Oleh: Yudhistira Ardi Poetra, M.I.Kom
(Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya)
Pada tanggal 20 Oktober 2024 kemarin, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka resmi dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2024–2029 dalam sidang paripurna MPR yang diadakan di Jakarta. Prosesi pelantikan dimulai dengan pengucapan sumpah Prabowo sebagai presiden dan diikuti oleh Gibran yang mengucapkan sumpah sebagai wakil presiden. Acara ini dihadiri oleh beberapa tokoh penting, di antaranya Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode sebelumnya, Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, presiden Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, beberapa mantan Wakil Presiden Indonesia, serta sejumlah kepala negara sahabat. Salah satu rival politik Prabowo-Gibran, Anies Baswedan, turut hadir pada pelantikan tersebut. Namun, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD tidak terlihat hadir di sana.
Setelah pelantikan, Prabowo menyampaikan pidato kenegaraan pertamanya. Ia menegaskan komitmen untuk membawa perubahan positif bagi Indonesia, terutama di bidang keamanan, ekonomi, dan infrastruktur. Suasana pelantikan terasa meriah dengan keamanan yang ketat di sekitar gedung MPR/DPR. Selain itu, iring-iringan Prabowo-Gibran menyapa warga sepanjang jalan seolah menambah kemeriahan acara pelantikan tersebut. Prabowo dan Gibran sudah resmi memulai tugas sebagai pemimpin negara Indonesia hingga 2029 nanti dengan membawa tanggung jawab besar dalam membangun dan menjaga kesejahteraan bangsa. Sebuah mimpi dan harapan baru tentu saja disematkan oleh ratusan juta masyarakat Indonesia kepada mereka.
Pemerintah baru ini tampaknya serius dalam memperhatikan keterwakilan dari berbagai sektor. Mereka mengusung kombinasi antara profesional handal dan tokoh politik berpengalaman, ditambah beberapa wajah baru di posisi-posisi kunci. Nama-nama familiar dari koalisi seperti Airlangga Hartarto, Yusril Ihza Mahendra, dan Agus Harimurti Yudhoyono kini melenggang menjadi menteri koordinator. Yang menarik, rival mereka, yaitu Cak Imin, yang berpasangan dengan Anies Baswedan, juga dilantik menjadi Menteri Koordinator yang membawahi beberapa kementerian. Selain itu, ada beberapa nama lainnya yang cukup mencolok perhatian para pengamat.
Dalam arahan awalnya, Prabowo menyatakan harapannya agar Kabinet Merah Putih dapat membawa perubahan signifikan dalam pemerintahan, menciptakan stabilitas politik, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Ia menekankan bahwa para menteri yang terpilih harus memiliki komitmen yang kuat untuk bekerja demi bangsa dan negara, dengan peringatan tegas bahwa mereka yang tidak sejalan dengan visi pemerintah akan segera diberhentikan. Para menteri yang baru dilantik juga mengikuti pembekalan khusus di Akademi Militer Magelang, bertujuan untuk memperkuat visi kebangsaan dan memastikan mereka memahami tanggung jawab yang diemban. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan mereka dapat berkolaborasi secara efektif dalam mewujudkan cita-cita pemerintahan yang inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat, serta siap menghadapi berbagai tantangan yang ada.
Tidak beberapa lama setelah pelantikan, bahkan hanya dalam sehari, muncul dua fenomena menarik terkait cara komunikasi beberapa Menteri di Kabinet Merah Putih kepada masyarakat. Pertama, Menteri Koordinator Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yusril Ihza Mahendra mengeluarkan pernyataan yang menyatakan bahwa peristiwa Mei 1998 tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Pernyataan ini memicu beragam reaksi, terutama dari aktivis hak asasi manusia dan keluarga korban. Yusril menekankan pentingnya pendekatan yang hati-hati dalam mendefinisikan pelanggaran HAM dan berencana untuk berdialog dengan Menteri HAM Natalius Pigai guna meninjau rekomendasi dari Komnas HAM terkait status peristiwa tersebut.
Di sisi lain, Menteri HAM, Natalius Pigai yang direncanakan Yusril untuk berdialog mengenai pernyataan mengenai peristiwa 1998, malah disorot ketika mengusulkan peningkatan anggaran kementerian dari sekitar 60 miliar rupiah menjadi 20 triliun rupiah. Ia berargumen bahwa kenaikan anggaran ini diperlukan untuk memperkuat program penegakan HAM dan memperluas akses keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Usulan tersebut mendapatkan perhatian luas, dengan banyak pihak mengingatkan perlunya rencana kerja yang jelas agar dana tersebut digunakan secara efektif dan transparan.
Kedua pernyataan dari Yusril dan Natalius mencerminkan pentingnya komunikasi yang sensitif dan strategis dalam mengelola isu-isu publik, terutama yang terkait dengan hak asasi manusia di Indonesia. Yusril berupaya menetapkan batasan dalam kategori pelanggaran HAM, sementara Natalius menekankan perlunya dukungan anggaran yang lebih besar untuk menjamin implementasi program-program yang bermanfaat bagi masyarakat. Melalui pernyataan tersebut, mereka seakan menunjukkan bahwa pemerintahan siap merespons tantangan yang ada dengan lebih efektif. Namun, banyak pengamat hukum melihat tindakan ini sebagai blunder dan kesalahan fatal di awal periode pemerintahan baru, menyoroti perlunya kehati-hatian dalam menyampaikan pernyataan terkait isu sensitif.
