Oleh: Ronidin
(Dosen Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Bus Damri yang membawa saya menuju Yogyakarta International Airport di Kulon Progo yang berjarak lebih kurang 44 km dari pusat kota Yogyakarta sepi penumpang. Hanya saya penumpangnya. Orang-orang lebih memilih naik kereta bandara dari pada naik bus. Naik kereta lebih cepat dan lebih murah. Juga terhindar dari macet. Saya justru memilih naik Damri karena loket pemberangkatannya dekat dengan tempat tinggal saya. Bila saya naik kereta, saya harus ke Stasiun Tugu terlebih dahulu. Dari tempat tinggal saya di Caturtunggal Depok, Sleman ke Stasiun Tugu, ongkos taksi lebih kurang 50 ribu rupiah. Bila ditambah ongkos kereta 20 ribu, totalnya untuk sampai ke bandara saya harus membayar 70 ribu Rupiah. Bila saya naik Damri, ongkosnya 80 ribu Rupiah. Hanya berselisih 10 ribu Rupiah. Untungnya, saya tidak perlu repot-repot ke stasiun. tinggal berjalan sedikit, naik Damri di Terminal Condongcatur yang berangkat setiap 1 jam sekali.
Sepanjang perjalanan di bus Damri yang lengang itu, saya menyaksikan di kiri-kanan jalan perkembangan Yogyakarta. Permukaan jalan menuju bandara lumayan baik. Aspalnya mulus walaupun pada beberapa titik ada penggalian dan penambalan. Jalan baru hampir tidak ada. Jumlah kendaraan yang melintas tidak henti-hentinya. Bangunan-bangunan baru bermunculan di mana-mana. Bangunan-bangunan lama ada yang masih ditempati dan dirawat baik, tetapi ada pula yang sudah ditinggalkan dan sudah marimba. Di kiri-kanan jalan bermunculan tempat-tempat hunian baru. Ada yang sudah jadi dan ditempati. Ada yang masih dalam tahap pembangunan. Ada pula yang masih dalam tahap pancang-memancang. Juga di sepanjang jalan itu mucul unit-unit usaha warga. Berbagai produk baik dalam bentuk barang maupun jasa ditawarkan di sana. Papan reklame di mana-mana.
Yang berkesan di sepanjang perjalanan itu bagi saya adalah semakin menyusutnya lahan persawahan (pertanian). Sebagaimana juga di tempat lain di mana pun kota yang pernah saya singgahi di Indonesia, lahan persawahan (pertanian) nyatanya semakin menyusut hari ke hari. Bila sebelumnya kita masih bisa menyaksikan sawah-sawah membentang di antara lokasi pengembangan kota, tetapi ketika saya melewati tempat-tempat itu pada saat ini, sawah-sawah (lahan pertanian) itu telah berganti dengan pemukiman, tempat usaha, dan tempat-tempat untuk fasilitas umum. Sawah-sawah yang sebelumnya produktif diboldoser dan ditimbun, lalu dialihfungsikan sesuai kebutuhan masyarakat urban yang mencari penghidupan dan harapan-harapan baru di sana. Sepanjang Yogyakarta-Kulon Progo yang saya lewati, persawahan yang tersisa semakin menyusut. Lahan persawahan itu tidak hanya semakin menyusut, tetapi juga berhadapan dengan berbagai problem lain, seperti misalnya sumber air yang semakin berkurang sebagai efek dari lahan yang telah dialihfungsikan menjadi bangunan menutup aliran air ke sana.
Problem lain yang mendorong berkurangnya lahan persawahan (pertanian) di lingkungan masyarakat urban perkotaan ialah karena sikap mental para petani penggarap yang mudah terbujuk oleh iming-iming alih fungsi lahan yang kononnya lebih menguntungkan. Anak-anak muda yang bakal mewarisi lahan itu sudah tidak berminat turun ke sawah. Mereka berpikir pragmatis saja. Lahan itu lebih baik dilipat jadi uang saja atau dialihfungsikan menjadi tempat-tempat usaha modern yang bukan pertanian.
