Minggu, 29/6/25 | 21:48 WIB
  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
Scientia Indonesia
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
Scientia Indonesia
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
  • RENYAH
  • TIPS
Home LITERASI ARTIKEL

Tantangan Kuliah Lapangan Fonologi di Era Mobilitas Tinggi

Minggu, 29/6/25 | 08:21 WIB

Oleh: Nada Aprila Kurnia
(Mahasiswa Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas dan Anggota Labor Penulisan Kreatif/LPK)

 

Kridalaksana (2009), dalam kajian linguistik menyatakan bahwa dialek merupakan ragam bahasa yang muncul dari perbedaan geografis, sosial, atau temporal. Dengan kata lain, dialek lahir dari dan dibentuk oleh lingkungan hidup penuturnya, baik tempat tinggal, latar sosial, hingga perkembangan zaman yang melingkupinya. Akan tetapi, ketika lingkungan itu berubah karena urbanisasi, pendidikan formal, ataupun paparan budaya luar, dialek juga ikut mengalami pergeseran. Bahkan, dalam beberapa kasus ragam bunyi khas suatu daerah perlahan mulai hilang. Fenomena ini terbukti dalam kuliah lapangan  mata kuliah Fonologi yang dilakukan oleh mahasiswa semester dua Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas.

BACAJUGA

Sarkasme dalam Tafakur 3 Munajat Cinta Seorang Hamba Karya Hardi Abu Rafa

Minggu, 30/3/25 | 18:00 WIB
Ketidakseimbangan Id, Ego, dan Superego dalam Novel “Merindu Baginda Nabi”

Ketidakseimbangan Id, Ego, dan Superego dalam Novel “Merindu Baginda Nabi”

Minggu, 12/1/25 | 10:37 WIB

Kegiatan tahunan ini dilakukan pada 03 Mei 2025 lalu. Mahasiswa yang ikut diarahkan untuk meneliti sistem bunyi suatu bahasa di daerah tertentu, termasuk ciri-ciri khas dialek lokal yang digunakan masyarakat setempat. Tujuannya adalah untuk mendokumentasikan dan menganalisis variasi bahasa di berbagai wilayah Minangkabau maupun luar Sumatera Barat. Lokasi kuliah lapangan tahun ini, sebelumnya dikenal memiliki dialek Minangkabau yang cukup khas, yaitu penggunaan konsonan uvular [ʀ] pada beberapa kosa kata. Lokasi ini tepatnya di Kampung Bendang, Nagari Sungai Sariak, Kabupaten Padang Pariaman.

Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, informan yang dipilih berusia antara 40 hingga 50 tahun serta tidak pernah meninggalkan daerahnya (mobilitas tinggi). Kelompok usia ini dianggap ideal karena cukup tua untuk mengenal bahasa daerah secara utuh dan masih produktif secara artikulasi. Akan tetapi, kuliah lapangan tahun ini sepertinya menghadapi tantangan yang tidak biasa, yaitu mulai hilangnya bunyi-bunyi khas yang seharusnya masih digunakan oleh masyarakat setempat.

Tantangan ini muncul karena sulitnya menemukan warga setempat dengan rentang usia 40–50 tahun yang belum pernah merantau ke kota besar. Dalam perbincangan dengan mahasiswa kuliah lapangan, pihak nagari menyampaikan bahwa hampir semua warga usia produktif sudah pernah keluar daerah untuk bekerja ataupun menempuh pendidikan. Di sinilah titik pentingnya, bahwa bukan usia yang menjadi masalah utama, tetapi riwayat mobilitas yang sangat tinggi di kalangan informan. Di era migrasi dan teknologi ini, menetap seumur hidup di kampung halaman bukan lagi hal yang lazim.

Dua informan yang berhasil diwawancarai di antaranya dari kelompok lima, yaitu Fitri Al Murti (40 tahun) dan Afrizal (40 tahun). Keduanya merupakan warga asli Kampung Bendang. Fitri mengaku pernah tinggal di Jakarta selama 16 tahun (2004–2020), sedangkan Afrizal selama 10 tahun pernah berdagang di Serang, Banten. Meskipun mereka mengaku masih fasih berbahasa Minang, hasil transkripsi memperlihatkan bahwa bunyi khas Kampung Bendang, seperti konsonan uvular [ʀ] nyaris tidak terdengar. Mereka lebih cenderung menggunakan bentuk bahasa Minang umum yang lebih netral dan tidak terikat oleh ciri-ciri dialek lokal.

