Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Entah mengapa, hari itu saya hanya ingin mendengarkan satu lagu. Satu lagu saja! Padahal daftar putar di head unit mobil panjangnya bisa menemani perjalanan keliling Sumatera Barat. Namun anehnya, jari saya seperti disihir selalu kembali menekan tombol repeat one. Selama dua jam perjalanan, lagu itu terus berputar tanpa henti, tanpa bosan, kecuali sesekali ketika mobil berhenti untuk mengisi bahan bakar atau membeli gorengan.
Lucunya, saya pun tidak tahu mengapa bisa sefanatik itu terhadap satu lagu. Mungkin karena lagu tersebut sedang viral di sosial media, mungkin karena liriknya terasa begitu pas dengan suasana hati yang sedang lembut-lembutnya, atau mungkin juga karena melodinya memiliki efek magis. Setiap baitnya terasa mengelus pikiran, setiap nadanya seolah memahami isi kepala saya yang sedang ruwet.
Lagu itu akhirnya menjadi teman perjalanan. Seakan-akan saya tidak sedang berkendara sendirian, melainkan bersama seseorang yang tahu kapan harus diam dan kapan harus ikut bernyanyi pelan. Kadang saya ikut menyanyikannya, kadang hanya mendengarkan. Tapi ada satu hal yang lebih lucu, di tengah perjalanan itu, saya justru ikut teriak-teriak bernyanyi, seolah suara saya paling bagus di dunia.
Dalam hati saya yakin, suara saya cocok banget dengan karakter penyanyi aslinya, bahkan mungkin lebih. Dan yang paling konyol, ternyata saya banyak salah lirik! Tapi begitulah, semakin salah, semakin semangat. Anehnya, setiap kali lagu itu selesai, saya malah ingin memutarnya lagi. Lagu yang sama, tetapi rasanya bisa berubah-ubah, tergantung suasana hati dan pemandangan di luar jendela.
Sepertinya saya tidak selalu membutuhkan banyak hal untuk merasa cukup, kadang satu lagu saja sudah bisa menemani perjalanan panjang, seperti satu ingatan, satu rasa, atau satu orang yang tak ingin hilang dari kepala. Ketika perjalanan hampir berakhir, lagu itu masih berputar. Saya tertawa kecil. “Sudah dua jam, masa belum bosan juga?”. Namun, mungkin memang ada momen-momen dalam hidup yang tidak ingin kita percepat, tidak ingin kita ganti. Kadang hati hanya ingin berhenti di satu nada yang terasa paling pas, seperti menemukan frekuensi diri sendiri di tengah hiruk-pikuk dunia. Dan mungkin, itulah sebabnya satu lagu bisa terasa seperti perjalanan yang tak pernah selesai.