“Ini bukan sekadar masalah kapal tidak bisa bersandar. Ini adalah kegagalan negara menjamin hak dasar warganya,” kata Puan, Jumat (20/06/2025).
Selama berbulan-bulan, sekitar 4.000 warga Pulau Enggano hidup dalam keterbatasan ekstrem. Pasokan bahan pangan menipis, pelayanan kesehatan lumpuh, dan hasil bumi tak bisa dijual akibat macetnya jalur distribusi. Ironisnya, pemerintah daerah Bengkulu terkesan bungkam dan meninabobokan publik dengan narasi “semua sudah tertangani”, padahal faktanya masyarakat semakin menderita.
“Ketidakhadiran negara dalam situasi genting seperti ini tidak dapat dibenarkan. Rakyat Enggano adalah bagian dari Republik Indonesia. Mereka tidak boleh ditinggalkan,” tegas Puan.
Pendangkalan Pelabuhan Pulau Baai yang terjadi sejak Maret 2025 telah membuat kapal penumpang dan logistik tak bisa merapat ke dermaga. Penumpang bahkan terpaksa turun di tengah laut, sebuah potret nyata dari kelumpuhan pelayanan publik di wilayah perbatasan.
Hingga Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Bengkulu pun mengecam keras sikap pasif pemerintah daerah. Mereka menuntut tindakan nyata, bukan sekadar retorika yang membungkus kegagalan manajemen krisis.
Puan menilai krisis ini memperlihatkan lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, sekaligus mengungkap betapa abainya negara terhadap wilayah terpencil.
“Jika negara terus meminggirkan pulau-pulau kecil, maka mimpi tentang pembangunan merata hanya akan jadi omong kosong,” ujar cucu Proklamator Bung Karno itu.
Ia pun mengingatkan komitmen Indonesia dalam Agenda SDGs 2030 dengan prinsip “No one left behind”. Menurutnya, membiarkan Enggano terisolasi berarti mengingkari semangat pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial yang selama ini digembar-gemborkan.
“Kita ini sering lantang bersuara di panggung dunia tentang pembangunan inklusif. Tapi lihatlah, warga di pulau sendiri ditelantarkan. Ini tamparan keras bagi nurani kita sebagai bangsa,” kecamnya.
Puan menuntut Kementerian Perhubungan segera mengirim kapal logistik dan penumpang secara rutin ke Enggano serta mempercepat pengerukan Pelabuhan Pulau Baai. Ia juga meminta adanya pelayaran alternatif dan intervensi darurat dari kementerian teknis seperti Kementerian Sosial, Kesehatan, dan BNPB.
“Dana Desa dan APBD juga harus bisa dioptimalkan untuk menyewa armada logistik lokal, agar denyut ekonomi masyarakat kembali hidup,” ujarnya.
Tak hanya itu, Puan mendorong percepatan pembahasan RUU Daerah Kepulauan agar pembangunan tidak lagi bias daratan. Ia menekankan, ukuran keberhasilan negara bukan pada megahnya proyek infrastruktur, tetapi sejauh mana negara mampu hadir dalam situasi paling mendesak.
“Pulau Enggano harus menjadi cermin bahwa pembangunan sejati adalah ketika negara tak membiarkan satu pun warganya tertinggal. Sekecil apa pun wilayah itu, sejauh apa pun dari pusat kekuasaan,” tutupnya.
Puan juga memastikan DPR RI akan terus mengawal penanganan krisis ini sampai pemerintah benar-benar hadir dan bertindak, bukan sekadar bicara.(yrp)