Oleh: Ronidin
(Dosen Program Studi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Orang-orang datang ke kota selain untuk mencari penghidupan baru juga untuk menikmati suasana kota yang tidak ditemukan di kampung. Banyak orang datang ke kota hanya untuk merasakan suasana mewah dan tiupan AC yang sepoi-sepoi di pusat perbelanjaan, menikmati wahana bermain yang ada di sana, menonton film di bioskop, atau bagi pencinta bola menonton kesebelasan kesayangan bermain di stadion kebanggaan kota tersebut. Sebaliknya, banyak pula orang dari kota yang datang ke pegunungan untuk menikmati suasana alami yang ada di sana, menikmati pemandangan alam yang menentramkan hati, berburu kuliner yang penyajiannya menyatu dengan alam, makan di persawahan yang membentang luas, dan sebagainya.
Begitulah dunia yang bersinergi. Orang kampung ke kota dan orang kota ke kampung. Bila akhir pekan tiba atau bila ada kalender merah, jalanan akan penuh sesak oleh orang-orang yang hendak ke dan dari destinasi favorit mereka. Di mana pun tempat relaksasi itu berada akan disesaki pengunjung. Ini pertanda bahwa semua orang butuh suasana yang rileks, butuh kenyamanan, dan butuh hiburan. Dengan relaksasi, pikiran menjadi tenteram walaupun selepas itu bersitungkin lagi dengan profesi masing-masing.
Karena begitu pentingnya rileksasi, maka kota-kota besar di mana pun itu akan menyediakan tempat-tempat relaksasi yang menyenangkan. Ketika saya berada di Kota Seoul yang ingar-bingar, terdapat banyak tempat relaksasi di kota itu. Bahkan dengan kesungguhan, mereka berhasil menyulap sungai-sungai kecil (bandar) di sepanjang kota itu menjadi tempat relaksasi warga kota yang menyenangkan, misalnya aliran Sungai Cheonggyecheon yang dulunya kotor kemudian direstorasi menjadi kawasan bermain yang menyenangkan. Pada aliran kiri kanan sungai yang tidak berair dibangun jalan untuk warga jogging, juga tempat duduk untuk warga bersantai sambil ngobrol-ngobrol atau mencelup-celupkan kaki ke dalam aliran air yang bersih.
Selain itu, di sepanjang Sungai Han yang membelah Kota Seoul menjadi dua bagian juga terdapat banyak destinasi relaksasi yang menyenangkan, misalnyaTtukseon Hangang Park, dan sebagainya. Warga Seoul juga dapat berileksasi di taman-taman kota yang ada di banyak tempat. Untuk menikmati suasana hutan di tengah kota, warga Seoul dapat datang ke Seoul Forest. Bila di musim semi, tempat ini seperti paradise yang menenteramkan jiwa. Sama juga seperti di Seoul Children’s Grand Park, Nami Island Park, dan sebagainya.
Agaknya pemerintah Kota Seoul memang mengutamakan tempat-tempat relaksasi itu untuk mengatasi tingkat kejenuhan warga kota yang setiap harinya diburu oleh obsesi kerja yang tinggi. Tempat-tempat itu disediakan secara cuma-cuma terkecuali untuk wahana tertentu dan kuliner. Setiap akhir pekan atau tanggal merah tempat-tempat itu ramai oleh warga lokal dan warga asing yang bersantai di sana serta juga berolahraga ringan dan menggelar panggung hiburan.
Berbeda dengan di Korea, pada kota-kota di Indonesia, destinasi untuk relaksasi belum menjadi perhatian khusus. Kota-kota di Indonesia hanya sedikit yang memiliki taman-taman kota, alun-alun, atau apapun namanya yang menjadi ikonitas bagi warga kota itu untuk berelaksasi. Kota-kota di Indonesia memiliki keterbatasan lahan dan sumber daya pengelolaannya. Taman-taman kota ataupun hutan kota yang representatif di kota-kota di Indonesia masih kalah pamor dengan mall, kawasan pendestrian, pusat kuliner, dan sebagainya. Relaksasi ke tempat-tempat itu membutuhkan ketersedian fulus yang cukup.
Dosen saya, almarhum Profesor Bakdi Soemanto di UGM menyebut ini sebagai rileksasi komersial, warisan materialistik. Demikianlah, karena ketidaktersediaan taman-taman dan hutan kota yang representatif, begitu musim libur tiba atau ketika tanggal merah di akhir pekan bersambung dengan tanggal merah untuk peringatan tertentu, kawasan Puncak di Bogor diserbu oleh warga kota Jakarta karena memang tidak tersedia suasana yang ada di Puncak di sekitaran Jakarta. Nyaris tidak ada taman kota yang ikonik di Jakarta.