Pernyataan Yusril Ihza Mahendra yang menyatakan bahwa peristiwa Mei 1998 bukan merupakan pelanggaran HAM berat telah mendapatkan beragam kritik, terutama dari aktivis hak asasi manusia dan keluarga korban. Mereka berpendapat bahwa klasifikasi semacam itu dapat menghalangi upaya pencarian keadilan bagi para korban serta keluarga yang masih menginginkan kepastian mengenai peristiwa tersebut. Komnas HAM, yang telah menganggap insiden itu sebagai pelanggaran HAM berat sejak awal, menegaskan bahwa sikap pemerintah seharusnya mencerminkan komitmen dalam menyelesaikan kasus-kasus yang telah berlalu dan belum kunjung mencapai titik terang hingga puluhan tahun ini. Selain itu, pernyataan ini dianggap berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap upaya pemerintah dalam menegakkan hak asasi manusia, terutama dalam hal pengungkapan kebenaran dan pemulihan bagi para korban.
Selain itu, usulan Menteri HAM untuk meningkatkan anggaran menjadi 20 triliun rupiah juga menarik perhatian besar dari kalangan pengamat dan anggota legislatif. Banyak kritikus berpendapat bahwa lonjakan anggaran yang signifikan ini tidak akan efektif tanpa adanya rencana kerja yang jelas dan terukur. Mereka mempertanyakan apakah dana sebesar itu akan benar-benar digunakan secara transparan untuk mendukung akses keadilan dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat. Bahkan, beberapa pihak khawatir bahwa situasi ini berpotensi menciptakan peluang untuk praktik korupsi yang sudah terencana. Para legislator menekankan bahwa penggunaan anggaran yang besar ini harus disertai dengan akuntabilitas yang tinggi, terutama dalam pengelolaan kasus-kasus pelanggaran HAM dan fasilitas lain yang berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat.
Kemampuan berkomunikasi yang baik dan efektif sangat krusial bagi pemerintahan Prabowo-Gibran dalam membangun hubungan positif dengan masyarakat. Mengingat pemerintahan ini baru saja dimulai, penting bagi para menteri dan semua pihak di dalamnya untuk melatih keterampilan komunikasi di depan publik. Dua pernyataan kurang sensitif dari para menteri terkait pelanggaran HAM masa lalu dan usulan anggaran besar untuk kementerian HAM ini telah memicu keresahan yang sangat dini. Hal ini membuat masyarakat yang tadinya berharap banyak terhadap pemerintahan ini, kini merasa skeptis terhadap komitmen pemerintah dalam hal HAM dan pengelolaan anggaran yang transparan. Ketika pernyataan yang disampaikan justru memicu perdebatan di awal periode ini, masyarakat merasa kepercayaan mereka tidak sepenuhnya dihargai. Situasi ini menegaskan pentingnya komunikasi yang hati-hati dan penuh empati, terutama dalam menangani isu-isu yang menyentuh kepentingan dan emosi masyarakat.
Untuk memperbaiki hubungan ini dan mencegah masalah yang lebih luas, pemerintah perlu menekankan transparansi dan kepekaan dalam penyampaian kebijakan. Pendekatan komunikasi yang lebih mendalam, yang menjelaskan alasan dan manfaat dari kebijakan, akan membantu masyarakat memahami arah dan niat pemerintah dengan lebih baik. Para menteri dan semua pejabat pemerintahan juga disarankan untuk aktif dalam membangun komunikasi dua arah, dengan lebih memperhatikan masukan dari masyarakat. Langkah ini tidak hanya akan memperkuat hubungan dengan masyarakat, tetapi juga menunjukkan bahwa pemerintah mengutamakan keterbukaan dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambil, sehingga masyarakat merasa dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan.
Kepercayaan masyarakat merupakan aset krusial bagi keberhasilan pemerintahan, di mana komunikasi berfungsi sebagai jembatan utama untuk membangunnya. Dengan meningkatkan pengelolaan komunikasi, pemerintahan baru ini memiliki peluang untuk membuktikan kemampuannya dalam merespons harapan publik melalui langkah-langkah konkret. Melalui penjelasan yang konsisten, transparan, dan mengutamakan kepentingan rakyat, pemerintah dapat memperkuat dukungan masyarakat terhadap kebijakan yang diusung, sehingga kebijakan tersebut lebih mudah diterima. Kegemasan yang dirasakan masyarakat saat ini bisa dimanfaatkan sebagai momentum untuk memperbaiki komunikasi publik, mencerminkan komitmen pemerintah terhadap aspirasi dan kebutuhan rakyat. Dengan demikian, sinergi antara pemerintah dan masyarakat dapat terwujud, membuka jalan bagi keberhasilan pemerintahan yang lebih inklusif dan responsif.