Cerpen: Rilen Dicki Agustin
Ibuku ialah seorang petani. Petani yang hanya memiliki sepetak sawah. Sepetak sawah itulah penghidupan bagi keluarga, yaitu aku, Rania, dan ibu. Maka tak heran, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ibu juga pergi ke sawah orang, menjadi buruh. Kadang aku kasihan dengan ibu, sebab sejak aku masih usia tujuh tahun, adikku Rania lima tahun, ayah telah berpulang dipanggil Yang Maha Kuasa. Tinggal ibu sendirian, menjadi ibu sekaligus ayah bagiku dan Rania.
Sepuluh tahun berlalu, usiaku sudah beranjak menjadi tujuh belas tahun. Bertanda aku kelas 2 SMA, sedangkan Rania, adik perempuanku satu-satunya yang dulu berusia lima belas tahun, sudah kelas 3 SMP sekarang. Kami berdua selepas pulang sekolah, pergi ke sawah membantu ibu sebab kami berdua selalu didik ibu dengan baik sedari kecil. Kami diajarkan berbicara, berjalan, membaca, salat, mengaji, dan jangan pernah berbuat jahat kepada orang lain. Bagiku, semua ibu memang begitu, mendidik anak-anaknya agar menjadi baik. Didikan yang baik akan melahirkan anak yang baik pula.
***
Ayam berkokok, kabut masih tebal, dan dingin. Di sawah, orang-orang sudah banyak. Begitulah di kampungku. Usai salat subuh, semua orang-orang sudah berangkat ke sawah,termasuk ibu. Panas membakar kulit, hujan membasuh luka, semua itu ibu tahan. Petangnya, ibu pulang dari sawah ke rumah. Tak ada keluh-kesah yang diperlihatkannya. Dari raut wajah, tetap muncul senyum tipis. Meskipun sebenarnya penat dan lelah. Itulah ibu, seperti sungai yang selalu mengalir, penyejuk bagi jiwa-jiwa keluarga yang kering. Hampir setiap hari kulihat ibu seperti itu. Kulihat juga, jalannya tidak berpijak dengan baik, seperti jalan injit-injit semut.
Malam, saat ibu tertidur, aku masuk ke kamar. Kulihat telapak kakinya, retak. Menurutku itu perjuangan bijak, lumpur jadi kawan. Amsal air memakan daging, kaki terkuak. Kata orang-orang tua di kampungku, abih kaki dimaken dek aie. Karena keseringan pergi ke sawah, masuk lumpur yang berair. Ya, begitulah. Dalam pikiranku, semoga ibu baik-baik saja.
Sebelum itu, jauh-jauh hari, ibuku selalu bernasihat. Lakukan hal yang baik, tinggalkan hal yang buruk. Sejenak, aku melupakan telapak kaki ibu yang retak dan terkadang berdarah itu dan fokus pada nasihat ibu. Aku sering bermenung. Dalam pikiran perenungan, ada apa sebenarnya ibu selalu menasihatiku seperti itu. Sejak kecil hingga besar pun, tak luput diucapkan oleh ibu kepadaku. Ibarat perbuatan, sudah mendarah daging kata-kata itu. Yang aku ingat, setiap anak-anak yang berbuat jahat, pasti yang salah orang tua, khusus ibu. Begitulah di kampungku.
Barangkali, itulah sebabnya ibu selalu mengutarakan kata-kata itu. Ingat! Buah jatuh, tidak akan jauh dari pohonnya. Meneroka kalimat itu, wajarlah orang-orang di kampungku selalu menyalahkan orang tua, terutama ibu. Sebab, didikan orang tua menjadi dasar penilaian utama. Padahal, menurutku belum tentu benar seperti itu, karena bukan tidak mungkin seorang anak menjadi bandel di tengah lingkungan yang kurang baik—lingkungan menikam. Baik menjadi bandel, atau malah sebaliknya.
Itulah mengapa aku tidak sependapat dengan orang-orang yang ada di kampungku terkait hal menyalahkan ibu. Orang-orang yang ada di jalan raya, pengamen dan pengemis, belum tentu jahat. Memang benar, segala pokok itu ibu. Untungnya, ibuku masih hidup dan selalu menasehatiku. Kembali ke persoalan telapak kaki ibuku yang retak dan berdarah itu.
