Oleh:
Sitti Hikmawatty
Aktivis Perlindungan Anak
Ahli Gizi.
Data terus bergerak berubah meningkat. Tapi perbedaan data harusnya tidak jomplang antara satu dan yg lain.
Baca Juga: Darurat Perlindungan Anak dari Covid-19
Awalnya, pagi itu saya menerima WA dari seorang Pemred media terkemuka. Isinya menanyakan kebenaran data yang disampaikan oleh KPAI tentang keterpaparan anak oleh Covid-19.
“Ada 800 anak yang terpapar,” katanya. “Ini untuk Indonesia atau hanya provinsi Sumatera Selatan saja ya?”.
Maka sayapun menunda tulisan yang sedang saya kerjakan saat itu, dan tergerak melakukan penelusuran.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) melalui laman resminya hingga tanggal 18 Mei 2020, telah merilis tentang tingginya keterpaparan anak dalam pandemic COVID-19 ini, yaitu total terdampak sebanyak 3.324 anak, 129 anak berstatus PDP meninggal, 584 anak terkonfirmasi positif COVID-19, dan 14 anak meninggal akibat COVID-19.
Sementara itu, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, per tanggal 22 Mei 2020, disebutkan bahwa Total Pasien anak di bawah usia 18 tahun adalah 19.196 anak yang terdampak. Jumlah ini berasal dari : OTG 954 anak, ODP 10.375 anak, PDP 7.152 anak, Covid positif 715 anak, dengan total keseluruhan anak yang meninggal adalah 452 anak.
Laporan pada tanggal yang sama dari Gugus Tugas menyebutkan bahwa terdapat 20.796 pasien positif, 5.057 pasien sembuh dan 1.326 pasien yang meninggal, sementara data terdampak pada tanggal 21 Mei 2020 adalah 0DP total 50.187. ODP anak 10.375. Jika kita coba bandingkan persentasi angka kematian anak dari laporan tersebut, maka angka kematian anak (452 kasus) ini mencapai 34,1 % dibandingkan dengan total kematian pada hari itu (1.326 kasus). Sedangkan berdasarkan penambahan kasus positif pada anak (715 kasus) mencapai 3,4 % dibandingkan pada total kasus (20.796 kasus).
Temuan data di atas membawa kita pada sebuah kesimpulan bahwa dibandingkan dengan negara lainnya, angka kematian dan kesakitan anak akibat COVID-19 di Indonesia termasuk tinggi, hal ini sekaligus juga membuktikan bahwa kelompok usia anak di Indonesia, rentan terhadap COVID-19.
Sekedar bertanya
Sejujurnya ada kegalauan ketika melihat temuan data anak terpapar, yang tidak sinkron satu sama lain. Saya berkeyakinan data ini pasti benar semua, baik dari sisi validitas maupun reliabilitasnya. Untuk data resmi IDAI maupun data resmi Kemenkes. Namun beda jumlah yang cukup besar ini, (sekitar 16.000 kasus) juga mengundang tanya yang lain.
Menurut seorang guru besar anak di FKUI, dimana beliau pernah menjadi pengurus IDAI juga, beliau mengungkapkan bahwa data-data IDAI biasanya didapatkan dari para dokter spesialis anak yang menangani pasien anak terdampak Covid 19, dilaporkan secara terstruktur melalui jejaring IDAI yang ada, mulai dari cabang hingga ke pusat, sementara data di Kemenkes, di ambil dari seluruh RS yang online dengan Ditjen Yankes.
Dengan kata lain, data ini sebetulnya menyuarakan lebih dari sekedar data Covid 19 pada anak saja. Adakah definisi “anak” menurut IDAI memiliki definisi khusus dibandingkan definisi “anak” menurut kementerian kwsehatan? Atau ini malah membawa pada asumsi lebih jauh.
Mungkinkah IDAI hanya mampu meng-cover 17,3 % kasus anak (3.324 pasien anak) dari total kasus 19.196 kasus yang terdata oleh kemenkes, tidakkah ini menjadi sebuah indikator bahwa kita masih sangat kekurangan tenaga dokter anak di Indonesia ??
Masih berdasarkan data yang disampaikan oleh Kemenkes RI, dari status kematian anak yang berjumlah 452 anak tersebut 85 % yaitu sekitar 383 anak, adalah pasien PDP, sebanyak 28 anak (6 %) yang meninggal adalah Positif, sebanyak 41 anak (9 %) yang meninggal adalah ODP, tentunya ini menjadi sebuah bentuk keprihatinan sendiri karena kematian terbesar sebanyak 85 %, terjadi pada anak yang telah menjadi pasien, yang berarti mereka yang telah berada dalam system penanganan kesehatan. Pertanyaan kedua, apakah ini juga menjadi sebuah “pembenaran” dari tingginya tingkat kematian karena ketiadaan dokter anak di samping mereka ??
Saat ini, dengan kondisi sekolah yang diliburkan tingkat keterpaparan anak oleh covid masih di sekitar angka 3 % dari total kasus. Dengan kasus yang masih “rendah” seperti inipun terlihat bahwa kita tidak begitu siap mengatasinya. Bayangkan jika sekolah nanti di buka dengan pengkondisian yang tidak optimal, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi ledakan kasus anak.
Sementara kita harus mempertimbangkan, bahwa populasi anak Indonesia menempati sepertiga jumlah populasi penduduk Indonesia, jumlah yang cukup besar. Pertanyaan berikutnya, bagaimana para dokter anak, paramedik anak dan sarana prasarana yang terbatas ini dipaksa berjibaku mengatasi kondisi yang nanti terjadi, sementara dengan kondisi saat ini saja sudah cukup terengah-engah ??
Dalam kondisi sebelum pandemik, kita menyadari bahwa masih ada kelangkaan di beberapa tempat/wilayah antara kebutuhan jumlah serta sebaran tenada medis yang diperlukan guna mencukupi kebutuhan penanganan kasus kedaruratan anak. Apalagi dengan munculnya wabah ini, tentu diperlukan percepatan dan langkah-langkah kongkrit dan tepat untuk mengisi kelangkaan tersebut. Saatnya bagi kita menjadikan musibah pandemik ini menjadi upaya penyelamatan perlindungan anak dengan lebih baik lagi.
Kesimpulan
1. Anak adalah kelompok rentan terpapar Covid 19, perlu kebijakan dan tindakan khusus untuk melindungi mereka dari paparan virus tersebut.
2. Perlu adanya transparansi dan integrasi data terkait penanganan kasus anak, karena anak memiliki kekhususan dan keunikan dalam penangananya.
3. Transparasi dan Integrasi data ini diperlukan agar pengambil kebijakan bisa mengeluarkan kebijakannya secara tepat dan sesuai dengan kondisi yang terjadi.
4. Perlu adanya pelurusan terhadap ketimpangan data yang terjadi, mengingat selisih beberapa hari saja, namun beda datanya sangat tinggi.
5. (Mungkinkah) Indonesia masih sangat kekurangan dokter anak, sehingga perlu di dorong adanya kebijakan pada mahasiswa kedokteran untuk diberikan akselerasi dalam menempuh pendidkan spesialisasinya khususnya dalam bidang anak, termasuk mendapatkan support pemerintah terkait biaya studi yang konon sangat tinggi ??
Semoga tulisan ini dapat menginspirasi pada upaya2 perbaikan. Aamin YRA. (*)
Discussion about this post