Kondisi ini menggambarkan bahwa usia saja tidak lagi cukup sebagai indikator keaslian fonologis seorang penutur. Mobilitas, pengalaman migrasi, serta paparan terhadap dialek lain menjadi faktor yang sangat memengaruhi bahasa seseorang. Dalam konteks ini, pandangan Kridalaksana menjadi relevan. Bahwasanya jika dialek mencerminkan siapa yang berbicara dan dari mana, maka orang yang telah berpindah tempat dan hidup dalam lingkungan sosial berbeda tidak lagi menjadi representasi yang akurat dari dialek asalnya.

Kesadaran akan hal ini sebenarnya telah diulas lebih jauh oleh Dr. Ria Febrina, S.S., M.Hum., dalam tulisannya yang terbit di Scientia.id pada bulan Mei 2025 lalu dengan judul Dialek-dialek Bahasa Minangkabau yang (akan) Mulai Hilang. Ia juga merupakan dosen pengampu mata kuliah Fonologi dan ikut serta menemani kuliah lapangan tersebut. Dalam tulisannya, ia menyatakan bahwa kriteria usia 40 tahun yang dirujuk dalam buku Dialektologi: Teori dan Metode karya Nadra dan Reniwati (2009) tidak lagi relevan digunakan dalam konteks saat ini. Secara kronologis, informan yang kini berusia 40 tahun adalah individu yang berusia 24 tahun saat buku itu diterbitkan. Pada usia tersebut, sangat mungkin mereka telah merantau untuk kuliah atau bekerja ke luar daerah. sehingga sejak awal mereka telah terpapar bahasa dan budaya luar yang memengaruhi bentuk bahasa ibu yang mereka gunakan hari ini.

Hal ini menandakan bahwa fonologi yang diteliti bukan lagi representasi dari kampung halaman, melainkan hasil pencampuran antara dialek lokal dan pengaruh luar. Kelompok usia 40–50 tahun tidak lagi dianggap sebagai penutur stabil. Pertanyaan kritis muncul, apakah peneliti fonologi masih bisa mengandalkan informan usia 40–50 tahun untuk merekam dialek lokal secara autentik?

Dalam tulisannya, Dr. Ria Febrina juga menekankan bahwa pertimbangan usia dalam pemilihan informan kini harus dibarengi dengan penilaian atas mobilitas sosial dan riwayat pendidikan. Informan yang masih tinggal di kampung dan tidak banyak terpapar lingkungan luar lebih mungkin mempertahankan keaslian dialek. Pernyataan tersebut selaras dengan pengamatannya di lapangan. Ia bahkan menyarankan agar peneliti fonologi mulai memprioritaskan informan berusia 60 tahun ke atas, yakni kelompok yang kemungkinan besar belum pernah tinggal lama di luar daerah dan masih berakar kuat pada dialek lokal.

Sebagai perbandingan, kuliah lapangan Fonologi tahun 2024 di Desa Sekancing Ilir, Kecamatan Tiang Pumpung, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, menunjukkan hasil yang jauh berbeda. Di sana, warga lokal masih sangat mempertahankan dialek mereka, termasuk bunyi-bunyi khas yang tidak ditemukan di tempat lain. Ini terbukti dari dua informan kelompok satu, yaitu M. Syareh (57 tahun) dan Nebartis (47 tahun). Bahkan, beberapa penutur usia muda pun masih memperlihatkan ketekunan dalam menjaga bunyi asli kampung mereka. Hal ini terjadi berkat kuatnya lingkungan sosial penutur asli dan minimnya interaksi dengan dialek luar.

Dari dua kasus ini, tampak jelas bahwa peneliti bahasa perlu memperhitungkan riwayat sosial dan mobilitas calon informan, serta sejauh mana mereka terekspos pada bentuk bahasa lain. Jika tidak, maka dokumentasi fonologi tidak lagi menggambarkan kondisi bahasa daerah yang sesungguhnya. Selain itu, fenomena ini juga menjadi pengingat bahwa pelestarian bahasa daerah bukan semata tanggung jawab akademik, tetapi agenda kebudayaan yang menuntut keterlibatan banyak pihak. Pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan masyarakat adat perlu bersinergi untuk menjaga keberlanjutan dialek lokal.

