Cerpen: Muhammad Subhan
Setiap hari lelaki itu membuka emailnya. Ia periksa satu-persatu pesan masuk dengan harap-harap cemas. Harap karena ia menunggu pesan paling ia tunggu setelah berbulan-bulan mengirim naskah cerpen ke koran, tapi tak kunjung mendapat balasan. Cemas kalau naskahnya bernasib apes atau ditolak dengan kalimat kurang mengenakkan.
Ada beberapa pesan di kotak masuk. Pesan itu tak lain notifikasi dari twitter, facebook, dan media sosial yang ia ikuti. Namun, ia jarang membuka facebook maupun twitter karena kesehariannya disibukkan mengarang, terutama sejak pandemi Covid-19 yang mengharuskan ia banyak di rumah. Ia korban PHK sebab manajemen perusahaan tempat ia bekerja mengurangi karyawan dan pilihan buruk itu jatuh pada dirinya serta juga beberapa temannya.
“Sudah lama abang tidak bekerja,” kata istrinya suatu hari. Perempuan itu terlihat muram dan sisa kecantikan masih terpancar di wajahnya yang tanpa make-up. Namun, karena beban hidup yang berat, tubuh perempuan itu tak terurus. Kurus. Urusan rumah tangga dan mengurus dua orang anaknya yang masih kecil dan butuh susu telah merenggut kebahagiaannya, meskipun ia berusaha bahagia menjalani semua itu.
Suaminya, lelaki itu duduk terpekur di meja tulis sembari memandangi layar laptop yang belum juga menghasilkan sesuatu karena kali itu ia merasakan sangat susah menuangkan kata-kata. Ia baru mulai kembali mengarang setelah setamat SMA ia jarang melakukan aktivitas tulis-menulis sebab memilih bekerja di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Padahal, ketika SMA, ia memimpin OSIS dan menjadi kepala redaksi majalah sekolah. Ia adalah idola guru dan pelajar putri karena ia penulis produktif. Tulisan-tulisannya kritis namun cerdas. Beberapa kali pernah dimuat di koran lokal di kotanya, namun ia lebih sering menulis laporan untuk majalah sekolah. Ia suka menulis fiksi, terutama cerpen.
Sejak meninggalkan sekolah lalu sempat kuliah beberapa semester dan akhirnya putus di tengah jalan karena ia memilih menikah, ia nyaris tak pernah lagi menulis. Sekarang, ia putuskan menjadi penulis meskipun karya tulisnya belum juga nongol di koran. Sejak di PHK, karena belum mendapat pekerjaan lain, ia tekadkan kembali menulis. Syukurnya, ia mendapat sedikit uang pesangon sehingga uang itu sebagian dapat ia belikan sebuah laptop bekas dan sebagian lagi ia serahkan kepada istrinya. Laptop itulah yang kini menjadi istri keduanya yang ia gauli setiap hari. Dari pergaulan itu, ia berhasil melahirkan beberapa cerpen lalu dikirim ke email koran-koran yang ia dapatkan dari sebuah grup sastra di media sosial.
Di setiap pekan, grup sastra itu, ia pelototi untuk melihat karya siapa saja yang muncul, baik di koran lokal maupun koran nasional. Penulis-penulis yang karya mereka terbit di koran-koran saling berbagi kabar. Era teknologi memudahkan seorang penulis hingga tidak perlu bersusah payah mencari informasi di koran mana karyanya terbit karena sudah pasti ada anggota grup yang melaporkan. Itu sangat membantu sekali. Kemudahan yang tak ia dapatkan dua puluh tahun lampau karena di masa itu media sosial belum semarak seperti sekarang ini.
Laki-laki itu ingat ketika pertama kali mengirim tulisan ke koran lokal di kotanya. Ia masih duduk di bangku kelas dua SMA. Ia harus meminjam mesin tik kepada temannya. Dengan menahan malu sebab sering terlambat memulangkan barang pinjaman, ia paksa mengetik karya pertamanya. Sebuah cerpen ia kirim ke koran. Tentu tidak semudah seperti zaman sekarang ini. Sekali kirim sampai ke meja redaksi sebab dihubungkan teknologi email. Dulu, ia harus berjuang mengetik tulisan serapi mungkin. Ia merobek beberapa lembar kertas karena terjadi kesalahan tik. Setelah rapi, ia masukkan naskah ke dalam amplop. Kemudian, ia pergi ke kantor pos, membeli prangko, melampirkan prangko balasan, dan menitip amplop kepada kurir dengan harapan karyanya segera sampai. Setelah terkirim, ia pulang dengan wajah bahagia sembari berdoa tak henti-henti. Semoga naskahnya lolos kemudian terbit. Siapa sangka tulisannya dilirik redaktur dan ia menerima kiriman sepucuk surat balasan disertai selembar wesel pos sebagai honorarium.
