Oleh: Ronidin
(Dosen Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Tulisan ini membicarakan destinasi-destinasi keagamaan di tempat-tempat yang pernah atau akan dikunjungi. Bagi saya, bila mengunjungi suatu tempat di mana pun itu, suatu keniscayaan untuk berkunjung ke masjid yang ada di tempat itu. Agaknya, hal ini bukan hanya berlaku bagi saya saja sebab saya melihat banyak Muslim yang berkunjung ke suatu tempat akan mampir di destinasi-destinasi keagamaan yang ada di tempat itu, baik untuk sekadar melihat-lihat atau memang untuk beribadah. Sebagai contoh misalnya ketika saya berada di Korea Selatan, banyak Muslim yang ke Korea akan selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke kawasan masjid Itaewon di jantung Kota Seoul. Tidak lengkap rasanya bila ke Soeul tidak mampir di masjid terbesar di kota itu. Demikian pula, bila ke Busan, kota kedua terbesar di ujung selatan Korea, setiap muslim yang ke sana pasti akan berkunjung ke masjid Al Fatah, Busan.

Agaknya tidak hanya di Korea, tetapi juga di kota-kota lain di belahan dunia. Destinasi-destinasi keagamaan menjadi tempat wajib yang dikunjungi oleh setiap Muslim yang melawat ke sana terlepas dari tujuannya apa. Di tanah air juga demikian adanya. Belum lengkap rasanya bila ke Padang jika tidak mampir ke masjid Syeh Ahmad Khatib al Minangkabawi atau masjid Raya Sumatera Barat. Bila ke Jakarta, belum lengkap rasanya bila tidak ke Istiqlal. Bila ke Jogja belum sempurna bila belum ke masjid Jogokariyan yang viral itu atau ke masjid Gedhe Keraton Yogyakarta di Alun-Alun Utara. Ketika ke Malang, belum afdal rasanya bila tidak ke masjid Agung Jami’ Malang. Siapa pun Muslim yang berkunjung ke Aceh, pasti akan datang ke masjid Baiturrahman Banda aceh yang bersejarah itu. Ketika saya ke Lombok di NTB, ada banyak masjid di sana sehingga kota itu disebut kota seribu masjid. Pokoknya, hampir setiap kota di nusantara memiliki masjid yang menjadi ikon kota tersebut. Bagi saya, setiap kota yang pernah saya kunjungi memiliki destinasi keagamaan yang mengagumkan yang menstimulus sensitifitas kejiwaan kita. Masjid-masjid indah itu tidak hanya mengundang decak kagum, tetapi juga menguatkan rasa keberagamaan yang kita miliki. Coba, apa yang terbayang dalam pikiran Dunsanak ketika melihat masjid seindah pada foto di bawah ini.

