
Alam adalah ibu. Bila kau menyakitinya, engkau akan kehilangan pelukan terhangat dalam hidupmu (W.S.Rendra, Penyair)
Alam ibarat seorang ibu yang penuh kasih dan kehangatan dalam memberikan perlindungan bagi manusia, seperti yang diungkapkan Sang Penyair Burung Merak, W.S. Rendra. Manusia harus memperlakukan alam seperti seorang ibu agar tidak terjadi bencana. Saat ini, bencana alam yang terjadi di mana-mana adalah teguran bagi manusia karena tidak menjaga dan memperlakukan alam dengan hormat layaknya seorang ibu. Alam sebagai sumber kehidupan bagi manusia menjadi murka.
Manusia sering lupa, tidak arif, dan tidak bijaksana dalam membaca tanda-tanda alam. Alam adalah rangkaian tanda-tanda (semiotika) kehidupan yang membutuhkan kebijaksanaan dalam membacanya. Setiap gerakannya adalah petanda yang perlu disikapi dengan baik. Selain ibu, alam juga adalah guru sumber ilmu pengetahuan. Darinya manusia belajar tentang kehidupan yang dalam pepatah Minangkabau disebut dengan alam takambang jadi guru. Alam memberikan banyak pembelajaran kepada manusia untuk hidup, tumbuh, dan berkembang dalam membangun peradaban. Alam menyediakan seluruh isinya untuk dimanfaatkan, mulai dari tumbuhan-tumbuhan yang menghasilkan buahan-buahan, binatang yang menghasilkan susu dan daging, dan laut yang menghasilkan ikan, hutan yang menyediakan oksigen untuk bernapas. Oleh sebab itu, alam membutuhkan perlakuan yang baik dari manusia. Hanya saja manusia terkadang tamak dan serakah. Manusia merusak alam, menebang pohon, membakar hutan, menambang pasir, batu kali, dan lain-lain yang mengakibatkan terjadinya bencana alam, seperti banjir dan longsor yang saat ini mengepung Sumatera Barat (Sumbar), Sumatera Utara (Sumut), dan Aceh.
Bencana dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 didefinisikan sebagai rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengangganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbul korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana yang terjadi saat ini di Sumbar, Sumut, dan Aceh sudah diprediksi dan disampaikan oleh BMKG satu minggu sebelumnya dengan nama hidrometeorologi. Hidrometeorologi adalah suatu fenomena bencana yang terhadi di atmosfer (meteorologi) air (hodrologi), dan laut (oceanografi) dan bencana hidrometeolorlogi disebabkan oleh parameter-parameter meteorologi, seperti curah hujan, kelembababan, temperatur, dan angin (wartapalaindonesia). Saat informasi tersebut disampaikan oleh BMKG, kita semua tidak cepat tanggap dan tidak menyangka akibatnya sebesar saat ini. Hal itu disebabkan oleh karena kurangnya literasi kebencanaan, kurangnya arif dalam membaca tanda-tanda alam, kurang menghargai, dan berkurangnya rasa hormat terhadap alam.
Setiap bencana yang terjadi di alam selalu didahului oleh tanda-tanda yang dapat dibaca oleh manusia. Dalam masyarakat tradisional, tanda-tanda alam dapat dilihat dari perilaku binatang, cuaca yang tidak biasa, posisi matahari, bulan, dan bintang, arah angin, dan tanda-tanda alam lainnya. Dalam kehidupan masyarakat modern, tanda-tanda alam dibaca melalui informasi atau prediksi yang disediakan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) tentang cuaca ekstrem, curah hujan yang tinggi, badai, gempa bumi, gunung meletus, dan lain-lain. Hanya saja beberapa informasi dari BMKG sering tidak ditanggapi dengan serius dalam bentuk mitigasi atau usaha mengurangi risiko/dampak bencana. Masyarakat Indonesia yang tidak memiliki literasi kritis terhadap membaca tanda-tanda alam dan juga kurang cepat tanggap terhadap informasi, kajian, penelitian, dan pendapat ahli tentang kebencanaan menjadi gagap saat terjadi bencana.
Hasil penelitian tentang tanggap bencana yang sudah dimodali oleh negara ratusan juta jika ditindaklanjuti dengan benar seharusnya dapat memberikan solusi yang nyata untuk mengatasi bencana. Hasil-hasil penelitian tersebut tidak hanya menumpuk di ruang-ruang gelap gedung perpustakaan. Semua pesan, tanda-tanda, prediksi BKMG, dan hasil penelitian seharusnya sudah cukup untuk menjaga kita dari bencana. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi. Informasi-informasi terkait dengan bencana belum sampai dengan benar kepada masyarakat serta belum menjadi kesadaran kebiasaan (habbit) dan budaya (culture) di masyarakat. Budaya membaca tanda-tanda dalam kajian semiotika dan tradisi menafsirkan informasi dalam hermeneutika perlu lebih dikuasai oleh masyarakat. Masyarakat butuh dicerdaskan lagi agar dapat memahami tanda-tanda alam dengan bijak dan arif.
Literasi semiotika dan hermeneutika adalah perkara mengasah insting atau kepekaan kebahasaan dalam membaca tanda-tanda alam dan menafsirkan dengan benar agar dapat melakukan tindakan terbaik untuk penyelamatan diri, misalnya membiasakan peduli dan memahami bahasa-bahasa pada papan peringatan yang mengandung tanda-tanda bahaya, seperti kata rawan, mitigasi, bencana, bahaya, ekstrem, berisiko, evakuasi, korban, pencegahan, penyembuhan, rehabilitasi, siaga, tim penyelamat, dan lain-lain, membangun kesadaran agar tidak membangun rumah di tepi sungai, membangun kesadaran agar tidak menebang pohon-pohon di hutan sebagai penahan curah hujan, membangun kesadaran agar tidak membangun rumah dekat pantai agar terhindar dari tsunami atau ombak pasang, dan sebagainya. Pemerintah juga harus membuat kebijakan tegas agar masyarakat menjauhkan diri dari sumber bencana.
Setiap potensi bahaya yang telah cukup detail disampaikan oleh BMKG dan juga dalam riset-riset yang dilakukan oleh para peneliti tidak berakhir sia-sia jika masyarakat telah cerdas soal bencana. Analisis kritis dalam membaca tanda dan menafsirkan informasi serta simbol-simbol, melihat segala yang sesuatu yang timpang dan senjang dari sebuah keadaan sosial yang patut diperjuangkan untuk mendapatkan keadilan dan haknya, perlu dilakukan sejak awal bagi masyarakat dan daerah rawan bencana sebelum bencana memakan banyak korban. Dengan demikian, literasi semiotik) dan hermeneutik dapat berguna untuk mencerdaskan dan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang bencana.







