Oleh: Endang Setiawan
(Aktivis Literasi dan Tokoh Pemuda Seluma)
Pendidikan adalah sebuah usaha untuk membebaskan manusia dari kesengsaraan, ketertindasan, dan ketidaktahuan, menjadikan hidup lebih bermanfaat bagi diri sendiri dan sekitarnya, tidak ada lagi kasta dan pembeda kelas-kelas. (Tan Malaka)
Seluma terdiri atas 182 Desa, 20 Kelurahan, dan 14 kecamatan. Seluma merupakan salah satu dari kabupaten yang berada di Provinsi Bengkulu dengan potensi alam yang melimpah terdiri dari Hutan dan perkebunan masyarakat yang luas. Seluma, nama itu baru menjadi Kabupaten pada tanggal 23 Mei 2003. Penulis mempunyai rekamanan memori kolektif yang masih tersimpan. Jauh dari keramaian kota, pengalaman mengecap belajar di bawah sinar lampu kaleng yang beralaskan tikar anyaman milik ibu. Tentu berbeda kondisinya saat ini akan tetapi apakah kemajuan tersebut dapat menjawab kesejahteraan?
Dalam rentang sejarah, penulis teringat 24 tahun lalu di mana berbagai media dan tutur sejarah membicarakan perekonomian sedang di ambang kritis ditandai kenaikan harga-harga melonjak tinggi dan termasuk daerah-daerah lain di pelosok negeri. Seluruh masyarakat Indonesia merasakan itu. Pada tahun itulah, penulis “terjun bebas” masuk ke dunia mengalami apa yang dinamakan krisis moneter. Setahun setelah kelahiran saya, Indonesia dikejutkan dengan aksi besar-besaran yang dikenal Reformasi 98’ di mana mahasiswa, buruh tani, dan rakyat miskin kota bersatu menduduki Gedung DPR RI sehinggah puncak kepemimpinan Soeharto berakhir pada tanggal 21 mei 1998.
Banyaknya sarjana yang kembali ke desa ternyata tidak membuat perubahan secara signifikan terhadap kemajuan kabupaten Seluma. Hal ini dapat penulis lihat dari peran pemuda yang belum banyak memberikan kontribusi baik keilmuan yang didapatkan di dalam kampus maupun implementasi pada masyarakat tempat mereka dilahirkan. Seperti kata salah satu founding father yakni Bung Karno, “Berikan aku 1000 orang tua niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Berikan aku 10 pemuda Niscaya akan kuguncangkan dunia“. Kata itu berhubungan dengan kondisi Kebangsaan yang carut-marut pada saat ini yang menyadarkan kita sebagai generasi penerus untuk tetap belajar pada masa lalu guna perbaikan bangsa ke depannya.
Belajar adalah amanat konstitusi sesuai UUD 45 pasal 31 ayat 1 berbunyi: bahwa setiap warga berhak mendapatkan pendidikan dan ayat 2 berbunyi: setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintahan wajib membiayainya. Akan tetapi, realitasnya masyarakat masih banyak buta aksara dengan melihat kondisi di beberapa desa yang penulis datangi. Menurut penulis, pendidikan sangat Penting untuk memerangi ketidaktahuan dan untuk menjawab permasalahan kebangsaan.
Pengalaman kakek dari pihak ayah yang pernah bercerita perihal pindahnya lokasi Desa Sengkuang. Salah satunya disebabkan akses jalan menuju sekolah yang begitu jauh. Hal ini terkait soal pendidikan. Begitu juga ketika menelisik sejarah Indonesia, tentu akan ditemui tulisan Multatuli yang berisi kritikan terhadap Belanda yang menyebabkan di berikannya politik etis kepada negeri ini. Barulah setelah itu, kaum-kaum pemuda tercerdaskan dan mengambil peran penting demi kemerdekaan rakyat Indonesia. Lagi-lagi, ini soal pendidikan yang mampu membawa perubahan besar suatu bangsa di tangan pemuda.
Pendidikan penting untuk melepas budaya apatis pada diri pemuda karena akan sangat menyedihkan bila marwah kepemudaan hilag dan ketidakpedulian pada tanah kelahirannya. Tanah tempat mereka di beri makan, bahkan akan sangat miris bila “tertidur di pangkuan rezim” lantaran ketakutan akan nasib hidupnya. Ketakutan itu menjadi penghalang, bahkan menjadi beban berpikir. Hal ini mengingatkan saya pada tulisan Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran “Hanya ada 2 pilihan, menjadi Apatis atau mengikuti Arus. Tetapi aku memilih untuk menjadi Manusia Merdeka”.
Pertanyaannya sekarang bagaimana peran pemuda Seluma dalam kontibusi membangun daerah? Menurut penulis, ada beberapa cara untuk melibatkan diri kepemudaan dalam pembangun yakni aktif melibatkan diri di tengah masyarakat, mengkritisi kebijakan Pemerintahan yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat, menciptakan wadah sebagai tempat berkumpulnya kepemudaan untuk berinovasi dan berkreasi serta membuat ruang-ruang diskusi kritis.
Penulis juga merupakan founder Komunitas SERASI ( Seluma Literasi). Komunitas ini sebagai wadah pemuda untuk menebarkan Virus Baca di lingkungan kabupaten Seluma. Melihat budaya Membaca yang sangat memprihatinkan hal itu berdasarkan data dari UNESCO pada tahun 2016 Minat Baca Indonesia 0,01% dan berada di peringkat 60 dari 61 Negara. Hal ini membuat penulis bersama kawan-kawan tergerak untuk menebarkan virus baca, terkhususnya di Kabupaten Seluma.
Pada akhirnya, daripada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan lillin. Nasib baik itu mesti di jemput, meratapi diri akan kekalahan dan ketidak berdayaan adalah musibah besar pada diri pemuda. Selama pikiran masih merdeka, banyak peluang untuk memenangkan pertarungan. Terkahir yang paling penting menurut penulis adalah tetap bergerak demi daerah tercinta.
Discussion about this post