Tentu, ia sangat girang sekali. Seketika, teman-temannya di sekolah, juga guru-gurunya yang membaca cerpennya, mengelu-elukan dirinya karena telah menjadi siswa satu-satunya mewakili sekolah yang tulisannya berhasil menembus koran, dan koran itu dilanggani perpustakaan sekolah. Bagi sekolah, ia kebanggaan karena telah mengharumkan nama sekolah di media massa. Itulah momen pertama kali ia menikmati honorarium hasil keringat dari pekerjaan menulis yang nilainya lumayan untuk ukuran anak sekolah seperti dirinya.
“Kau berbakat jadi penulis. Setamat nanti, teruslah menulis,” ujar guru bahasa Indonesia suatu hari menjelang pulang sekolah. Ia mengangguk dan di hatinya mulai terpatri tekad itu.
Sepanjang waktu, ia mengenang ke masa lalu kehidupannya. Mengenang wajah gurunya. Mengenang sekolahnya dan juga mengenang wajah kawannya satu-persatu meskipun tak semuanya ia ingat. Barulah, ia insyaf dan benar kata orang, masa paling indah ada di SMA dan tak akan terulang lagi seumur hidup. Sementara itu, kini usianya telah jauh beranjak dan menuju tua.
“Abang melamun. Aku masih abang diamkan,” gumam istrinya lagi.
Laki-laki itu terkejut. Ia tersadar dari kenangan masa remajanya yang indah. Ia tatap wajah istrinya lekat-lekat. Perempuan yang telah memberinya dua putra, juga perempuan yang pernah ia perjuangkan sekuat tenaga untuk ia dapatkan restu dari orang tuanya. Pernah ia merasa bangga mengatakan bahwa pekerjaannya adalah penulis meskipun intensitas menulisnya mulai menurun di kala itu. Ia berusaha yakin pengakuannya akan menyenangkan hati orang tua calon istrinya. Namun, apa respon yang ia dapat? Dingin. Ia disambut wajah tak bersahabat.
“Apa itu penulis? Gaji bulanannya berapa, ya?” sindir ayah istrinya ketika masa-masa ia pacaran dulu. Laki-laki itu terhenyak. Ia kehilangan kata-kata. Pertanyaan sebagai serangan balik itu seperti peluru kendali dengan daya ledak kuat yang ditembakkan ke ulu hatinya.
Ketika ia telah memiliki pekerjaan tetap meskipun sebagai orang suruhan di sebuah perusahaan, barulah ia mendapat respon positif. Ia datang sebagai orang kantoran meskipun di kantor itu tak penting jabatannya sebagai apa. Pokoknya tampak ia pergi pagi dan pulang sore. Berkemeja rapi, bersepatu, dan membawa sebuah tas yang isinya tak seorang pun tahu. Hanya ia sendiri yang tahu dan tak pernah ia perlihatkan kepada calon istrinya kalau ia hanya membawa sehelai pakaian ganti dan sebotol air mineral.
Ia sadar pekerjaan sebagai penulis yang ia banggakan bukanlah harapan yang diimpikan calon mertua. Ia kalah lalu memilih mengubur cita-citanya sebagai penulis. Mulailah ia mematahkan pena. Ia tutup buku dan ia mulai jarang membaca koran maupun membaca buku-buku fiksi yang dulu ia gemari dan suka ia pinjam di perpustakaan sekolah. Buku-buku itu pernah membuat ia duduk di sudut rumah sambil mencucurkan air mata karena ceritanya sedih dan memuji-muji kehebatan si pengarang yang begitu lihai memainkan bahasa.
“Beras juga sudah habis, Bang.” Untuk ketiga kali, istrinya bergumam. Laki-laki itu masih belum mengeluarkan suara, sebab ia juga bingung harus menjawab apa. Simpanan uang sisa gajinya telah tandas tak berbekas. Pesangon pun yang telah ia serahkan sebagian ke istrinya begitu pula, tinggal cerita, sementara beberapa tulisan yang ia kirim ke koran lebih setengah tahun lalu masih belum menemukan nasibnya. Jangankan terbit, mendapat balasan pun tidak.
“Sabar, Nur. Sabar,” jawab laki-laki itu kemudian. Suaranya berat. Ia menarik napas dalam-dalam. Kata sabar sudah berulang kali ia ucapkan dan entah sudah ke seribu berapa kali didengar istrinya, Nur.
Perempuan itu sangat sabar. Ia mengatakan kondisi sebenarnya karena demikianlah keadaan di rumah kontrakan yang mereka tempati. Listrik sudah memberi kode bahwa token harus diisi. Begitu pun kompor kekeringan minyak tanah, sementara bahan makanan yang hendak dimasak tak lagi tampak, kecuali sisa-sisa kerak nasi yang dikeringkan. Kerak itu digoreng oleh Nur sebagai kawan nasi kalau beras lagi ada. Nasi makan nasi sebab tak ada lauk terbeli.