Jika tidak, maka dua atau tiga dekade ke depan, kita mungkin hanya bisa mendengar kembali dialek-dialek seperti milik Kampung Bendang dari rekaman atau catatan tertulis. Warisan bunyi yang dahulu hidup dalam percakapan sehari-hari akan tinggal sebagai artefak linguistik dan kehilangan konteks sosial yang menghidupkannya.

Tags: #Nada Aprila Kurnia
ShareTweetShareSend
Berita Sebelum

Persoalan Kata Hidup dan Mati

Berita Sesudah

Puisi-puisi Afny Dwi Sahira

Berita Terkait

Mendorong Pemberdayaan Perempuan melalui KOPRI PMII Kota Padang

Mendorong Pemberdayaan Perempuan melalui KOPRI PMII Kota Padang

Minggu, 22/6/25 | 13:51 WIB

Oleh: Aysah Nurhasanah (Anggota KOPRI PMII Kota Padang)   Kopri PMII (Korps Putri Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) merupakan organisasi yang...

Aspek Pemahaman Antarbudaya pada Sastra Anak

Ekokritik pada Fabel Ginting und Ganteng (2020) Karya Regina Frey dan Petra Rappo

Minggu, 22/6/25 | 13:12 WIB

Oleh: Andina Meutia Hawa (Dosen Prodi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)   Kajian ekokritik membahas hubungan antara manusia, karya sastra,...

Perkembangan Hukum Islam di Era Digital

Mencari Titik Temu Behaviorisme dan Fungsionalisme dalam Masyarakat Modern

Minggu, 22/6/25 | 13:00 WIB

Oleh: Nahdaturrahmi (Mahasiswa Pascasarjana UIN Sjech M. Jamil Jambek Bukittinggi)   Sejarah ilmu sosial, B.F. Skinner dan Émile Durkheim menempati...

Salah Kaprah Penggunaan In dan Out di Ruang Publik

Salah Kaprah Penggunaan In dan Out di Ruang Publik

Minggu, 15/6/25 | 10:52 WIB

Oleh: Mita Handayani (Mahasiswa Magister Linguistik FIB Universitas Andalas)   Cassirer (dalam Lenk, 2020) mengatakan bahwa manusia adalah animal symbolicum,...

Metafora “Paradise” dalam Wacana Pariwisata

Frasa tentang Iklim dalam Situs Web Greenpeace

Minggu, 15/6/25 | 09:39 WIB

Oleh: Arina Isti’anah (Dosen Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma) Baru-baru ini kita disadarkan oleh fenomena kerusakan alam Raja Ampat yang...

Beban Tidak Kasat Mata Anak Perempuan Pertama

Beban Tidak Kasat Mata Anak Perempuan Pertama

Minggu, 08/6/25 | 08:17 WIB

Ilustrasi: Meta AI Oleh: Ratu Julia Putri (Mahasiswa MKWK Bahasa Indonesia 32 & Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Andalas)   “Kamu...

Berita Sesudah
Puisi-puisi Afny Dwi Sahira

Puisi-puisi Afny Dwi Sahira

POPULER

  • Ketua Panitia Dewan Pengarah atau SC, Hafrizal Okta Ade Putra (tengah) didampingi Sekretaris SC, Andi Mastian (kanan) dan Zulkenedi Said (kiri) usai pemeriksaan berkas persayaratan Bakal Calon Ketua di Aula Sekretariat DPD Golkar Sumbar. Minggu, (29/06/2025)

    Khairunnas Calon Tunggal, Musda Golkar Sumbar Dipastikan Berlangsung Aklamasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Puisi-puisi Afny Dwi Sahira

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tantangan Kuliah Lapangan Fonologi di Era Mobilitas Tinggi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jadwal Tahapan Musda DPD Golkar Sumbar Telah Dirilis, Ini Rinciannya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • PT SAK Gerak Cepat Bantu Perbaiki Jembatan Rusak di Nagari Payubarangan Timpeh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Yusri Latif Soroti SPMB Padang: Sistem Domisili Dinilai Diskriminatif, Situs Pendaftaran pun Dikeluhkan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Terpilih, Sugiono Pimpin IPSI Dharmasraya 2025-2029

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Scientia Indonesia

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024

Navigate Site

  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024