Khusus di Yogyakarta, sepanjang saya berinteraksi dengan kota ini, ada beberapa catatan ringan yang saya miliki tentang keberadaan masjid di sini. Catatan ini tentang bagaimana masjid menjadi destinasi keagamaan yang nyaman dan menyenangkan bagi siapa pun. Masjid yang ramah dan mencerahkan. Masjid yang menjadi solusi dari problem-problem umat di sekitar lingkungan masjid itu. Masjid yang ingin didatangi lagi oleh para pengunjung yang pernah singgah di sana.
Pertama saya ingin bercerita tentang masjid Jogokariyan. Masjid Jogokariyan adalah masjid yang tidak terlalu besar ukurannya. Pada mulanya ia hanya sebuah langgar (musala) yang terletak di lingkungan padat di kawasan Jogokariyan, Mantrijeron, pinggiran selatan kota Yogyakarta. Langar tersebut kemudian bertransformasi menjadi masjid Jogokariyan yang ada sekarang karena dikelola dengan manajemen masjid di zaman Rasulullah yang dikolaborasi dengan manajemen moderen memanfaatkan teknologi dan inovasi-inovasi yang sedang berkembang. Masjid ini dikelola takmir yang visioner dan dibantu oleh anak-anak muda yang kreatif-inovatif. Program unggulan masjid yang memiliki moto “Dari masjid membangun ummat” ini sebagaimana juga bisa dilihat dalam situs web masjid ini adalah ATM beras, jamaah mandiri, pioner kampoeng Ramadhan, peta dakwah, mensalatkan orang hidup, dan saldo infak Rp0,-.
Manajemen di masjid ini mengutamakan bahwa masjid harus memiliki peta dakwah yang jelas, wilayah kerja yang nyata, dan jemaah yang terdata. Dengan begitu, segala program kerja dapat diukur dan dipertangungungjawabkan. Dengan data yang jelas, manajemen masjid dapat memantau siapa saja jemaah yang salat di masjid dan siapa yang tidak. Siapa jemaah yang berinfak, berzakat, berqurban, dan sebagainya di Baitul Maal masjid Jogokariyan dan siapa jemaah yang layak disantuni. Dengan data yang jelas, takmir masjid bisa memberdayakan warga di sekitar masjid untuk berbagai macam kegiatan. Sebagai contoh, untuk keperluan konsumsi kegiatan tertentu, takmir masjid sudah memiliki data jemaah yang memiliki usaha rumah makan atau katering yang sewaktu-waktu bisa dipesan. Tidak lagi memesan ke luar lingkungan Jogokariyan.
Di masjid ini segala yang berhubungan dengan amanah akan ditunaikan dengan segera dan senyaman mungkin. Infak yang diterima dari jamaah akan disalurkan kembali kepada jemaah dalam bentuk pelayanan beribadah yang nyaman. Di masjid ini dilaksanakan pelatihan salat bagi warga yang belum bisa salat. Mereka diundang atau didatangi, lalu diajarkan cara-cara salat. Dengan begitu mereka tidak malu lagi untuk pergi ke masjid melaksanakan salat berjemaah. Jemaah yang enggan ke masjid akan diundang dengan cara khusus. Masjid Jogokariyan juga terdepan dalam melaksanakan aksi-aksi sosial. Infak dan sedekah yang diterima seratus persen disalurkan kepada yang berhak menerimanya dengan nama gerakan sisa infak nol rupiah. Infak jemaah tidak disimpan dalam rekening, melainkan harus segera disalurkan untuk kemaslahatan jemaah agar infak tersebut memiliki nilai guna dan tepat sasaran. Misalnya untuk membantu biaya mendesak yang dibutuhkan warga seperti biaya pendidikan, biaya berobat warga, dan sebagainya.
Selain program-program itu, masjid ini juga memiliki tempat menginap untuk para tamu yang datang dari luar Jogja. Bagi para tamu yang berkunjung ke masjid ini tersedia 11 kamar di lantai 3 masjid. Kamar tersebut nyaman dan murah. Setiap kamar ditawarkan dengan harga sewa 150-250 ribu per hari. Aksi-aksi lain yang juga dilakukan takmir masjid Jogokariyan adalah menjadikan anak-anak muda yang suka keluyuran menjadi petugas keamanan masjid. Anak-anak kecil juga diajak untuk beraktivitas di lingkungan masjid. Ini semua dilakukan agar para remaja dan anak-anak memiliki ketertarikan datang ke masjid. Masjid Jogokariyan tidak hanya untuk aktivitas ibadah, tetapi juga pusat aktivitas sosial kemasyarakatan dan juga untuk komunitas keagamaan.

Selain di masjid Jogokariyan, ada satu masjid lagi di Jogjakarta yang berkesan bagi saya. Saya indekos di dekat masjid tersebut, yaitu masjid Nurul Ashri, Deresan. Program unggulan di masjid ini tidak jauh berbeda dengan masjid Jogokariyan. Beribadah di tempat ini nyaman dan menyenangkan. Masjid ini memiliki moto “melayani jemaah sepenuh hati”. Dalam beberapa bulan terakhir ini masjid ini viral di jagat sosial karena programnya membeli sayuran dari para petani di sekitar Yogyakarta dan Magelang. Sayur-sayur yang dibeli tersebut kemudian dibagikan kepada para jemaah masjid. Program ini disebut program jastip atau jasa titip beli. Uang yang dipakai berasal dari jemaah dan hasilnya dikembalikan ke jemaah. Selain itu, di masjid ini juga banyak dilaksanakan kegiatan-kegiatan pembinaan keislaman karena berada dekat dengan lingkungan kampus UNY dan UGM. Banyak anak-anak muda religious berkegiatan di masjid ini dan banyak jemaah dari berbagai kalangan beribadah di sini. Masjid ini juga salah satu dari masjid yang menghimpun bantuan untuk korban banjir bandang di Sumatera Barat beberapa waktu yang lalu.
Begitulah, ternyata destinasi keagamaan di tempat-tempat yang kita kunjungi menyajikan pengalaman spiritual yang mencerahkan. Agaknya program-program inivatif masjid-masjid di Yogyakarta perlu dicontoh untuk menjadikan masjid sebagai tempat yang menenteramkan bagi umat, bukan tempat yang dianggap mengganggu kebhinekaan dalam masyarakat. Wallahualam bissawab.