Pada tanggal 13 Mei 2021, umat Muslim merayakan Idulfitri. Pemerintah Indonesia sudah menetapkan hari libur untuk merayakan momen tersebut, yaitu pada tanggal 12 hingga 14 Mei 2021 sehingga masyarakat Indonesia bisa menikmati hari libur nasional dari hari Rabu hingga Jumat, serta diikuti akhir pekan. Waktu libur yang cukup panjang ini biasanya digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk berkumpul dengan keluarga. Akan tetapi, situasi Indonesia yang masih berjuang di tengah kasus Covid-19, membuat pemerintah mengeluarkan larangan untuk melakukan mudik. Larangan ini bertujuan untuk meminimalkan kasus baru dari Covid-19 karena masyarakat akan berkumpul dengan keluarga besar.
Berkumpul dengan keluarga besar adalah momen yang paling ditunggu oleh umat Muslim di Indonesia pada saat Idulfitri. Tidak sedikit masyarakat yang bekerja di luar kota kembali ke kampung halamannya untuk bertemu dengan keluarga tercinta. Istilah ini kemudian dikenal dengan sebutan mudik. Presiden Joko Widodo pernah melontarkan hal tersebut dalam sebuah wawancara yang kemudian disandingkan dengan istilah pulang kampung. Hal ini tentu saja menuai berbagai macam reaksi dan analisis dalam kebahasaan. Banyak artikel yang kemudian bermunculan dengan pembahasan perbedaan dua istilah tersebut. Namun demikian, sesungguhnya, persoalan istilah dalam momen Idulfitri ini ternyata juga banyak yang perlu dicermati, terlebih berbagai istilah-istilah tersebut bersumber dari bahasa Arab.
Istilah yang pertama adalah Idulfitri. Idulfitri berasal dari bahasa Arab. Istilah Idulfitri ini banyak ditulis menjadi dua kata yaitu Idul Fitri dan juga hanya satu kata yaitu Idulfitri. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahasa baku yang digunakan adalah Idulfitri dengan makna “hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal setelah selesai menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadan”. Berbagai kementrian yang memiliki akun media sosial Instagram telah banyak menggunakan ragam baku tersebut ketika mengunggah ucapan selamat Idulfitri untuk masyarakat Indonesia. Akan tetapi, dalam berbagai media massa dan kehidupan sehari-hari, masyarakat masih banyak menggunakan istilah Idul Fitri (menggunakan spasi). Dilansir dari Tempo (majalah.tempo.co), penulisan Idulfitri ini harus digabung karena ada tanda harakat u(l) yang seharusnya melekat pada kata fitri. Oleh sebab itu, di dalam KBBI, istilah ini secara baku ditulis menjadi Idulfitri.
Istilah Idulfitri juga kerap disandingkan dengan kata lebaran. Berbagai ucapan yang sering kita dengar adalah “Selamat hari Lebaran”. Di dalam KBBI, makna lebaran juga ditulis sama seperti Idulfitri. Secara bunyi, kata lebaran terkesan lebih dekat dengan penggunaan bahasa Indonesia. Akan tetapi, sejarah atau etimologi yang komprehensif untuk menganalisis kata lebaran ini, belum ada. Dilansir dari Kompas (kompas.com), istilah lebaran ini berkemungkinan besar berasal dari bahasa daerah. Hal ini bisa saja terjadi, mengingat banyaknya kosakata bahasa Indonesia yang bersumber dari berbagai bahasa daerah. Bahasa daerah yang dimaksud sebagai sumber kata lebaran ini adalah Jawa, Sunda, Betawi, dan Madura. Kata lebar dalam bahasa Jawa memiliki makna “selesai”, dalam bahasa Sunda memiliki makna “melimpah”, dan dalam bahasa Betawi memiliki makna “luas”. Selain itu, bunyi yang mirip dari bahasa Madura yaitu lober memiliki makna “tuntas”. Jika dilihat dari segi sumber bahasa daerah tersebut, kata lebaran ini memiliki makna sesuatu yang selesai atau tuntas. Kata selesai bisa dirujuk pada momen ibadah puasa yang berlangsung selama sebulan pada bulan Ramadan dan selesai ketika masuknya bulan Syawal. Oleh sebab itu, momen ini disebut sebagai lebaran.