Setelah menyampaikan keluhannya, Nur masuk ke dalam kamar. Ia menidurkan anaknya yang hari itu agak demam. Sudah sepekan anaknya tak minum susu, sementara air susu ibunya tak mengeluarkan susu lagi karena tubuh Nur tak dimasuki gizi. Di sudut ranjang, Nur terisak membayangkan kesusahan hidupnya, tapi isak itu masuk ke dalam mata dan tenggorokannya sehingga tak terdengar oleh suaminya yang masih duduk terpekur di meja tulis. Nur teringat kedua orang tuanya, tapi ayah ibunya telah tiada beberapa tahun setelah ia menikah.
Suami Nur mencoba kembali untuk konsentrasi melanjutkan tulisannya, naskah cerpen kelima belas ia tulis sejak ia dirumahkan, menjadi tahanan pandemi. Empat belas cerpen sebelumnya tak berkabar, dan setiap sebentar ia buka email menunggu keajaiban kalau-kalau ada keberuntungan. Tapi setiap kali ia mampir di email, tak ada pesan baru masuk, bahkan di kotak spam sekali pun. Di tengah suntuk, ia bersihkan email itu agar bebannya tidak berat. Ia dapat terus memanfaatkannya untuk mengirim naskah berikutnya. Pesan-pesan usang ia hapus.
Sejenak, ia kembali menulis dan mengetik beberapa kalimat, lalu duduk termenung sebentar. Mengetik lagi. Membuka email lagi. Terus begitu dan di tengah perasaannya yang tak menentu. Tiba-tiba, ia melihat sebuah pesan di kotak masuk. Ia buka dan terbacalah kalau pesan itu balasan balik dari redaksi sebuah koran nasional yang ia kirimi cerpen tiga bulan lalu. Pelan-pelan, ia baca sebaris kalimat: Naskah Anda telah kami terima dan setelah diperiksa kelayakannya. Kami berencana menerbitkan cerpen Anda pada pekan ketiga bulan depan.
Lelaki itu girang. Spontan ia ingin melompat dari kursi duduknya. Ada harapan baik untuk sebuah naskah cerpennya yang akan terbit di sebuah koran nasional. Lalu, ia hendak berlari ke dalam kamar, memeluk istrinya, Nur, tetapi ketika ia ingat bahwa cerpennya itu akan dimuat sebulan lagi, sementara honornya belum ia ketahui wujudnya. Di benak lelaki itu, telah menumpuk kembali pikiran yang menggunung. Pikiran yang disampaikan istrinya tadi: beras dan lauk pauk habis, token lisrik harus diisi, jeriken minyak tanah kering, dan susu anaknya belum terbeli.
Laki-laki itu terhenyak kembali di kursi duduknya. Tiba-tiba, jantungnya memompa darah dengan sangat cepat. Dadanya terasa sesak dan ia kesulitan bernapas. Pandangan matanya nanar, lalu semua menjadi gelap. Dalam kondisi itu, ia tak menyadari kalau ada tiga pesan lain masuk ke emailnya dan ia tak pernah lagi membukanya. Sementara itu, di kamar, anaknya yang tidur lelap terjaga dan menangis sangat keras di sisi ibunya yang terbaring kaku. Di pergelangan tangan ibunya, darah segar mengucur deras. (*)
Padang Panjang, 13 Agustus 2021
Biodata Penulis:
Muhammad Subhan adalah penulis novel, cerpen, puisi, dan esai. Puisinya terpilih tiga besar Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival 2019. Esainya satu di antara tiga karya terbaik pilihan kurator Festival Sastra Bengkulu (Bengkulu Writers Festival) 2019. Ia penulis undangan Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2017. Ia juga menerima Pin Emas dari Walikota Padang Panjang sebagai Pegiat Literasi (2018) dan Penerima Anugerah Literasi dari Gubernur Sumatra Barat (2017). Ia pernah bekerja sebagai wartawan di sejumlah media di Padang sepanjang tahun 2000—2010 dan sering diundang menghadiri pertemuan sastra di berbagai kota di Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Trainer Pelatihan Literasi Siswa Balai Pustaka (2021—Sekarang) dan pengasuh Kelas Menulis Daring (KMD) dengan 200-an peserta dari berbagai kota di Indonesia, Malaysia, dan Jerman ini telah menerbitkan beberapa buku, di antaranya Kesaksian Sepasang Sandal (Kumpulan Puisi, 2010), Rumah di Tengah Sawah (Novel, 2015), Rinai Kabut Singgalang (Novel, 2011), Bensin di Kepala Bapak (Kumpulan Cerpen, 2016), dan puluhan buku bersama. Ia berdomisili di pinggir Kota Padang Panjang, Sumatera Barat. Pos-el: rinaikabutsinggalang@gmail.com. Nomor gawai: 0821-6987-7399.
Discussion about this post