***
Petang, suara ayam-ayamku berkokok, ibu pulang dari sawah. Duduk di teras dengan kaki mengunjur. Aku kurung ayam terlebih dahulu dengan memasukkan ke dalam kandang. Setelah selesai, aku menghampiri ibu. Membawa segelas air putih pelepas dahaga. Sembari memijat kakinya. Kembali mataku fokus pada telapak kakinya yang retak itu dan bertanya, “Apakah kaki ibu sakit?”
“Tidak sakit, ini hanya luka-luka biasa, Nak!” jawab ibu.
Ibuku selalu begitu. Tak ada yang sakit baginya asalkan aku dan Rania tetap bersekolah. Suatu ketika, Rania mendapati surat dari kepala sekolah. Aku membaca surat itu, yang poin pentingnya, Rania lulus terbaik di sekolahnya. Itu surat undangan agar orang tua datang ke sekolah. Sebelum undangan itu diberikan Rania kepada ibu, aku yang lebih dahulu membacanya. Kata Rania, sebagai kejutan untuk ibu nantinya. Oleh sebab itu, kami mengatur rencana agar ini menjadi kejutan.
Biasanya, malam ibu selalu menjahit. Benar saja, malam ketika kami hendak memberikan kejutan, ibu masih menjahit. Menjahit baju sosampiang yang bolong, lalu Rania terlebih dahulu mengampiri ibu dan memijat-mijat belikatnya.
“Sudah, sudah. Tidur saja Rania”, kata ibu.
Hari sudah malam. Rania terus memijat-mijat belikat ibu. Rania bercerita panjang lebar bersama ibu, dan memberi surat undangan dari sekolahnya. Ibu bertanya, “Surat apakah ini, Rania?”
“Surat undangan dari sekolah ibu. Rania mau dikeluarkan dari sekolah,” jawab Rania dengan nada lemah lembut.
“Ibu tidak percaya. Rania biasanya anak baik-baik. Juara kelas selalu,” kata ibu.
Kembali Rania menjawab, “Ini benar, Bu!”
Kami yang sudah punya rencana dari awal. Aku pun menghampiri.
“Ini memang benar, Bu. Rania mau dikeluarkan dari sekolah,” kataku dengan nada lembut.
Langsung ibu terkejut.
“Ibu baca surat undangannya dululah,’” ibu gusar. Ketika ibu membuka surat undangan itu, ibu tidak bisa membaca sebab mata ibu rabun, dan hanya berfungsi sebelah. Kemudian aku mengambil kacamata ibu. “Ini kacamata, Bu,” kataku, yang langsung aku pakaikan kepada ibu.
Ibu membaca dari bagian awal sampai akhir surat undangan. Tak ditemukan oleh ibu isinya yang mennyatakan bahwa Rania mau dikeluarkan dari sekolah. Ibu langsung marah namun marah ibuku memang tidak berkata-kata kasar. Bagi ibu, marah itu tidak melulu berkata-kata kasar. Ibu hanya mendidik dengan baik.
“Kalian mau membohongi ibu? Ibu tidak suka kalian seperti ini, berbohong itu dosa. Meskipun maksud dan tujuan kalian baik. Lain kali, jangan seperti ini lagi,” ujar ibu kepada Rania dan aku.
Ibu memang tidak pernah marah dengan kata-kata kasar. Aku dan Rania merasa bersalah dan mengatakan apa yang sebenarnya kepada ibu. Kami takut nanti ibu sedih. Kami berdua menghampirinya.“Ibu, kami minta maaf. Sebenarnya ini surat undangan bahwa Rania lulusan terbaik. Jadi, ibu sama Rania besok pergi ke sekolah,” kata kami kepada ibu.
“Sudah-sudah, ibu sudah memaafkan. Lain kali, jangan berbohong kalian. Biasakan jujur pada semua orang. Ibu bangga punya anak-anak yang saleh dan solehah seperti kalian. Alhamdulillah, ibu tahu dari teman Rania. Rania menjadi lulusan terbaik di sekolahnya. Meskipun ibu tidak menunjukkannya kepada Rania. Ibu berdoa dan merasa senang. Harapan ibu, kelak kalian menjadi orang-orang yang berhasil. Bahkan, mampu memimpin negeri ini,” jawab ibu kembali memberi nasihat dengan lembut.