Selain istilah Idiulfitri dan lebaran, kita juga mengenal berbagai istilah lainnya yang sebagian besar bersumber dari bahasa Arab. Istilah-istilah tersebut perlu kita cermati untuk menggunakannya dalam bentuk tulisan. Paparan yang kedua adalah berbagai istilah yang terkait dengan momen bulan puasa dan lebaran. Istilah yang pertama adalah Ramadan. Ada banyak versi pengguna bahasa Indonesia ketika menulis istilah tersebut. Ada yang menulisnya Ramadhan, Romadhon, dan Ramadan. Dalam KBBI, kata baku untuk bulan tersebut adalah Ramadan yang memiliki makna “bulan ke-9 tahun Hijriah (29 atau 30 hari), pada bulan ini orang Islam yang sudah akil baliq diwajibkan berpuasa”.
Istilah-istilah lainnya yang secara baku dalam KBBI adalah tarawih (sering ditulis terawih, tarwih, dan sebagainya), salat (sering ditulis shalat, sholat, solat, dan sebagainya), Id atau salat Id (sering ditulis Ied), sunah dengan makna “perbuatan yang apabila dilakukan mendapat pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak berdosa” (sering ditulis sunat yang sudah berbeda makna, yaitu “berpotong kulup; khitan”), khotbah (sering ditulis kotbah, kutbah, khutbah, dan sebagainya), ustaz yang memiliki makna “guru agama atau guru besar” (sering ditulis uztad, uztads, ustadz, dan sebagainya), sedekah (sering ditulih sodakah, sidekah, dan sebagainya), infak (sering ditulis infaq), istikamah (sering ditulis istiqomah, istiqamah, dan sebagainya), silaturahmi (sering ditulis silaturahim), dan batin (sering ditulis bathin). Selain istilah-istilah itu, juga ada istilah lain untuk momen Iduladha, yaitu Iduladha (sering ditulis Idul Adha).
Banyaknya versi penulisan berbagai istilah Islam tersebut terjadi karena dua hal. Pertama adalah proses transliterasi yang terjadi sejak dulu. Transliterasi adalah kegiatan pengalihaksaraan suatu bahasa. Kegiatan ini masih menggunakan bahasa yang sama tetapi disalin dalam bentuk aksara (huruf) yang berbeda. Secara sederhana dapat dipahami, ketika bahasa Arab yang ditulis dalam aksara Arab, ditulis kembali dalam aksara Indonesia sehingga hal ini menyebabkan terjadinya banyak variasi. Salah satu contoh yang sering terjadi adalah penggunaan antara huruf g, k, dan kh ketika menuliskan bahasa Arab dalam huruf Indonesia. Ini sering terjadi di dalam proses transliterasi tersebut. Oleh sebab itu, para pakar bahasa Indonesia berupaya untuk membakukan istilah-istilah tersebut yang kemudian dikenal dengan kata serapan.
Kata serapan adalah istilah untuk penggunaan kata-kata yang berasal dari bahasa asing, kemudian dituliskan kembali dalam bahasa Indonesia secara baku. Penulisan dalam bahasa Indonesia (yang bersumber dari bahasa asing tersebut) dilakukan atas pertimbangan penyesuaian ejaan atau pelafalan untuk pengguna bahasa Indonesia (lebih dikenal dengan istilah adaptasi). Ada banyak jenis kata serapan yaitu, adopsi (tidak ada perubahan seperti film dan hotel), adaptasi (memiliki perubahan dalam ejaan seperti komputer, kamera, diskon, dan universitas) dan pungutan (membentuk kata baru untuk padanan istilah asing tersebut seperti kata unduh yang maknanya sama dengan download, unggah yang maknanya sama dengan upload). Dalam konteks bahasa Arab, kata serapan yang diterapkan lebih banyak jenis adopsi, yaitu penyesuaian ejaan atau pelafalan dalam bahasa Indonesia.