Pertemuan dan Perpisahan
Pertemuan nan selalu dirindukan
Kebahagiaan nan didambakan
Kebersamaan saling memadu rasa
Agar tak rusak kerukunan kita
Tentang keluarga
Tentang sahabat
Tentang rekan kerja
Tentang cinta
Tentang sekelumit pahit
Perpisahan menjelma kisah nyata
Sakit memang menjerit
Kenapa ada pertemuan
Dan usai dengan perpisahan memilukan
Sungguhkah takdir Tuhan?
Atau karena kesalahan diri dan ego semata
Pembubaran jalinan hubungan dekat—kita
Kehidupan nyata dan maya
Selalu begitu adanya
Pertemuan dan perpisahan
Tak bisa dihindari
Pada sesiapa pun makhluk-Nya.
Padang, 25 April 2019
Kembali Datang
Waktu menghitung tak pernah sudah
Ada saja sambungan sepanjang jalan
Walau susah hidup menerka
Masa depan cerah
Dan evaluasi diri di tiga tahun lalu
Kadang tak sampai kasih berlalu
Doa penuh di bulan seribu bulan
Tak mungkin dibiarkan berlalu
Alquran bacalah
Ampunan mintalah
Dia pemberi cahaya pada hati manusia
yang tunduk patuh pada aturan-Nya semata
Kau pun tahu bulan ini adalah ditunggu
Kedatangan berkah berlimpah
Dan seni menyatukan keluarga jauh
Satu bulan penuh menahan diri
Lapar-haus dan maksiat diri wajib dikendali
Walau tak sampai asa bermimpi
Lima tahun lagi masihkah hidup kembali?
Ingat-ingat pribadi jangan ongah diri
Kembalilah temui Dia Maha Pemberi
Luangkan waktumu sebulan penuh
yang amat mulia ini, beribadah nan tunduk
Sucikan hati seperti kertas putih
seperti bayi baru lahir menatap kehidupan ini.
Padang, 1 Mei 2019
Misteri Cita-Cita
Aku di sini
Maafkan aku yang lalai
Apakah aku pantas meminta maaf
Sebab sepanjang waktu
Terus ‘ku mengutarakan kata maaf
Dan cita-cita belum berujung adanya penuntasan
Tersadar ‘ku satu keinginan meninggi langit
Berputar di awang-awang
Katanya begitu,
Entah siapa dia, yang menyampaikan
Permintaan ayah dan ibu
Belum kutunaikan
Aku tak pandai berpuisi
Juga tak lihai berdiskusi
Jika benar ada sebuah bisikan hati
Di manakah ia bermisteri?
Mencari jati diri
Hitung mundur, maju tak berlari.
Kinali, 15 Juni 2019
Mahkota
Mereka yang bertemu
Menjalin kasih asmara
Ayah dan Bunda kucinta
Menghadirkanku, merawat penuh kasih
Hari semakin berlalu
Wajahmu menua dan mengeriput
Aku sebagai harapan kebahagiaanmu
Doakan aku bisa menghadiahimu mahkota
Memasangkannya padamu di akhirat kelak
Aku hafidz quran di dunia
Padang, 19 Juni 2019
Putri Ningsih, lahir di Durian Tibarau, 1994. Besar di Kinali, Pasaman Barat. Menyelesaikan S1 Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian di Universitas Andalas, Padang.
Email: putriningsih.melayu7@gmail.com
Pandangan Mata Menjelma Puisi
Oleh Ragdi F. Daye
(Buku terbaru yang memuat puisinya
Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian, 2021)
Kau pun tahu bulan ini adalah ditunggu
Kedatangan berkah berlimpah
Richards (dalam Djojosuroto, 2006) mengungkapkan bahwa hakikat puisi terdiri atas empat hal pokok, yaitu pertama sense (tema, arti) yaitu pokok persoalan yang dikemukakan oleh pengarang melalui puisinya; kedua feeling (rasa) yaitu sikap penyair terhadap pokok persoalan yang dikemukakan dalam puisinya; ketiga tone (nada) yaitu sikap penyair terhadap pembaca atau penikmat karyanya pada umumnya, penyair bisa bersikap rendah hati, angkuh, persuatif, sugestif; dan keempat intention (tujuan) yaitu tujuan penyair dalam menciptakan puisi tersebut, tujuan atau amanat ini bergantung pada pekerjaan, cita-cita, pandangan hidup, dan keyakinan yang dianut penyair.
