang nyata tanpa kehadiran manusia (Ali, 1986).
Sebab diciptakan oleh manusia dan untuk manusia karena itu puisi berhubungan erat dengan realitas kehidupan manusia. Ia tak semata-mata berisi khayalan semu penyair yang lepas selepas-lepasnya dari lingkungan kehidupan sosial yang dihadapi penyair. Sebagai makhluk sosial, apa yang ditulis penyair dapat mewakili pandangan kritisnya terhadap situasi dan kodisi yang terjadi.
Pada puisi kedua, Fury menulis tentang anak-anak terlantar yang tidak mendapatkan hak pendidikan dengan layak. Terlihat pada larik-larik berikut: ’Sekolah semakin mahal,/ ia tuna aksara/ buangan semenjak bayi/ hanya bermimpi bak anak raja// Tahun ini aku yang bermimpi,/ ke pasar gelap/ : menjual ginjal, izinkan ia punya rumah/ : menjual mata, izinkan ia bersekolah/ : menjual jantung, izinkan ia mencicipi kehidupan’. Penyair menggunakan gaya bahasa hiperbolis menyampaikan keinginan membantu dengan cara mengorbankan dirinya, yakni dengan cara menjual organ tubuh (ginjal, mata, jantung) untuk mendapatkan dana agar dapat membantu si anak telantar (punya rumah, bersekolah, mencicipi kehidupan).
Sikap penyair yang mencoba berempati ini memang tidak mesti dibuktikan secara harfiah karena makna sesungguhnya lebih berisi kritik terdapat pembangunan yang bertujuan untuk menyejahterakan warga negara. Di samping itu, juga pesan sosial agar setiap manusia mempunyai rasa peduli atas nasib manusia lain.
Puisi ketiga dan keempat lebih mengarah pada muatan religiositas, ‘Gemericik air wudhu’ mengalir indah/ pelan, menghapus dosa yang hinggap di persendian anak adam/ larian kecil anak-anak menyambang surau/ ramai mengusir sepi/ cerita malam itu terulang kembali// Bumi bersujud,/ milyaran bersimpuh haru/bermunajat menyapa langit, berdoa khusyu’ menghias waktu// Sungguh aku rindu’. Puisi ini menggambarkan suasana religiositas yang damai dan khidmat dalam bentuk aktivitas ummat yang beribadah kepada Tuhan, bumi dan manusia yang beriman.
Puisi selanjutnya lebih berat dengan beberapa diksi yang berkesan murung, seperti ‘runtuh’, ‘gelap’, ‘mati’, ‘tangis’, ‘kesulitan’, dan ‘jatuh’. Diksi-diksi tersebut menyiratkan rintangan yang menghadang, masalah di dalam rentang kehidupan, ataupun kesulitan-kesulitan. Namun, kondisi tersebut tidak untuk dihadapi dengan frustrasi melainkan dengan tindakan bijak dan bergerak bangkit menyelesaikan persoalan: ‘Runtuh hari-hari,/ tapi semalam kulihat langit/ bayang-bayang gelap itu mulai mati/ malam disisir jemari bulan/ umpama tangan menyapu tangis/ berbisik, tahun ini kita mampu berharap lagi// Kesulitan dicipta ‘tuk menyulam mimpi,/ bak awal hijrah para nabi/ dibimbing ilmu ilahi/ jatuh bangkit melahirkan bumi’.
Puisi adalah respons penyair dan bagaimana seorang penyair memandang realita yang terbentang di dalam kehidupan.[]
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post