Begitu pula di Yogyakarta. Banyak orang datang ke Yogyakarta hanya untuk plesiran ke kawasan pendestrian Malioboro. Hampir tidak ada taman kota di Yogyakarta yang representatif untuk warganya dan para pengunjung berelaksasi. Juga tidak tersedia hutan kota yang menyajikan suasana alami yang dirindukan banyak warga kota. Alun-alun Kraton Yogyakarta yang dulunya menjadi tempat bermain, sejak ditimbuni pasir tidak bisa lagi dimasuki sehingga hanya terlihat seperti hamparan padang pasir yang gersang. Hanya ada tempat-tempat kecil bagi warga Yogyakarta atau pengunjung untuk menemukan suasana alami di tengah kota yang mulai padat ini. Di antaranya mungkin di sekitar kawasan Gembira Loka yang dipersatukan dengan kebun binatang. Bagi warga UGM ada kawasan Lembah di Bulaksumur yang memiliki telaga kecil dan pohon-pohon yang tidak terlalu banyak. Bila ingin menikmati suasana alam, alternatif yang bisa dijangkau di antaranya kawasan Kaliurang di utara kota Yogyakarta. Jaraknya lumayan jauh dari pusat kota. Adapun Kali Code yang membelah kota Yogyakarta tetap seperti itu adanya.
Sejauh saya berjalan ke kota-kota yang ada di Jawa dan Sumatera, bukan tidak ada kota-kota kita memiliki alun-alun kota, tetapi alun-alun yang ada itu belum menjadi kawasan yang menyenangkan untuk relaksasi. Ketika kita duduk-duduk di alun-alun kota tertentu, ada saja yang mengganggu. Tujuan untuk relaksasi berganti menjadi kedongkolan-kedongkolan. Ketika menikmati suasana di taman kota tertentu, tiba-tiba datang pengemis dengan berbagai corak penampakannya atau pengamen yang setengah memaksa atau tukang parkir yang membuat jengkel karena mereka hanya ada ketika kita akan pergi meninggalkan lokasi. Kadang-kadang di tempat-tempat rehat yang ada di kota-kota tertentu juga ada pedagang keliling yang tidak akan beranjak sebelum kita membeli dagangan mereka atau justru tempat itu dipenuhi oleh pedagang dibandingkan pengunjung yang ingin mencari suasana yang rileks. Selain gangguan yang berhubungan dengan orang, adakalanya pula tempat-tempat rehat yang ada di kota-kota tertentu di penuhi oleh tumpukan sampah atau bau tidak sedap dari lingkungan di sekitar itu. Bila lokasi itu dekat dengan pasar atau dekat dengan tempat pelelangan ikan, rumah potong, pabrik, atau kali yang tidak pernah dibersihkan, maka ketidaknyamanan akan datang mengusik relaksasi kita melalui udara.
Selain taman kota, hutan kota dengan menghadirkan suasana hutan di tengah-tengah kota pada kota-kota yang ada di Indonesia juga nyaris tidak ada. Hanya ada beberapa yang pernah saya temukan dengan konsep hutan biologi atau hutan untuk praktik tertentu atau miniatur hutan dengan menghadirkan beberapa ekosistem hutan di sana. Kawasan-kawasan tersebut belum menjadi destinasi relaksasi yang representatif terkecuali hanya untuk tujuan tertentu. Agaknya akan sangat menarik menjadikan hutan kota sebagai destinasi relaksasi mengingat Indonesia sangat kaya dengan sumber daya kehutanan.
Demikianlah, saya tidak untuk membandingkan-bandingkan antara apa yang pernah saya temukan dan rasakan ketika berada di Kota Seoul, Korea Selatan dengan apa yang saya temukan di kota-kota yang ada di Indonesia mengenai destinasi relaksasi ini. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa destinasi relaksasi merupakan suatu kebutuhan yang sangat diperlukan oleh banyak orang. Jika di Korea warganya dapat dengan nyaman datang ke tempat-tempat rileksasi yang ada di kota mereka, maka sesungguhnya di kota-kota yang ada di tempat kita di Indonesia kenyamanan itu sebenarnya juga dapat kita ciptakan. Kita memiliki sumber daya alam yang melimpah serta kita memiliki keutamaan untuk dapat menyatukan destinasi relaksasi dengan destinasi keagamaan. Bila orang asing yang jiwanya hampa datang ke tempat relaksasi untuk mengisi kekosongan itu, maka kita yang tidak berjiwa hampa sesungguhnya dapat memperkuat jiwa sekaligus semangat religiusitas ketika berkunjung ke destinasi-destinasi relaksasi dan destinasi-destinasi keagamaan yang letaknya berdampingan. Wallahualam bissawab.