Pada edisi kali ini, Kreatika menampilkan empat buah puisi dari Putri Ningsih. Puisi-puisi sarjana teknologi pendidikan asal Pasaman ini berjudul “Pertemuan dan Perpisahan”, “Kembali Datang”, “Misteri Cita-cita”, dan “Mahkota”. Puisi pertama mengangkat tema interaksi dalam kehidupan manusia. Untuk tercipta suasana damai yang menentramkan antaranggota keluarga, sahabat, rekan kerja, dan relasi sesama manusia. Kedamaian dan kebahagian terwujud dengan adanya kebersamaan yang menghubungkan hati dan perasaan saling mempercayai. Seperti yang diungkapkan bait ini, “Pertemuan nan selalu dirindukan/ Kebahagiaan nan didambakan/ Kebersamaan saling memadu rasa/ Agar tak rusak kerukunan kita”.
Kedamaian dan kebersamaan yang menjadi dambaan manusia tersebut akan mewujudkan suasana harmonis yang mendukung tatanan kehidupan yang baik. Namun, hal tersebut dapat rusak ketika ada personal di dalam ekosistem masyarakat mengedepankan ego yang menyebabkan rusaknya hubungan baik dalam komponen yang membangun harmoni kehidupan tersebut. Perpisahan, perseteruan, atau pun perselisihan akan menimbulkan rasa sakit pada diri insan yang terlibat dalam interaksi tersebut dengan intensitas yang berbeda-beda ditentukan oleh respons terhadap kondisi tersebut, apakah si insan dapat menerima perpisahan atau perbedaan sebagai bagian dari dinamika kehidupan yang alami atau justru menyalahkan keadaan.
Puisi-puisi Putri Ningsih yang bersahaja mencoba mengungkapkan potret kehidupan dengan gaya monolog yang tidak bergelap-gelap. Luxemburg (1992) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan teks puisi adalah teks-teks monolog yang isinya tidak pertama-tama merupakan sebuah alur. Selain itu teks puisi bercirikan penyajian tipografik tertentu. Tipografik ini merupakan ciri yang paling menonjol dalam puisi. Apabila kita melihat teks yang barisnya tidak selesai secara otomatis kita menganggap bahwa teks tersebut merupakan teks puisi. Pendapat Luxemburg ini memang kita temukan pada teks puisi Putri Ningsih. Baris-baris menunjukkan struktur kalimat yang tidak utuh yang saling menguatkan maksud dengan baris-baris di sekitarnya. Tipologi teks yang khas secara langsung menghubungkan persepsi pembacaa pada genre puisi.
Teks Putri juga bertujuan menjadikan puisi sebagai media untuk mengingatkan diri dan pembaca. Momen yang relevan adalah bulan suci Ramadan yang datang dua hari lagi. Bagi umat Islam, Ramadan adalah waktu yang sangat berharga karena mengandung rahmat dan ampunan dengan nilai amalan yang berlipat ganda. Oleh karena itu, penulis mengajak untuk memanfaatkan kehadiran bulan ini dengan memperbanyak amal ibadah karena tidak ada jaminan kita akan mendapat kesempatan untuk bertemu lagi di masa yang akan datang. Inilah yang diungkapkan puisi kedua: “Waktu menghitung tak pernah sudah/ Ada saja sambungan sepanjang jalan/ Walau susah hidup menerka/ Masa depan cerah// Dan evaluasi diri di tiga tahun lalu/ Kadang tak sampai kasih berlalu/ Doa penuh di bulan seribu bulan/ Tak mungkin dibiarkan berlalu”
Pradopo (2009) mengatakan bahwa penyair hendak mencurahkan perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya seperti yang dialami batinnya. Perasaan dan harapan penulis sebagai seorang anak yang berbakti pada orang tua diungkapkan Putri pada puisi keempat: “Hari semakin berlalu/ Wajahmu menua dan mengeriput/ Aku sebagai harapan kebahagiaanmu/ Doakan aku bisa menghadiahimu mahkota/ Memasangkannya padamu di akhirat kelak/ Aku hafidz quran di dunia.” Setiap anak tentuk ingin membalas jasa orang tua yang telah berkorban mulai dari melahirkan, merawat, menyekolahkan, hingga membesarkan sampai dewasa dan mandiri. Seorang anak yang saleh akan menjadi mahkota kebahagiaan bagi orang tua dengan doa yang tak akan putus dan hadiah di akhirat kelak bila mampu menghafal Alquran dan mengamalkannya. Niat tulus yang dapat menjadi inspirasi bagi pembaca.
Puisi dapat menjadi media untuk mengantarkan isi perasaan kepada orang yang membacanya. Isi gagasan tersebut dibungkus dengan lapis-lapis bahasa yang estetis. Semoga pesan Putri telah sampai.[]
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca.
Discussion about this post