Oleh:
Indra J Piliang
Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara
Capaian tertinggi apa yang mampu diraih pemerintah menghadapi keganasan Covid-19?
Butuh kejujuran memberikan jawaban sederhana yang sudah tersedia. Jika sebaliknya, penuh permainan pilihan diksi dan kebohongan, makin rumit dan berbelit-belit jawaban yang diterima publik. Mencla-mencle. Tumpang tindih. Tak seragam. Dusta pun terikut-serta.
Apa jawabannya?
Bagi penulis profesional, tentu jarang yang memberikan jawaban pada awal uraian. Untuk apa dijelaskan, kalau jawaban sudah disebutkan. Hanya menghabiskan waktu. Tak ada misteri. Melunturkan rasa ingin tahu. Hanya cuap-cuap dan titip tampang semata.
Bagi pemilik media, selain habiskan jumlah halaman yang bisa jadi sudah terbayang kesia-siaannya, apalah lagi menyelesaikan pengucuran honorarium. Insan jurnalistik pun terkesan bakal tak bekerja apa-apa, manakala jawaban sudah diberikan pada hulu berita.
Tapi, penulis langgar tabu itu. Ini jawabannya. Hanya satu alinea: memperkuat infrastruktur pelayanan kesehatan publik pada semua tingkat pemerintahan.
Apabila infrastruktur pelayanan kesehatan publik itu berhasil diperkuat, seluruh pengorbanan yang kita lakukan bakal tidak terasa sia-sia. Pengorbanan siapapun, termasuk mereka yang tidak mengerjakan apa-apa, hanya menuruti saja apa himbauan pemerintah.
Apalagi bagi yang bekerja di garda depan, baik di tempat-tempat mahal, hingga kawasan miskin, tentulah terbayar seluruh pengorbanan yang terjadi. Termasuk jumlah nyawa yang melayang.
Sejauh ini, infrastruktur pelayanan kesehatan publik di Indonesia terbukti masih lemah. Sehingga, perlu upaya memperkuat. Upaya memperkuat, bisa juga dalam pemahaman lain, yakni mengadakan yang belum ada, memperbaiki yang kurang baik, hingga memperbarui yang kadaluarsa.
Usaha, dana dan energi sudah dikerahkan untuk hadapi Covid-19. Protokol-protokol disusun, ditetapkan dan dijalankan. Aturan perundang-undangan diperbaiki, direvisi, hingga dibuat baru sama sekali.
Hanya saja, sebelum melebar kemana-mana, terasa penting diingatkan lagi bahwa keseluruhan itu patut dan niscaya terhubung dengan infrastruktur pelayanan kesehatan publik. Sekalipun dalam situasi darurat sektor-sektor diluar kesehatan ikut terpengaruh, masih ada waktu untuk kembali ke jalur awal.
Kenapa hanya capaian infrastruktur pelayanan kesehatan? Kenapa bukan keberhasilan dalam perlombaan mendapatkan obat yang sesuai untuk atasi Covid-19? Atau bisa juga ikut serta dalam “perang ilmu pengetahuan” dalam rangka memperoleh vaksin yang tentu saja yang sesuai dengan penderita Covid-19 Indonesia.
Semua bisa saja diraih bersamaan. Akan tetapi, problematikanya terlalu banyak. Sebagai konsumen berita, tiap hari pembaca Indonesia ikut-ikutan termakan propaganda Tiongkok versus Amerika Serikat, misalnya.
Mana yang lebih banyak, berita sejenis perang kekuatan negara-negara super power itu atau sisi-sisi yang paling terkait dengan Covid-19 sebagai masalah kemanusiaan universal? Tiap negara tentu punya agenda yang berbeda-beda, sekalipun tetap dengan protokol yang sama dalam menghadapi Covid-19.
Amerika Serikat mau menghadapi pemilihan presiden dan wakil presiden, Tiongkok tetap ingin mempertahankan dominasi ekonomi, begitu juga dengan ekonomi India yang jarang tumbuh di atas 6%-7% seperti tahun-tahun lalu.
Indonesia? Masih lama lagi pemilihan presiden dan wakil presiden. Tak bisa dibayangkan, andai Covid-19 itu terjadi pada awal tahun 2019, misalnya. Virus ini datang setelah segala-macam libido dan angkara-murka politik dientaskan dan dituntaskan di arena demokrasi elektoral.
Lebih mudah menemukan persamaan, ketimbang perbedaan, dalam situasi yang daya hantam politisasinya setenang sekarang. Tentu dengan catatan tebal: kejujuran menjadi juru bicara keseluruhan perkara.
Sejauh ini, belum terdapat penerawangan yang jernih terhadap krisis ini. Penerawangan dalam artian, peta jalan yang hendak dituju selama Covid-19 masih menjadi pandemi.