Fenomena yang saya ceritakan di atas bisa jadi merupakan dampak dari pengembangan daerah perkotaan. Akan tetapi di balik itu ada sebuah fenomena yang mengkhawatirkan, yaitu ketergantungan kota terhadap daerah-daerah penyuplai pangan. Dengan semakin berkurangnya lahan di kota yang bisa ditanami, otomatis segala kebutuhan pangan tergantung pada daerah-daerah penyangga pangan. Bila daerah-daerah penyangga di sekitar kota seperti Kulon Progo di Yogyakarta juga kehabisan lahan, maka krisis pangan berkemungkinan sulit dihindari atau paling tidak mempengaruhi harga di pasar. Saya bukan orang ekonomi yang dapat membaca besaran untung rugi dalam konteks ini, tetapi saya melihat bahwa kondisi ini akan membawa dampak terburuk bagi kelompok rentan, masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
Dengan beralihnya lahan pertanian (sawah) menjadi pemukiman dan daerah industri atau lainnya, maka masyarakat petani akan kehilangan pekerjaan mereka. Beberapa saat mereka mungkin bisa menikmati hasil dari penjualan lahan mereka, tetapi ketika uang hasil penjual itu mulai habis, mereka akan menjadi “pengelana” di tanah mereka sendiri. Saat ini di Yogyakarta yang bertaji menurut saya bukanlah penduduk setempat, melainkan para pendatang dan mereka yang memiliki uang. Warga lokal yang ada di Yogyakarta umumnya bekerja sebagai orang upahan. Mereka bekerja di sektor rawan seperti menjadi tukang becak, tukang parkir, pedagang asongan/kaki lima, kuli, karyawan kafe, dan sebagainya. Mereka tinggal menyelip di antara pemukiman-pemukiman para pendatang (masyarakat urban) di mana tempat itu dulunya merupakan daerah mereka menggarap persawahan.
Fenomena ini tidak bisa dihindari di mana pun itu. Bukan hanya di Yogyakarta. Menurut salah seorang warga Yogyakarta yang berbincang-bincang dengan saya mengenai fenomena ini dikatakannya bahwa saat ini yang paling sulit untuk dilakukan oleh warga Yogya ekonomi menengah ke bawah adalah membangun rumah. Tidak ada kemampuan mereka untuk itu. Mereka tidak memiliki tanah karena tanah-tanah mereka umumnya sudah dimiliki oleh pemodal. Untuk memiliki tanah di Yogyakarta sangat berat karena harganya selangit. Di kawasan ring 1 kota Yogyakarta menurut sumber saya yang tidak bersedia disebut namanya harga tanah per meter perseginya sudah di atas 10 juta rupiah. Harga itu hanya bisa dibeli oleh pemilik modal yang kemudian memutarnya menjadi unit usaha yang bisa mengembalikan investasi mereka. Mereka yang berduit dapat membangun tempat-tempat usaha berbagai bentuk termasuk membangun tempat-tempat kos berbagai kelas. Masyarakat tidak berduit hanya bisa menatap perubahan-perubahan yang terjadi sambil lambat laun menunggu tergusur dari tanah mereka sendiri. Pemukiman-pemukiman warga lokal di pusat kota Yogyakarta terjepit di antara bangunan-bangunan perkasa miliki para pemodal atau mereka yang berduit.
Menurut sumber saya juga, saat ini pasangan-pasangan muda yang ingin memiliki rumah di Yogyakarta terpaksa mencari hunian ke luar kota Yogyakarta seperti di Kabupaten Sleman dan Kulon Progo. Di daerah ini pertumbuhan hunian baru berkembang pesat dengan menyulap lahan-lahan pertanian (sawah dan perkebunan) menjadi pemukiman baru. Begitu pula para pendatang yang tidak memiliki cukup uang terpaksa mencari kontrakan di daerah luar kota Yogyakarta yang lebih murah.
Lingkungan kota Yogyakarta yang terus berubah juga menguncang local wisdom warga setempat. Seperti yang sudah sata sebutkan pada tulisan-tulisan saya terdahulu bahwa ada kebiasaan-kebiasaaan warga Yogyakarta yang local genius menjadi berubah karena akulturasi pendatang dan perubahan zaman. Dalam konteks tulisan ini bisa dilihat pada perubahan karakter dan kepribadian mereka. Bila dulu warga yang masih memiliki lahan bekerja di sawah atau kebun mereka dan itu bersifat komunal, maka kini ketika sawah dan ladang itu sudah tidak ada. Mereka terpaksa berinteraksi dengan dunia kota yang majemuk, materialistik, dan kepribadian warganya yang cenderung individual. Karena itu, maka hilanglah karakteristik dasar mereka sebagai masyarakat yang ramah dan jujur. Itulah mengapa ada di antara orang Yogyakarta yang terpaksa melakukan nuthuk misalnya. Itulah mengapa hampir di semua tempat di Yogyakarta ada tukang parkirnya.
Begitulah, kehilangan lahan bagi warga kota seperti Yogyakarta berdampak kurang baik pada kehidupan dasar mereka. Fenomena ini dapat dipahami sebagai sebuah gejala sosial yang berkemungkinan terjadi di berbagai kota di Indonesia, tidak hanya Yogyakarta. Apa yang saya kemukakan di atas hanyalah sebuah perenungan dari yang terkenang ketika saya melakukan perjalanan dengan bus Damri yang sepi penumpang dari terminal Condongcatur ke bandara KulonProgo di Yogyakarta. Wallahualam bissawab.
Discussion about this post