Rizky Amelya Furqan, S.S., M.A.
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Puisi menjadi bagian dari karya sastra yang sering dibicarakan dan ditulis oleh banyak orang. Menurut Riffatere, puisi selalu berubah-ubah sesuai dengan evolusi selera dan perubahan konsep estetiknya (1978:1). Melihat perkembangan puisi, ada dua klasifikasi puisi secara umum, yaitu puisi lama dan puisi baru. Pantun, syair, gurindam, dan sebagainya merupakan bagian dari kelompok puisi lama. Sedangkan puisi baru adalah puisi-puisi yang ditulis oleh penulis-penulis yang sudah dikenal oleh banyak orang seperti saat ini, serta penulisan puisi baru tidak lagi terikat dengan aturan bait ataupun rima.
Salah satu penulis puisi baru Indonesia adalah Chairil Anwar. Chairil Anwar adalah seorang sastrawan pada angkatan 45 yang dianggap memunculkan kebaruan pada gaya penulisan puisi pada saat itu sehingga ia dianggap sebagai pelopor angkatan 45. Sastrawan kelahiran 26 Juli 1922 ini meninggal di Jakarta pada tanggal 28 April 1949 pada usia 27 tahun. Penulis puisi dengan julukan “Si Binatang Jalang” ini telah berkecimpung kurang lebih tujuh tahun dengan puisi. Banyak sajak yang telah ditulis oleh Chairil Anwar. Dalam buku Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 yang ditulis oleh H.B. Jassin dijelaskan ada 94 sajak Chairil Anwar yang telah dikumpulkan. Pada buku tersebut dijelaskan 94 sajak tersebut ada beberapa di antaranya yang merupakan sajak saduran dan terjemahan.
Terlepas dari temuan terkait beberapa puisi yang ditulis Chairil Anwar adalah saduran atau terjemahan, seperti yang disampaikan H.B. Jassin dalam bukunya. Pada beberapa puisi yang ditulis oleh Chairil Anwar terlihat bahwa dalam penulisannya ia masih dipengaruhi oleh kontrol Jepang sehingga bahasa yang digunakan terkesan lebih halus dibandingkan dengan penulis sebelumnya. Bahasa yang digunakan oleh Chairil Anwar dalam menulis puisi dianggap lebih hidup.
Salah satu puisi Chairil Anwar yang terkenal adalah puisi “Aku”
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu taun lagi
Dari puisi yang ditulis Chairil Anwar pada Maret 1943 ini, dijelaskan bahwa sebuah perjuangan harus diselesaikan hingga tuntas. Puisi ini tidak bisa terlepas dari unsur penjajahan karena pada saat itu adalah saat Jepang masih berkuasa. Hal inilah yang mengakibatkan dalam puisi tersebut masih tergambar ada unsur nasionalisme sekaligus individualis.
Jika bait pertama dan kedua dikaitkan dengan kondisi negera pada saat itu, akan ditemukan juga unsur nasionalis yang terkandung dalam bait tersebut. Secara harfiah nasionalis berarti orang yang memperjuangkan kepentingan bangsanya. Hal ini digambarkan oleh Chairil Anwar dengan kata tidak akan terprovokasi dengan apa pun. Hal inilah yang dilakukan oleh pemuda Indonesia pada saat memperjuangkan kemerdekaan, bahkan ketika terjadi perbedaan pendapat terkait waktu memproklamasikan kemerdekaan Indonesia sehingga terjadi peristiwa Rangesdengklok.
Melihat puisi yang ditulis oleh Chairil Anwar, ia dianggap mempunyai ideologi individualisme. Individualisme dianggap sebagai kelas yang menginginkan kebebasan. Dengan demikian, ia bisa mengakses apa pun, di manapun, dan kapan saja. Hal tersebut juga tergambar dalam puisi Aku yang ditulisnya, yaitu dia ingin menikmati kebebesan tanpa diintervensi oleh siapa pun dan dalam keadaan apa pun.
Pada puisi tersebut juga dapat dilihat bahwa ada proses memisahkan diri yang dilakukan oleh Chairil Anwar. Hal ini tergambar dalam bait berikutnya yang mengatakan bahwa dia adalah binatang jalang dari kumpulan orang yang terbuang. Binatang jalang mengibaratkan pada sosok yang rendah dan dari kumpulan orang terbuang berarti dikucilkan oleh masyarakat. Namun, tidak terjadi kegentaran terhadap hal tersebut yang tergambar pada bait berikutnya. Jika, hal ini dikaitkan dengan nasionalisme, terlihat bagaimana tidak ada rasa takut yang dirasakan oleh Chairil Anwar walaupun dia dalam keadaan dikucilkan dan dianggap sebagai kaum rendahan.
Bait selanjutnya menjelaskan bahwa Chairil Anwar akan tetap dengan dirinya sampai kapan pun. Hal ini, menggambarkan bahwa individualisme mendominasi Chairil Anwar. Ada ketidakpedulian yang tertanam dalam puisi tersebut sekaligus bagaimana ia bertahan dengan prinsip yang ditanamkan tanpa mempedulikan resiko yang akan diperoleh. Namun, tidak bisa langsung disimpulkan bahwa Chairil Anwar adalah seorang individualis sepenuhnya. Hal ini terlihat dalam sajak-sajak Chairil Anwar Menghembuskan Jiwa, Semangat dan Cita-cita Muda dalam Artian Segar-bugar, Hidup dan Menggerakkan.
Pada hakikatnya, angkatan 45′ tidak bisa terbebas dari nasionalisme karena baru terbebas dari penjajahan. Hal tersebut yang mempengaruhi Chairil Anwar menulis puisi perjuangan. Kemudian, individualisme yang ada pada diri Chairil Anwar tidak sama dengan individualisme Barat. Hend Mayer berpendapat bahwa Chairil Anwar individualis, tetapi masih merasa dirinya terasing. Hal ini terjadi karena Chairil Anwar lahir dan besar di Indonesia yang masih menganggap individualisme hanyalah sebuah ide yang tidak bisa direalisasikan sehingga banyak unsur yang tidak mendukung sepenuhnya perihal paham individualisme yang dianut oleh seseorang.
Discussion about this post