Betul, ada waktu yang mulai ditera. Juli, misalnya, disebut sebagai masa landai pada batas bawah grafik. Tetapi, betulkah Juli adalah saat-saat pelonggaran social distancing and physical distancing dijalankan? Kalau bukan Juli, kapan?
Selama waktu (kuantitatif) belum bisa dipastikan secara akurat, bukankah capaian kinerja (kualitatif) bisa juga menjadi bagian dari terawangan itu? Apa capaian itu?.
Selama protokol Covid-19 masih berjalan, keseluruhan perhatian tertuju kepada bagaimana memperkuat infrastruktur pelayanan kesehatan publik, di seluruh tingkat pemerintahan: pusat, provinsi, kota, kabupaten, kecamatan, kelurahan, hingga desa.
Jika masih lemah, tentu perlu perbaikan supaya menjadi kuat. Tentu, perbaikan dalam artian yang luas, walau dilakukan setahap demi setahap. Bukan hanya dari sisi sarana dan prasarana, tetapi juga sumber daya manusia yang ditempatkan di garda depan.
Tidak boleh lagi terdapat Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang terletak di area pekuburan atau tempat jin buang anak. Atau, di lahan yang sangat sempit, susah parkir dan padat penduduk.
Sudah sepatutnya Puskesmas termasuk sebagai ikon penting masyarakat modern. Puskesmas hanya salah satu dari infrastruktur kesehatan yang penting diperbaharui, selama proses penanganan Covid-19.
Di luar Puskesmas, tentu juga mobil ambulance dan peralatan darurat di dalamnya. Jangan sampai mobil ambulance identik dengan mobil jenazah saja.
Meningkat dari Puskesmas, tentu perhatian tertuju kepada Rumah Sakit Umum (RSU) dengan standar Pusat yang tersebar di seluruh ibukota provinsi. Semakin banyak sebutan RSU Daerah diganti menjadi RSU Pusat, walau terletak di ibukota provinsi, semakin baik.
Di luar itu, diperlukan edukasi publik yang lebih bukan hanya terhadap penanganan Covid-19. Tetapi juga terhadap penyakit-penyakit yang lain. Ketersediaan hand sanitizer dan masker, misalnya, jangan sampai hanya berlaku untuk masa penanganan Covid-19.
Puskesmas benar-benar difungsikan sebagai area publik dalam mendapatkan informasi yang sesuai standar ilmu pengetahuan dalam masalah-masalah kesehatan. Kalau perlu, di dalamnya terdapat satu ruangan khusus yang berisi “museum sejarah” yang terkait dengan penyakit-penyakit luar biasa yang pernah melanda dunia.
Bukankah kesehatan termasuk satu dari tiga indikator dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM)? Di luar pendidikan (intelektualitas), dua indikator IPM lain berupa kemampuan ekonomi (lapangan kerja) dan kesehatan publik termasuk dalam indikator fisik.
Artinya, lebih bisa diukur, ketimbang lamanya pendidikan yang ditempuh. IPM selama ini selalu menjadi buah bibir pelayan publik, termasuk penyelenggara negara. Hanya saja, sering dalam adagium yang kurang tepat, ketika disampaikan dalam panggung kampanye.
“Bebas biaya pendidikan! Bebas biaya kesehatan!” adalah contoh dari pilihan pamflet kampanye politik di Indonesia. Padahal, pendidikan dan kesehatan itu mahal.
Dengan pandemi Covid-19, masyarakat semakin paham betapa tidak mudah mendapatkan peralatan-peralatan khusus dunia kesehatan. Kalaupun ada, biayanya mahal. Sejumlah korban meninggal dunia dari penderita Covid-19 ditengarai kesulitan mendapatkan peralatan medis yang sesuai standar.
Jadi, apa artinya satu capaian itu?
Mulailah tata lagi hotel-hotel yang digunakan untuk kepentingan penanganan Covid-19 ini, ke dalam formula infrastruktur kesehatan. Pengusaha hotel bisa menyalurkan bantuan pembangunan satu atau dua kamar khusus di satu atau dua Puskesmas, misalnya, dengan kualitas bintang dua atau tiga.
Ketimbang mencari-cari alat-alat kesehatan via internet, lalu rugi akibat ditipu, baiknya filantropis menjadi bapak asuh keluarga penjahit masker yang tinggal di area yang dekat dengan satu atau dua Puskesmas sebagai area persebaran.
Para anak-anak muda yang kelebihan tenaga, lalu berbondong menyebarkan masker di tempat-tempat yang sepi kendaraan, bisa menyusun agenda ke satu atau dua Puskesmas entah kapan, lalu bergotong royong menjadikan tempat itu nyaman dan santuyyy banget!
Ibarat tanaman yang sedang tumbuh liar, apa yang dinamakan sebagai infrastruktur pelayanan kesehatan itu perlu disiangi gulma-gulma dan hama-hama pengganggunya. Memang, hanya satu yang hendak dicapai. Tetapi perlu bersatu untuk mencapai yang satu itu…
Jakarta, 2 Mei 2020