Aku bangga mempunyai ibu, Rania yang berhasil menjadi lulusan terbaik pun. Ibu tidak mau sombong dan bercerita dengan siapa pun. Ibu hanya berdoa dan terus bersyukur. Itulah pelajaran yang berharga bagiku dan Rania. Semoga apa yang didoakan ibu menjadi kenyataan untukku dan Rania.
***
Sore selepas pulang dari sekolah, ibu sangat bangga kepada Rania, lalu ibu bergesa-gesa ke dapur. Ibu memasak untuk dibagikan ke tetangga-tetangga sebagai bentuk syukuran. Memang tidak makanan mahal, alakadarnya, berupa nasi yang dibungkus dengan daun pisang, dan lauk ikan. Rania merasa bahagia sekali. Ibu memberikan contoh yang terbaik kepadanya tentang tidak boleh ria dan sombong, meskipun menjadi lulusan terbaik. Yang jelas, tetap bersyukur.
Semenjak itu, Rania lebih sering ke sawah mebantu ibu. Begitupun aku. Kami membantu ibu ke sawah selalu. Ibu memang segala-segalanya bagi kami. Ibu begitu kuat, hebat, dan tidak ada keluh kesah yang diperlihatkan ibu. Bagi ibu, siang ialah siang, malam ialah malam, tak perlu menjadi lain dan berlebihan.
Tak lama kemudian, aku pun lulus di SMA dan lulus di perguruan tinggi. Awalnya, aku memang tidak mau kuliah, takut menyusahkan ibu. Namun itulah ibu, selalu menasihatiku, “Kuliahlah, rezki sudah ada yang mengatur,” kata ibu.
Dengan dorongan dan motivasi dari ibu, aku melanjutkan kuliah. Sementara itu, Rania, masih kelas 1 SMA. Ada-ada saja rezeki. Aku mendapatkan beasiswa. Jadi, tidak perlu membayar uang kuliah. Bahkan, belanja pun dikasih perbulan. Aku sangat bersyukur sekali. Aku yang memiliki cita-cita ingin jadi pengusaha. Rania yang ingin jadi dokter. Sebelum itu, ibu selalu memberi kami nasihat-nasihat, apa pun cita-cita kalian, jangan lupa untuk tetap berbuat baik, kata ibu.
Hingga benar-banar aku dan Rania sampai menjadi orang yang sukses. Aku menjadi apa yang aku inginkan. Rania pun menjadi apa yang diinginkan. Kami berdua merawat ibu dengan baik. Sawah sepetak itu tidak kami jual, tapi kami suruh orang yang ada di kampung untuk merawatnya.
Kami pun memberangkatkan ibu ke tanah suci. Mata ibu ialah satu mata, yaitu mata hati yang baik. Tak ada mata yang lain, kami menjadi orang sukses, dan takkan melupakan ibu. Surga terletak di telapak kaki ibu. Hari-hari kami sibuk dengan aktivitas masing-masing. Aku menjadi pengusaha peternakan dan pertanian. Rania menjadi dokter, tapi kami tetap mengurus ibu. Bagi kami, ibu tetap nomor satu. Berkat nasihat-nasihat beliau, kami selalu berbuat baik. Ingat! Negeri yang indah ialah negeri yang dididik oleh ibu yang baik.
Keterangan:
abieh kaki dimaken dek aie = kaki retak karena setiap hari masuk ke dalam air sawah
sosampiang = Kain yang lusuh.
Padang, 2020-2021
Biodata Penulis
Rilen Dicki Agustin lahir di Pasaman, Sumatera Barat, 10 Agustus 1999 dan tinggal di Padang. Saat ini, ia mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas dan aktif di Labor Sastra dan Seni (LSS) sebagai wakil ketua. Suka membaca dan menulis esai, puisi, dan cerpen. Tulisannya pernah terbit di berbagai media massa, seperti; Singgalang, Haluan, Rakyat Sumbar, Riau Pos, Medan Pos, Radar Cirebon, Analisa Medan, Bangka Pos, Utusan Borneo (UB, Malaysia), dan lain-lain. Ia bisa dihubungi melalui email: rilendickiagustin12@gmail.com dan WA/Hp: 0822 6897 7196.